Oleh Frano Kleden
Anggota KMK-Ledalero; Tinggal di Wisma Rafael
POS KUPANG.COM - Topik tentang para pelayan kesehatan seperti dokter, perawat dan bidan terus mewarnai pemberitaan media akhir-akhir ini. Di Kupang, sejumlah dokter yang menjadi favorit pasien di Kota Kupang memeriksa 20 hingga 50 pasien setiap hari saat membuka praktik (PK, 2/2/2016).
Sehubungan dengan hal ini, beberapa pasien turut menyampaikan kesan beserta harapannya kepada dokter. Seorang ibu mengatakan bahwa semenjak lahir hingga mempunyai anak, dia mempunyai dokter favorit. Beberapa harapan juga disampaikan, semisal "dokter itu harus ramah kepada setiap pasien yang datang berobat kepadanya".
Masih tentang pelayan kesehatan. Sebuah berita datang dari bidan Dewi Bahren yang dijerat pasal berlapis karena dugaan aborsi yang dilakukan di tempat praktiknya (PK, 29/1/2016). Sebagai masyarakat, kita tentu berpikir bahwa sangatlah tidak etis apabila seorang bidan (juga pelayan kesehatan lainnya) dapat membantu aborsi (kecuali ada legitimasi 'khusus'). Sebab, jika ditilik lebih lanjut, setiap profesi apapun itu, haruslah memegang teguh etika profesinya.
Tulisan ini tidak bermaksud membuat verifikasi terhadap kasus tersebut, juga tak berniat untuk meruncingkan masalah ataupun menyudutkan tokoh Bidan Dewi yang kedapatan bersalah dalam menjalankan tugasnya. Saya membaca tindakan si bidan ini sebagai sebuah actus humanus: perbuatan yang dengan sadar dan sengaja 'melupakan' etika profesinya. Atas dasar itu, kajian terhadap tindakan yang dilakukan oleh bidan tersebut dapat menjadi catatan, awasan dan evaluasi khusus bagi kinerja para bidan kita ke depan, tak terlepas pula bagi para pelayan kesehatan lainnya.
Belajar dari Kasus Bidan Dewi
Bidan merupakan satu bentuk profesi yang erat kaitannya dengan etika karena lingkup kegiatannya sangat berhubungan erat dengan masyarakat. Selain mempunyai pengetahuan dan keterampilan, agar dapat diterima dan dipercaya di masyarakat, bidan juga harus memiliki etika yang baik sebagai pedoman bersikap dan bertindak dalam memberikan suatu pelayanan, khususnya pelayanan kebidanan.
Namun, tak dapat disangkal lagi bahwa etika dalam pelayanan kebidanan dan kesehatan lainnya masih merupakan isu utama di berbagai tempat, karena kurangnya pemahaman dan pengertian para praktisi kesehatan terhadap etika. Seorang bidan adalah orang yang sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia sebab ia membantu para ibu dalam melahirkan anak-anak mereka baik di rumah maupun di tempat praktiknya.
Kasus Bidan Dewi di atas sejatinya mengatakan kepada kita bahwa sesungguhnya di tanah air kita, komersialisasi pelayanan kesehatan yang dilakukan dokter, perawat dan bidan masih terus terjadi. Mengelola tempat praktik bagi paramedis (baca: pelayan kesehatan) ternyata dapat menjadi big business. Hal ini cenderung menyingkirkan perhatian terhadap tuntutan-tuntutan etika medis. Oleh karena itu, terjadi kesan seakan-akan tuntutan etika medis hanya berupa embel-embelan terhadap profesi medis.
Memang atrofi etis bukan hanya dialami oleh profesi medis, melainkan juga oleh profesi-profesi lain, misalnya oleh profesi bisnis. Terhadap ini, kita perlu menyadari kembali bahwa etika adalah komponen inheren dari segenap profesi. Tanpa standar-standar etis, tak ada profesi dan tak mungkin ada profesi yang dapat berjalan. Dalam bidang bisnis, hal itu sekarang semakin diakui umum. Dan dalam bidang medis, hal itu juga semakin dilihat. Prof. Franz Magnis Suseno mengatakan bahwa setiap profesi merupakan realitas sosial.
Artinya, profesi hanya berkembang karena dalam masyarakat ada kebutuhan. Profesi hanya dapat memenuhi kebutuhan itu apabila ia dapat dipercayai. Untuk dapat dipercayai, dia harus berpegang pada standar-standar etis tertentu. Hanya standar-standar etislah yang dapat menjamin bahwa profesi akan berusaha untuk selalu mempertahankan standar-standar profesinya.
Pentingnya Etika bagi Pelayan Kesehatan
Kita semua tentu sangat menghargai para pelayan kesehatan yang sangat mencintai dan menjalankan etika medisnya dengan baik, sebab mutu pelayanan kesehatan secara menyeluruh akan meningkat jika paramedis tidak mengabaikan aspek moralnya.
Sejatinya, dalam mempertanyakan etika profesi medis, kita berhadapan dengan dua tendensi. Di satu pihak, ada kesadaran bahwa etika medis itu penting karena kita tengah mengalami semacam krisis etika medis. Di pihak lain, demi harkat profesi medis sendiri serta demi kepercayaan masyarakat pada tenaga medis, peranan etika profesi medis perlu diaktifkan kembali.
Dari segi etika, kita akan bertolak dari kewajiban berat profesi medis untuk melindungi, menjaga, memajukan kehidupan pasien dan tidak mengancamnya. Seorang dokter serta pelayan kesehatan lainnya hanya akan betul-betul menjadi profesional dalam bidangnya apabila ia, selain menguasai ilmunya, juga cukup up to date dengan implikasi etisnya. Suatu sikap yang semata-mata utilitaristik atau teknologis tidaklah memadai.
Etika perlu dimiliki seorang pelayan kesehatan agar mereka dapat diarahkan secara tepat menuju tujuannya yaitu membantu memilih dan mengambil keputusan tentang apa yang perlu dilakukan dan yang tidak perlu dilakukan. Etika mampu menjembatani kehidupan bermasyarakat yang semakin pluralistik. Persoalan semakin berkembang ketika muncul pertanyaan tentang mana kewajiban dan mana yang bukan.
Etika sebenarnya mampu membantu para pelayan kesehatan agar mereka tidak kehilangan arah dan tujuan terkait dengan datangnya globalisasi dan modernisasi sehingga manusia tetap bisa membedakan yang baik dan buruk, yang benar dan salah. Dengan etika, para pelayan kesehatan diharapkan tetap sanggup mengambil sikap dan perilaku yang dapat dipertanggungjawabkan. Etika mampu membuat pelayan-pelayan kesehatan sanggup menghadapi ideologi-ideologi dengan kritis dan obyektif sehingga mereka tidak mudah terpancing.
Sebagai praktisi pelayanan, bidan, dokter dan juga para pelayan kesehatan lainnya haruslah berusaha menjaga perkembangan praktik berdasarkan fakta yang ada secara legal dan profesional. Semoga nilai etika senantiasa hidup dan menyatu dalam sikap dan keputusan para pelayan kesehatan kita.*