POS-KUPANG.COM, KEFAMENANU --- Rawan pangan dan bencana kelaparan mulai mengancam masyarakat Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Di Desa Bijaepasu, Kecamatan Kota Kefamenanu, masyarakat yang kehabisan makanan, mulai mengkonsumsi biji asam.
Letak desa ini hanya berjarak lima kilo meter dari Kota Kefamenanu, Ibukota Kabupaten TTU. Kekurangan pangan yang dialami masyarakat di beberapa daerah pedesaan di Kabupaten TTU merupakan dampak dari gagal panen pada musim tanam tahun 2010 lalu akibat curah hujan berlebihan di daerah itu.
Setiap hari warga di desa itu berbondong-bondong ke hutan mencari asam dan biji asam. Daging asam dijual ke pasar sedangkan bijinya diolah untuk dikonsumsi. Biji asam yang dipilih dari hutan, dicampur dengan kapur sirih dan ditumbuk menggunakan lesung kayu hingga hancur menyerupai bubur. Biji asam yang hancur kemudian diolah lagi untuk dikonsumsi keluarga.
Warga Desa Bijaepasu yang hidupnya hanya bergantung pada sector pertanian, tahun ini tidak bisa berbuat banyak karena seluruh tanaman pangan terutama jagung gagal panen. Hidup mereka pun bergantung pada alam dan hasil hutan di sekitarnya yaitu asam.
Dari asam, mereka bisa bertahan hidup. Ada beberapa warga beralih profesi menjadi pedagang asam. Kebetulan harga asam tahun ini cukup bagus karena produksi asam turun.
Satu kilogram asam dijual ke sejumlah pedang besar dengan harga Rp 4.000,00/ kg. Hasilnya lumayan bisa untuk membeli beras.
“Itupun kalau asam yang didapatkan dari hutan banyak. Kalau sedikit kita hanya bisa untuk beli beras satu kilo. Apalagi di hutan kita harus berebutan asam,” kata Theresia Bana, salah satu warga Desa Bijaepasu.
Theresia mengatakan, pihaknya terpaksa menjual asam, supaya dapat uang. Uang hasil jual asam itu, kata Theresia, dipakai untuk beli beras serta kebutuhan rumah tangga seperti pakaian dan kebutuhan anak sekolah.
“Saya mulai beralih jadi pedagang asam sejak bulan Juli, habis mau bagaimana lagi harapan kami hanya asam. Itupun kami harus mencari di hutan dan hasilnya juga sangat sedikit, asam yang berbuah tahun ini sangat sedikit,” demikian Theresia.
Ibu empat anak ini mengaku sejak mengalami rawan pangan jadwal makan nasi yang seharusnya tiga kali dalam sehari berubah menjadi satu kali, hanya pada siang hari atau malam hari saja secara bergantian. Selain itu, mereka makan isi dan biji yang ditumbuk bercampur kapur.
"Sekarang kami makan hanya satu kali dalam sehari, kalau tidak siang berarti malam. Selain jadwal itu kami makan asam dan bijinya yang dicampur kapur sirih. Biasa kami tumbuk sampai jadi bubur baru kami makan. Kadang - kadang ditambah ubi kayu tapi tidak seterusnya ditambah ubi kayu karena hasil ubi kayu dan pisang juga tidak banyak", jelas Theresia.