Makan Bergizi Gratis

Resiko Pemborosan Program MBG

Program berskala nasional ini juga disebut beresiko mengalami pemborosan karena sifatnya yang universal.

Editor: Ryan Nong
KOMPAS.COM/NUR ZAIDI
MENU MBG - Pelajar SD Negeri Cangkringrembang, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Demak, menunjukkan menu MBG yang baru didapatkan, Senin (24/2/2025). Hasil kajian dan riset GSRI menunjukkan program MBG miliki berbagai kelemahan dalam perencanaan, distribusi, dan pengelolaan anggaran. 

POS-KUPANG.COM, YOGYAKARTA - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dinilai menghadapi tantangan besar terutama dalam aspek distribusi dan pengadaan bahan makanan. 

Program berskala nasional ini juga disebut beresiko mengalami pemborosan karena sifatnya yang universal.

Di sisi lain, anak-anak dari keluarga mampu juga menerima manfaatnya meskipun sebenarnya tidak membutuhkan.

Hal ini diungkapkan ekonom sekaligus Koordinator Bidang Kajian Pengentasan Kemiskinan dan Ketimpangan (EQUITAS) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM), Wisnu Setiadi Nugroho.  

“Sulitnya pemantauan terhadap kualitas makanan juga menjadi tantangan tersendiri. Sulit untuk memastikan bahwa setiap makanan yang disajikan benar-benar memenuhi standar gizi dan kualitas yang ditetapkan,” kata Wisnu seperti dikutip dari Kompas.com, Jumat (14/3/2025). 

Wisnu mengatakan, untuk mendukung keberhasilan program MBG, pemerintah perlu belajar dari negara lain yang telah menjalan program yang sama. Seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat saat memberikan makan gratis bagi anak sekolah.

Di AS, disebutnya, program pemberian makan gratis sebagai bagian dari kebijakan nasional dengan skema Farm to Table, dan program ini didanai oleh Sustainable Agriculture Research and Education (SARE) dan melibatkan petani, peternak, pendidik, serta komunitas-komunitas di Amerika Serikat.

“Program ini bertujuan untuk mengembangkan sistem distribusi yang lebih inovatif, memberikan akses terhadap makanan lokal yang bergizi kepada anak sekolah, serta membantu meningkatkan kesejahteraan ekonomi daerah sehingga ongkos logistik lebih murah dan kesejahteraan masyarakat menjadi lebih terjamin,” ungkap Wisnu.

Program lain yang dilakukan AS adalah National School Lunch Program (NSLP) yang menyediakan makanan bergizi bagi jutaan anak di Amerika Serikat, terutama bagi keluarga berpenghasilan rendah.

NSLP menetapkan standar gizi sesuai dengan Healthy, Hunger-Free Kids Act (HHFKA) 2010, antara lain menggunakan makanan lokal dan menyesuaikan menu agar lebih sesuai dengan Pedoman Diet Amerika Serikat.

“Pemerintah mengalokasikan anggaran khusus untuk mendukung program ini, dengan melibatkan dapur dan pemasok makanan lokal yang terpercaya agar kualitas gizi tetap terjaga,” tambah Wisnu.

Wisnu mengingatkan untuk menjamin keberhasilan program semacam ini tentu menuntut pengelolaan yang baik agar tidak merugikan petani kecil dan pebisnis lokal.

Jika program ini terlalu sentralistik, menurutnya, hanya vendor besar yang akan mendapatkan keuntungan, sementara petani kecil dan UMKM lokal akan tersingkir. Agar lebih efektif, ia pun, menyarankan agar pemerintah memprioritaskan daerah dan sekolah dengan tingkat food insecurity tertinggi.

Dengan anggaran yang terbatas, program ini sebaiknya difokuskan pada anak-anak dari keluarga kurang mampu terlebih dahulu. 

Ia berpandangan program MBG dapat saja memberikan manfaat signifikan asal dilaksanakan sesuai tepat sasaran seperti fokus pada kelompok rentan.

“Solusi lain yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan subsidi bahan pangan bagi keluarga miskin, voucher makanan, atau insentif bagi sekolah untuk menyediakan makanan bergizi dengan pendanaan yang lebih fleksibel,” ujar Wisnu.

Selain itu, untuk memastikan efektivitas anggaran adalah dengan melibatkan audit independen, dan masyarakat dalam pengawasan. Oleh karena itu pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran yang terkait program ini.

“Pendekatan desentralisasi bisa menjadi strategi yang efektif karena pemerintah daerah lebih memahami kebutuhan wilayahnya dan dapat memberdayakan UMKM lokal dalam penyediaan bahan pangan,” terangnya.

Wisnu berpendapat sebagai bentuk efisiensi pemerintah sesungguhnya dapat menggunakan skala prioritas anggaran yang lebih baik. Alternatif pendanaan mencakup peningkatan efisiensi belanja pemerintah dengan pemangkasan anggaran sebaiknya dilakukan secara hati-hati agar tidak merugikan sektor penting.

Apabila harus melakukan efisiensi, pemangkasan dapat diberlakukan pada belanja birokrasi, perjalanan dinas, pajak progresif untuk kelompok kaya, dan proyek infrastruktur yang tidak mendesak.

“Kita harapkan program ini tidak hanya menjadi kebijakan populis dalam jangka pendek, tapi sungguh mampu menciptakan dampak nyata untuk banyak rakyat,” tutur Wisnu.

Kendati demikian, Wisnu menilai program MBG berpotensi meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui perbaikan gizi dan kesehatan anak.

Data Journal of the Academy of Nutrition and Dietetics 2023 melaporkan bahwa anak-anak yang menerima makanan gratis berpeluang lebih tinggi memiliki ketahanan pangan dan kesehatan yang lebih baik.

Hal serupa dilaporkan Brookings Institution tahun 2021 yang menyatakan program makan gratis berdampak pada peningkatan kinerja siswa di sekolah.

“Dalam jangka panjang, program ini juga dapat berdampak positif pada produktivitas tenaga kerja. Jika dalam konteks penanganan stunting, saya kira dampaknya masih perlu dikaji lebih lanjut. Pencegahan stunting harus dimulai sejak usia dini, yaitu sebelum usia lima tahun atau pada golden age of children,” jelasnya. (*)

 

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

 

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved