MK Hapus Presidential Threshold
Kisah Mahasiswa Penggugat Ambang Batas di MK: Tak Mau Berpolitik, Ingin Jadi Budak Korporat
Empat mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, mencatatkan nama mereka dalam buku sejarah politik Indonesia.
POS-KUPANG.COM, YOGYAKARTA - Empat mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, mencatatkan nama mereka dalam buku sejarah politik Indonesia.
Bagaimana tidak, tanpa diduga gugatan yang diajukan oleh empat mahasiswa itu, yakni; Enika Maya Oktavia, Rizki Maulayan Syafei, Faisal Nasirul Haq dan Tsalis Khoirul Fatna, ternyata dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Empat mahasiswa itu berjuang menguji Pasal 222 Undang-undang (UU) Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Menurut mereka, Presidential Threshold atau ambang batas pencalonan presiden harus dihapuskan agar memunculkan calon presiden yang lebih beragam dan sejalan dengan preferensi.
Perjuangan empat mahasiswa itu pun berbuah manis. Pada Kamis 2 Januari 2025, di Ruang Sidang Pleno Gedung MK, Jakarta, Mahkamah Konstitusi memutuskan menghapus ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagaimana tercantum dalam UU Pemilu.
Keputusan MK ini diyakini bakal mengubah peta pencalonan pada Pilpres kelak, karena semua partai politik kini berhak berkoalisi atau tidak untuk mengajukan bakal calon presiden.
Meski berhasil memenangkan gugatan yang diyakini akan mengubah peta politik di Tanah Air, keempat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga itu ternyata tak ada yang tertarik terjun ke dunia politik.
Baca juga: MK Hapus Presidential Threshold, Semua Parpol Bisa Usung Calon Presiden dan Cawapres
Mereka kompak mengatakan pengajuan uji materiil itu bukan untuk pijakan mereka maju ke dunia politik di masa yang akan datang. Mereka tidak yakin bisa terjun ke dunia politik dan saat ini masih memilih untuk menjadi akademisi.
Enika Maya Oktavia misalnya, mengatakan dirinya lebih tertarik jadi budak korporat ketimbang jadi politisi. "Kalau ada yang bertanya apakah kelak saya jadi politisi, jawaban dari saya sendiri, jawabannya adalah tidak. Saya tidak mau jadi politisi. Mohon terima saya jadi budak korporat di perusahaan," kata Enika saat ditemui di kampusnya, Jumat (3/1).
Menurut Enika, tak ada anggota keluarganya yang berlatar belakang politisi atau terjun ke dunia politik praktis. Bahkan, kata Enika, dia adalah orang pertama di keluarganya yang kuliah di jenjang S1.
"Kakak saya D3 dan saya satu-satunya orang belajar hukum. Orang tua saya tidak paham hukum, kakak saya tidak paham hukum, keluarga saya tidak ada yang paham hukum, tidak ada yang berkaitan dengan politik. Tapi kalau ke depannya ternyata saya jadi ahli hukum tata negara saya kurang tahu. Wallahu a'lam," kata Enika.
Jawaban yang sama dilontarkan Rizki, juga Tsalis dan Faisal. Tsalis misalnya, menyebut keluarganya sangat awam politik. "Bahkan orang tua saya saja presidential threshold itu apa masih belum tahu gitu. Jadi mungkin saya tidak akan memproyeksikan ke sana," kata dia.
“Putusan ini memang sesuai harapan, tapi bukan berarti kami ingin jadi politisi karena tujuan utama kami memajukan permohonan ini untuk mendorong lebih luas putra-putri Indonesia yang mungkin jalurnya menjadi politisi agar mereka punya akses yang sama,” tukasnya.
Gugatan yang diajukan oleh empat mahasiswa itu memang menjadi tonggak sejarah baru politik Indonesia, karena dari sekian banyak pengajuan uji materiil tentang presidential threshold, baru gugatan mereka yang dikabulkan oleh MK.
Baca juga: Pakar Hukum Tata Negara: Putusan MK Hapus Presidential Threshold Berpotensi Picu Pilpres Dua Putaran
Berdasarkan putusan MK yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK, Saldi Isra, Pasal 222 UU Pemilu itu tak hanya dinilai bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, namun juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi serta nyata-nyata bertentangan dengan Undang-undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Alasan inilah yang menjadi dasar bagi Mahkamah untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya terkait uji materi ambang batas pencalonan presiden.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.