MK Hapus Presidential Threshold

MK Hapus Presidential Threshold, Pengamat Jhon Tuba Helan Nilai Terjadi Kecelakaan Demokrasi

Ia menilai bahwa dulu sudah digugat beberapa kali dan Mahkamah Konstitusi (MK) juga beberapa kali memutuskan gugatan ditolak

|
Penulis: Irfan Hoi | Editor: Edi Hayong
POS-KUPANG.COM/HO
Pengamat Hukum Tata Negara Undana Kupang, Dr John Tuba Helan.  

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Irfan Hoi

POS-KUPANG.COM, KUPANG- Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus presidential threshold menuai kritikan dari Pengamat Hukum Tata Negara Undana Kupang. Dr. John Tuba Helan.

Ia menilai bahwa dulu sudah digugat beberapa kali dan Mahkamah Konstitusi (MK) juga beberapa kali memutuskan gugatan ditolak. 

Artinya bahwa syarat Parlemen Threshold (PT) 20 persen itu tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Sekarang mereka memutuskan lagi bahwa syarat 20 persen itu bertentangan dengan UUD 1945

"Menguji UU itu tolak ukurnya dari UUD. Selama UUD belum mengalami perubahan maka yang sudah diputuskan tidak mengalami bertentangan tetap seperti itu," kata Jhon Tuba Helan kepada POS-KUPANG.COM di Kupang, Kamis (2/1/2025). 

Seingat dirinya, demikian Jhon Tuba Helan, sudah empat atau lima kali digugat oleh berbagai kalangan, dan diputuskan bahwa UU itu ditolak.

"Kalau sekarang seperti ini, apakah UUD 1945 itu sudah berubah atau tidak. Sesungguhnya dalam UUD itu kita menganut sistem multi partai. Karena itu beberapa kali Pemilu itu kita pernah 48, 36 jumlah partai. Dengan multi partai itu maka pengajuan calon presiden itu ada pembatasan, 20 persen itu," katanya. 

Untuk itu dia berpendapat bahwa parlemen threshold itu sudah sangat tepat. Di Negara lain yang menganut sistem dwi partai itu hanya ada dua partai dan dua partai itu yang mengajukan calon presiden. Jadi yang menang itu 50 persen plus 1 dan yang lain kalah sebagai oposan.

Baca juga: MK Hapus Presidential Threshold, Jumlah Capres-Cawapres Berpotensi Melonjak

 "Kalau seperti ini, maka MK itu tidak konsisten dengan keputusan sebelumnya. Jadi terhadap hal yang sama sudah diputus, itu tidak bertentangan tapi sekarang diputus bertentangan. Itu aneh juga," kritiknya. 

Pertimbangan MK mengenai tidak jelas dan rasional terhadap penghitungan ambang batas, menurutnya, penghitungan sudah jelas. Ambang batas 20 persen dan 25 persen perolehan suara, itu sangat mudah menghitungnya. 

Dimana 20 persen dari total kursi DPR-RI itu sebetulnya mudah. Bisa saja partai menggunakan jumlah perolehan suara pada Pemilu. Sangat tidak masuk akal kalau dengan pertimbangan hakim MK seperti ini. 

"Kita bisa bayangkan dengan keputusan MK hari ini untuk Pemilu 2029. Jika ada 30 partai politik maka, bisa saja ada 30 calon presiden yang bertarung di Pemilu nanti. Dan, seluruh dunia hanya terjadi di Indonesia," katanya. 

Keputusan MK ini menurut Jhon Tuba Helan merupakan suatu  kecelakaan dalam demokrasi. MK sendiri tidak punya prinsip dalam menyelesaikan perkara. 

Artinya, kasus yang sama sudah pernah digugat dan ditolak. Pengertiannya bahwa apa yang diatur dalam Undang-Undang itu tidak bertentangan dengan UUD. Maka gugatan mereka ditolak. 

Halaman
12
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved