Opini

Opini: Membumikan Teologi Publik

Lantas, bagaimana menerjemahkan kunjungan Paus Fransiskus di tengah situasi ketertindasan masyarakat Poco Leok di Kabupaten Manggarai, NTT?

|
Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Ican Pryatno 

Persis inilah semangat dasar Teologi Publik dalam diri Paus Fransiskus, tatkala atas nama misi bersama, ia berani beranjak keluar dari ‘lintas batas’. 

Ia berani ‘membumikan iman’, tatkala keyakinannya yang intim dengan Yang Tertinggi membuahkan refleksi kritis atas kejadian konkret setiap hari.

Peka Terhadap Jeritan

Dalam keterbukaan, spirit Teologi Tublik ini mendorong Paus Fransiskus untuk tanggap terhadap ‘ratap- tangis’. ‘Ratap tangis’ berhubungan dengan kesedihan, tentang keterlukaan dan penderitaan korban. 

Ini adalah realitas yang selalu dekat dengan manusia. Karena memang secara eksistensial manusia adalah makluk yang terluka (Budi Kleden, 2024).

Maka karena keterlukaan inilah, Paus Fransiskus sadar untuk terlibat. Bagi Paus Fransiskus, korban tentu menjerit sakit. Korban pasti tersiksa dengan pengalaman traumatik. 

Karena itu, berhadapan dengan ‘situasi batas’ demikian, Paus Fransiskus menyadari betapa pentingnya mengambil sikap. Iman tidak boleh cari aman. Iman mesti keluar untuk terlibat. 

Sehingga ia menulis demikian: “Saya lebih memilih Gereja yang memar, terluka, dan kotor karena berada di jalan dari pada Gereja yang sehat karena terkurung dan bergantung pada keamanan sendiri”.

Maka dalam semangat dasar Teologi Publik ini, bagi Paus Fransiskus, iman yang terlibat bukan sekadar perasaan iba. Namun, iman yang terlibat identik dengan bela rasa. 

Bela rasa adalah sebuah gerakan aktif. Ia menuntut kewajiban untuk terbuka dan ‘menangkap’ penderitaan korban. Ia menghendaki agar setiap
orang menunjukkan solidaritas dan mengambil bagian dalam tindakan konkret (Sunarko, 2022:266).

Sikap etis semacam ini pun, ditunjukkan Paus Fransiskus secara konkret-simbolis semisal mengunjungi pengungsi di Pulau Lampedusa, Italia, dan turut membasuh kaki para tahanan di penjara pada Kamis Putih (Otto Gusti Madung:2024).

Namun demikian, dalam mengambil bagian dalam tindakan konkret semacam ini, Paus Fransiskus menyadari agat tiap-tiap orang tidak sekadar ‘menggarami’ kenyataan dan memulihkan keterlukaan korban. 

Namun, dalam terang Teologi Publik, menurut Paus Fransiskus, orang juga perlu untuk memuliakan martabat korban dengan menghapus ketidakadilan. 

Dalam terang iman, orang perlu membangun dan menatah struktur sosial yang adil, serta menjamin kepastian hukum (Paus Fransiskus, 2024:74).

Relevansi Teologi Publik di Tingkat Lokal

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved