Kunci Jawaban

Wisata NTT,  Jong Dobo Misteri Artefak Kuno yang Punya Banyak Cerita  di Kabupaten Sikka, NTT

Kabupaten Sikka memiliki begitu banyak pesona wisata, bukan saja alam tetapi juga budaya dan religi. Salah satu wisata budaya adalah Jong Dono

Penulis: Alfred Dama | Editor: Alfred Dama
pariwisatasikka.id
Tokoh masyarakat tengah memegang Jong Dobo 

POS KUPANG.COM -- Kabupaten Sikka memiliki begitu banyak pesona wisata, bukan saja alam tetapi juga budaya dan religi.

Salah satu wisata budaya adalah Jong Dono . Ini merupakan sbeua artfeal dengan cerita mitos yang dipercara oleh warga lokal .

Benda ini juga begitu mistis dan mebuat banyak pisahak penasan dengan keyakinan warga lokal tetamn kekuatan artefak ini 

Dikutuo dari sikkakab.go.id, Jong Dobo, sebuah artefak perunggu dalam bentuk miniatur perahu, yang merupakan warisan sejarah dan budaya dan dianggap memiliki daya magis dan sakral. Artefak tersebut terletak di Kampung Dobo. 

Nama lengkap kampung itu adalah Dobo Dora Nata Ulu , yang artinya puncak Dobo kampung pertama. Tinggi puncak bukit itu luasnya 360 ha. Pada tahun 1932 oleh Pemerintah Belanda dijadikan Hutan Lindung. Dari segi administrasi pemerintahan, kampung ini adalah bagian dari Desa Ian Tena, Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka .

Baca juga: Wisata NTT, 9 Tips Nikmati Pesona Pulau Padar Labuan Bajo yang Eksotik

Di kampung ini tersimpan sebuah artefak, yang diberi nama nama dengan nama kampung itu, yaitu Jong Dobo

Jong adalah kata Bahasa Sikka untuk perahu atau kapal. Masyarakat setempat mengenal juga satu nama lain untuk artefak ini yaitu kapal jong gelang , artinya perunggu, karena miniatur perahu tersebut terbuat dari perunggu. Pengukuran yang dilakukan tahun 1982 yang dilakukan oleh Pro

f. Soejono, Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional menunjukkan ukuran sebagai berikut: panjang 60 cm, tinggi 12 cm dan lebar bagian tengah 8 cm. Detil-detil yang lain adalah awak kapal dalam bentuk patung sebanyak 22 orang.

Enam orang awak pendayung ada di masing-masing sisi kapal, empat orang penari ada di atas geladak kapal diantaranya seorang penari perempuan yang sedang duduk, empat orang lainnya adalah tentara yang menjaga perahu tersebut, bersenjatakan busur, anak panah, bertopi jambul ayam jago.

Sejak semula hingga kini, Jong Dobo disimpan di Bukit Dobo, di tu'an piren, bukit kecil hutang yang keramat, pada onggokan batu.

Tuan pireng secara de facto juga merupakan tempat pemujaan komunitas setempat. Masyarakat meyakininya bahwa ada nitu noang (roh leluhur) yang berdiam di batu-batu besar dan pohon-pohon. 

Baca juga: Wisata NTT, Pesona Pantai Kokang, Serpihan Surga yang ada di Pedalaman Flores Timur NTT

Selain artefak perahu mini perunggu, di kampung tersebut juga terdapat pelataran megalitik, yaitu batu mahe. Mahe atau watu mahe adalah batu berbentuk dolmen dan menhir yang dipasang di tengah kampung, yang menjadi pusat upacara penyembahan leluhur dan penguburan.

Awal mula dan asal dari Jong Dobo menyata dalam syair adat yang dikenal dalam Bahasa Sikka dengan sebutan Kleteng Latar , yaitu prosa liris paralel. 

Muatan syair adat itu nampaknya lebih merupakan suatu legenda dari mitos, dalam artian bahwa yang menonjol adalah pribadi-pribadi historis. Hal ini tentu berbeda dengan pengertian mitos pada umumnya yang mencakup dewa-dewa dan manusia yang secara tipikal Ditempatkan dalam setting yang tidak historis. 

Syair adat atau kleteng berlatar tentang Jong Dobo menjadi media untuk terus menghidupkan ingatan kolektif dan memperkuat identitas sosio-kultural masyarakat tentang Jong Dobo.

2 syair adat berikut ini mengungkapkan tentang Jong Dobo :

Syair adat 1

Soge atau Numba,

Sage Jong Gelang Reta

Jong gelang reta,

Beli uran nora dara

Poto watu ada di Dobo,

 

Poa inga adalah Dobo

Inga ia Dobo,

Jong baleng dadi gelang

 
Orang Soge dan Numba

Yang mengkeramatkan jong gelang itu

Jong gelang itu

Mengurangi hujan dan panas

(Tatkala) mengangkat jangkar di Dobo

Baca juga: Wisata NTT,  Inilah Tiga Air Terjun di Flores Barat yang Memukau Wisman 

Mereka sudah sampai di sana

Kesiangan di Dobo,

(karenanya) kapal itu berubah menjadi gelang

 

Syair Adat 2

'Au moan Woga Pigang,

Tidak ada yang tahu

Bar masih belum ada

Tuku wawa wawa mai

 
Wawa Sina Siam Malaka,

Maing saing sapeng genang,

Wawa Biung Do'a Bima.

 

Peta wawa utama,

Saing Soge tana pu'an

Apa yang terjadi pada seseorang,

Bako ene bajak papak.

 
Tuku dan kata

Sada Watu Manuk

Nian Sika sudah tidak ada lagi,

Nian Nita Karang Jawa

 
Tuku ripa a,

Saing Dobo Dora Nata Ulu,

Tana detun epan,

Tanah desa wohon

 
Akulah Mo'an Woga Pigan,

Berkelana mencari tanah,

Berkeliling menemukan bumi

Mendayung sampan nun jauh dari seberang,

Dari Sina Siam Malaka,

Menyinggung dalam perjalanan,

Negeri Biung Du'a Bima.

 

(Kami) berangkat dari sana,

Menyinggahi Soge tuan tanah,

Tetapi tidak disuguhi siri pinang,

Tidak disajikan gulungan tembakau.

 

Lalu mendayung menuju

Sadang watu manuk

Di negeri Sika pemberani

Ke negeri Nita karang Jawa,

 
Mendayunglah (kami) ke ketinggian,

Sampailah ke Dobo Dora Nata Ulu

Tanahnya datar,

Kampungnya makmur.

 

Dua syair adat di atas menarasikan kisah Jong Dobo, sebuah warisan sejarah dan budaya yang syarat dengan daya mistik dan keajaiban.Ada tiga penegasan yang mau disampaikan berdasarkan syair adat tersebut.

Pertama, masyarakat setempat meyakini adanya daya magis yang ada pada Jong Dobo, yaitu mendatangkan hujan dan angin badai. Hal ini berkaitan dengan adanya Jong Dobo yang bersifat luar biasa dan ajaib, dari yang besar menjadi kecil, yang disebabkan oleh perubahan waktu kosmik malam menjadi siang.

Kedua, tentang asal usul mula perahu ini. Syair adat itu menampilkan bahwa perahu dan masyarakat yang membawa barasal dari negeri seberang atau

tempat lain. Ingatan kolektif masyarakat setempat berdasarkan kisah yang diturunkan para leluhur menyebutkan bahwa sebelum tiba di Dobo, telah terjadi sebuah ekspedisi atau perjalanan jauh dan panjang mulai dari asal usul di Negeri Sina Siam (Ceylon) melalui Malaka, melewati persinggahan tempat-tempat lain antara lain Ata Soge (Ende), Bima, Sada Watu Manuk, Sikka, Nita, dan akhirnya tiba di tempat di mana Jong Dobo ada sekarang. 

Baca juga: Wisata NTT, Pesona  Pantai Abudenok  yang Menggoda di Kabupaten Malaka, NTT

Kisah ini juga mau menegaskan bahwa migrasi para pendatang dari negeri seberang jauh (outsider) seperti dari Siam, India, Cina dan Malaka yang memasuki wilayah nusantara termasuk Sikka menjadi kelompok penghuni yang mendiami wilayah yang datangi, selanjutnya terjalin interaksi sosial dan akulturasi dengan masyarakat lokal.


Ketiga, Masyarakat yang muncul dalam latar kleteng atau syair adat ini adalah mereka yang sudah mengenal pertanian. Mereka selalu mencari tanah yang pinggiran kota dan nyaman untuk perumahan yang lebih baik.

Tana Pu'an dan Tu'an Piren: Ahli Waris dan Pemeliharaan.

Pemilik atau ahli waris Jong Dobo adalah leluhur dari masyarakat di Kampung Dobo, secara khusus Lepo tana pu'an Dobo. Dari asal usul katanya, tana artinya tanah, pu'an , artinya mula, asal, pemimpin atau kepala kampung; tuan tanah. Umumnya diyakini bahwa leluhur tana pu'an adalah orang pertama yang membentuk dan mendiami suatu kampung. 

Tana pu'an juga menjalankan fungsi imamatau pemimpin doa dan persembahan dalam upacara-upacara adat. Perlu digarisbawahi bahwa Jong Dobo itu bukanlah milik pribadi dari salah satu anggota keluarga tana pu'an, tetapi merupakan milik bersama. Orang-orang tertentu dalam keluarga tana pu'an yang dianggap mampu dipercayakan untuk memelihara Jong Bobo.

Jong Dobo Dan Warisan Budaya Dongson Jong Dobo, sebuah miniatur perahu yang terbuat dari perunggu. Jong Dobo menggambarkan adanya hubungan antara budaya setempat dan luar. Etnolog, Theodor Verhoeven, SVD yang banyak melakukan penyelidikan kepurbakalaan di Flores dan juga adalah pendiri Museum Bikon Blewut Seminari Tinggi Filsafat St. Paulus Ledalero mengatakan bahwa perahu ini berasal dari Dongson. Artefak itu menampilkan suatu koneksi antara Flores dan Daratan Asia. 

Jong Dobo adalah salah satu dari sekian artefak perunggu yang ditemukan di Flores. Tahun 1955, Pater Darius Nggawa, SVD menemukan 3 kapak perunggu Dongson di Kampung Guru yang terletak di sekitar 8 km dari Maumere ke arah barat. Selain itu ditemukan juga artefak logam lain di Bajawa, Kabupaten Ngada, sebuah pisau belati yang dianggap sebagai salah satu peralatan logam yang tertua di Indonesia.

Kebudayaan Dongson yang menjadi asal mula Jong Dobo ini awalnya berkembang di Vietnam Utara dan Cina Selatan pada tahun 500-300 SM. Kebudayaan logam yang dikenal di Indonesia berasal dari Dongson, nama lembah sungai dan kota kuno di Tonkin yang menjadi pusat kebudayaan perunggu di Asia Tenggara. Kebudayaan ini telah dibawa masuk ke Indonesia pada tahun 500 SM oleh para migran Deutro-Melayu.

Jong Dobo di Kabupaten Sikka
Jong Dobo di Kabupaten Sikka (pariwisatasikka.id)


Jong Dobo, sebuah artefak perunggu berbentuk miniatur perahu tidak hanya mengungkapkan adanya daya magis, mistik dan sakral, namun secara sosio warisan budaya dalam rupa perahu ini juga menegaskan tentang adanya suatu kultur kehidupan masyarakat sebagai sebuah perahu.

Etnolog Bernhard AG Vroklage, SVD yang melakukan penelitian lapangan di Nusa Tenggara pada tahun 1930an menerbitkan dua laporan penelitian tentang masyarakat perahu. Dari penelitian itu beliau menyimpulkan bahwa dalam masyarakat Asia Tenggara, termasuk Indonesia, gambaran tentang masyarakat sebagai suatu perahu sudah berkembang sekitar tahun 200 SM. 

Menurut penelitian tersebut, gambaran masyarakat sebagai perahu ini diyakini dan dihidupi oleh kelompok-kelompok masyarakat melalui simbolik-simbolik perahu seperti ada di rumah, pelataran megalitis, peti jenazah, dan mitos-mitos. Sebagai contoh rumah adat orang Lio menampilkan simbolik perahu dan tubuh ibu, atap rumah disebut layar kapal. Masyarakat perahu menurut Gambaran Profesor Vroklage terungkap juga dalam salah satu jabatan dalam masyarakat Sikka, yaitu Mangung Lajar , dalam bahasa Sikka berarti tiang utama kapal.

Dari gambaran hasil penelitian tentang masyarakat sebagai sebuah perahu dan keberadaan artefak Jong Dobo mau mengungkapkan juga bahwa secara sosio kultural perahu melambangkan daya juang manusia yang selalu siap menghadapi badai dan gelombang kehidupan. Bahkan secara spiritualitas ada sebuah lagu gereja dalam Bahasa Sikka yang selalu dinyanyikan mengandung kata perahu. 

Penggalan syairnya adalah “Atabiang moret ganu tena lalang, oh Maria jaga tena lopa bitak” artinya: Hidup manusia ibarat perahu di tengah samudera, dalam perlindungan Maria perahu akan tetap kokoh.

 
Jong Dobo Sebagai Destinasi Wisata

Kekhasan ataupun keunikan Jong Dobo merupakan kekuatan daya tarik yang mendatangkan wisatawan untuk berkunjung dan menikmatinya. Unsur wisata budaya secara fisik ini akan dipadukan dengan panorama alam Jong Dobo sehingga mendukung perjalanan wisata untuk tujuan minat khusus( special interest ). 

Tidak ada wisata budaya lain yang mendukung wisata ke Jong Dobo adalah kesenian dan musik lokal. Atraksi budaya ini akan menyemarakan nuansa wisata Jong Dobo karena selalu menyuguhkan nilai atraktif yang menghibur.

Dari sisi keilmuan kunjungan ke Jong Dobo adalah bagian dari pengembangan ilmu pengetahuan bagi para ilmuwan atau peneliti melalui kegiatan penelitian arkeologi dan cabang ilmu yang terkait. 

Penelitian para ilmuwan terdahulu menjadi dasar untuk pengembangan penelitian lanjutan terhadap Jong Dobo, dengan demikian catatan-catatan tentang Jong Dobo tidak hanya sebatas catatan perjalanan wisata tetapi juga merupakan sebuah laporan ilmiah untuk pengembangan ilmu pengetahuan.*

Baca artikel lain di Pos Kupang.com KLIK >>> GOOGLE.NEWS

Sumber: Grid.ID
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved