Berita Nasional
UU KIA - Ibu Pekerja Cuti Melahirkan Digaji Full Empat Bulan
Di dalam UU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) ini, ibu pekerja berhak memperoleh cuti melahirkan paling singkat 3 bulan.
POS-KUPANG.COM, JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (RUU KIA) menjadi undang-undang (UU), Selasa (4/6) lalu.
Di dalam UU KIA ini ibu pekerja berhak memperoleh cuti melahirkan paling singkat 3 bulan. Namun, dalam kondisi khusus, ibu pekerja berhak mengambil cuti paling lama 6 bulan. Pada aturan serupa, seorang suami atau keluarga wajib mendampingi istri yang melahirkan.
Selama mendampingi istri yang melahirkan, seorang suami berhak mendapat cuti selama dua hari dan tiga hari berikutnya sesuai kesepakatan.
Lantas bagaimana respons dari suami terkait hal ini?
Faqih, seorang karyawan swasta di Jakarta beri pendapat. Sebagai seorang ayah dari dua orang anak, Faqih merasa cuti mendampingi istri maksimal lima hari ini dirasa masih kurang.
"Buat saya sebagai suami, kemudian istri melahirkan sebenarnya lima hari rasanya kurang. Tapi kalau secara administrasi tentu mungkin itu cukup," ungkapnya saat diwawancarai Tribun, Jumat (7/6).
Menurutnya hari cuti untuk suami di Indonesia masih terlampau jauh dibandingkan dengan pekerja di luar negeri. Faqih berpendapat jika istri butuh waktu lebih panjang untuk didampingi.
"Kurang dalam artian, misalnya kaya di luar negeri bisa 1-3 bulan. Karena istri perlu didampingi, masa pemulihan dan mengurus anaknya," imbuhnya.
Mengurus anak, menurut Faqih bukan hanya ditanggung oleh istri seorang. Suami bagi Faqih juga punya peran. Mengurus anak usai melahirkan menurut Faqih tidaklah mudah.
Baca juga: Aura Politisi Krisdayanti Makin Terlihat , Ibunda Aurel Hermansyah Kini Perjuangkan RUU KIA
Apalagi dalam kasus ini, istri Faqih baru saja melahirkan anak kedua. Dan jarak antara si sulung dengan anak kedua tidak terlalu jauh. Maka dibutuhkan peran Faqih sebagai seorang ayah untuk mendampingi istri yang baru saja melahirkan.
"Apalagi saya dengan anak dua, dengan jarak hanya berbeda dua tahun. Anak pertama awalnya senang melihat adiknya. Tapi pada waktu tertentu ada sisi iri. Adiknya digendong, ia pun ingin juga," tutur Faqih.
Dalam situasi ini, tentu ibu yang baru saja melahirkan tidak bisa menangani sendiri. Ibu masih mengalami keterbatasan fisik dan butuh mendapatkan dukungan. Baik dari pengasuhan anak hingga pendampingan.
Di sisi lain, ia merasa pemberian cuti 6 bulan pada ibu pekerja terbilang cukup. Karena ini bisa mendukung program Kementerian Kesehatan yang mendorong ASI ekslusif selama 6 bulan pada anak.
"Ini juga akan meringankan karena banyak perempuan harus bolak-balik ke ASI room. Ibaratnya perlu waktu dan mungkin lebih capek ya," tambahnya.
Namun, Faqih mengaku punya kekhawatiran tersendiri dari aturan ini. Dikhawatirkan aturan ini malah mendorong sebagian perusahaan membuat aturan yang menyulitkan perempuan untuk bekerja.
"Bahkan mungkin, (jika) pemerintah tidak tegas pada perusahaan, bisa saja ada yang memainkan aturan tersebut. Misalnya, ada aturan tidak boleh menikah, ada batasan usia tertentu, menunda kehamilan dan lainnya," ucap Faqih.
Hal ini tentu membuat perempuan semakin sulit mencari pekerjaan ke depannya. Sehingga Faqih berharap pemerintah membuat aturan lain untuk mengatasi kekhawatiran tersebut.
"Seperti batas usia, minimal lamaran kerja termasuk pada perempuan. Jangan dilarang untuk hamil atau dibatasi," kata Faqih.
Berbeda dengan Faqih, Ferizco seorang tenaga pengajar punya pandangan berbeda. Menurutnya jatah cuti maksimal 5 hari untuk suami sudah cukup.
Baca juga: Berita Viral DPR RI Sahkan RUU KIA Jadi UU Ibu Bekerja Berhak Cuti Partus 6 Bulan Simak Info
"Tentunya kalau suami dikasih jatah cuti 5 juga sebenarnya cukup sih. Apa lagi kondisi psikologis istri itu emang perlu didampingi suami pasca melahirkan supaya bisa menguatkan dan menenangkan," kata Ferizco.
Namun ia menyarankan ada 3 hari tambahan sebelum ibu melahirkan. Di sisi lain, Ferizco juga memiliki kekhawatiran yang serupa dengan Faqih soal penambahan waktu cuti 6 bulan untuk ibu melahirkan
"Tapi khawatirnya yaitu perusahaan jadi makin selektif buat rekrutmen pekerja perempuan. Karena khawatir dianggap bisa 'libur' kerja terlalu lama tapi tetep harus dikasih Take Home Pay (THP)," tutur Ferizco.
Akibatnya lowongan pekerjaan bagi perempuan jadi lebih sulit. "Tapi di sini seharusnya peran pemerintah, supaya punya kebijakan yang tetap berpihak kepada keadilan," tutupnya.
Fitrah, ibu yang bekerja sebagai karyawan swasta yang bergerak di bidang perbankan ini menyambut baik aturan tersebut. "Menurut saya cukup banget karena sebelumnya 3 bulan itu terasa sebentar banget," ungkapnya.
Ibu dari satu orang anak ini merasa aturan sebelumnya tidaklah cukup. "Kita sebagai ibu belum pulih sepenuhnya secara kesehatan fisik dan mental. Sebagai ibu baru, masih rawan banget stres. Baik stres di kerjaan maupun saat sampai rumah. Harus urus anak," tuturnya.
Cuti melahirkan selama 6 bulan menurut Fitrah sangatlah membantu pemulihan ibu secara fisik dan psikis. Selain itu, anak juga akan mendapat perhatian lebih dari ibu secara utuh. Manfaat lainnya dari UU ini adalah anak bisa mendapatkan air susu ibu (ASI) eksklusif secara baik selama minimal 6 bulan.
"Ini kan untuk kesejahteraan anak juga. Di mana kita sebagai ibu sebisa mungkin harus memenuhi hak anak akan ASI Ekslusif selama 6 bulan pertama," kata Fitrah.
"Yang sering ditakutkan kan kalau sudah stres di kerjaan,sibuk, jarang pompa ASI akan mengurangi produksi ASI. Ujung-ujungnya anak kasihan," imbuh Fitrah.
Berbanding terbalik dengan cuti melahirkan, Fitrah merasa cuti suami dirasa masih kurang. Menurut Fitrah, jika memungkinkan, cuti suami harusnya sampai satu bulan.
Baca juga: DPR Sahkan UU Kesejahteraan Ibu dan Anak, Cuti Melahirkan jadi 6 Bulan
"Suami sih kalau bisa sebulan ya cutinya. Karena satu bulan pertama itu masa-masa berat banget adaptasi buat ibu," ucap Fitrah.
Mungkin sang suami tidak merasakan apa yang dialami istri. Tapi kata Fitrah, dengan cuti suami yg lebih lama, kehadiran pasangan dapat membantu dan menenangkan sang ibu.
"Biar sama-sama urus anak, agar ibu ga baby blues dan merasa sendiri. Tapi di sisi lain memang suami pencari nafkah yang lebih utama, jadi menurut saya masih relevan kalo seminggu," tambahnya.
Terakhir, Fitrah memberikan saran pada perusahaan yang memperkerjakan para ibu. "Jika ada ibu yang baru saja melahirkan saat masuk kerja jangan dikasih kerjaan yang terlalu berat dan bikin stres. Jangan dipaksa bekerja yang membutuhkan kekuatan fisik lebih. Karena banyak ibu baru melahirkan akhirnya alami pendarahan," kata Fitrah lagi.
Terutama pada ibu yang melahirkan lewat operasi sesar. Sebagian ibu rentan alami pendarahan. Tidak hanya itu, kantor juga harus menyediakan tempat yang nyaman untuk ibu memompa ASI atau menyusui. Ruangan tersebut harus dilengkapi kulkas, tempat cuci tangan dan kursi yang nyaman untuk ibu.
Sedangkan pada pemerintah, ia berharap aturan ini pada praktiknya tidak dipersulit dan tetap konsisten dijalankan di kemudian hari.
"Sedangkan untuk pemerintah, kalau pun cuti tambahan 3 bulan itu untuk ibu yang komplikasi atau bermasalah, jangan disulitkan untuk berobatnya. Dan jangan berubah-ubah lagi karena ganti presiden," tutupnya.
Dekatkan Anak-Ibu
Dokter Anak RS Mitra Keluarga Bintaro, dr. Melisa Lilisari, Sp.A, MKes mendukung lahirnya UU KIA. Kata dr Melisa pemberian cuti selama enam bulan bagi ibu pekerja yang melahirkan bisa mengurangi stress. Sang ibu kata dia juga bisa cukup beristirahat.
Selain itu kata dia ibu juga bisa memberikan ASI eksklusif selama enam bulan. "Mendukung keberhasilan menyusui ASI eksklusif enam bulan karena ibunya less stress harus berbagi peran jadi ibu dan bekerja. Tidur juga lebih cukup, tahu sendiri bayi enam bulan pertama sleep trainingnya masih challenging. Less stress less baby blues," katanya.
Ia juga berharap perusahaan-perusahaan tetap menggaji ibu-ibu pekerja yang melahirkan dan cuti enam bulan. Kalau tidak kata dia sama saja membuat si ibu menjadi tambah stress.
"Kalau enggak kan sama saja jadi masalah ekonomi, stress lain lagi," kata dr Melisa.
Dengan diberikannya cuti enam bulan tersebut lanjut dr Melisa secara psikologis juga bisa mendekatkan anak dengan ibu. Karena saat ini tidak semua orang punya support system yang bagus.
"Dititip mbak, dititip nenek enggak semua orang bahkan sebagian besar enggak sebagus parenting dan pengasuhan dari bapak dan ibunya sendiri," ujar dr Melisa.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga menyebut bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) yang baru disahkan sebagai wujud kehadiran negara dalam meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak sebagai sumber daya manusia dan generasi penerus bangsa yang unggul di masa depan.
Ia menyatakan, rumusan tersebut telah diuji kohesivitas substansinya sehingga lebih tajam dan komprehensif.
Bintang menyoriti, saat ini ibu dan anak di Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan, misalnya tingginya angka kematian ibu pada saat melahirkan, angka kematian bayi, dan stunting. Sementara kebijakan kesejahteraan ibu dan anak masih tersebar di berbagai peraturan dan belum mengakomodasi dinamika kebutuhan hukum masyarakat.
"Pemerintah perlu menata pelaksanaan kesejahteraan ibu dan anak pada fase seribu hari pertama kehidupan secara lebih komprehensif, terukur, terpantau, dan terencana dengan baik,” tutur Menteri PPPA.
Baca juga: La Moringa Ajak Ibu-ibu dan Anak Muda Konsumsi Pangan Lokal
Lebih lanjut ia menjelaskan, secara substansial RUU ini menjamin hak-hak anak pada fase seribu hari pertama kehidupan, sekaligus menetapkan kewajiban ayah, ibu, dan keluarga.
"Kesejahteraan ibu dan anak merupakan tanggung jawab bersama," ungkap dia. Selain itu, seorang ibu juga memerlukan ruang untuk tetap berdaya selama anak dalam fase seribu hari pertama kehidupan.
Oleh karenanya, suami wajib memberikan kesehatan, gizi, dukungan pemberian air susu ibu, dan memastikan istri dan anak mendapatkan pelayanan kesehatan dan gizi.
Meringankan beban ibu dan terciptanya lingkungan yang ramah ibu dan anak, baik di keluarga, di tempat kerja, maupun di ruang publik merupakan prasyarat penting kesejahteraan ibu dan anak pada fase seribu hari pertama kehidupan.
“Kita semua memiliki harapan besar ibu dan anak pada fase seribu hari pertama kehidupan dapat hidup tenteram dan nyaman apapun keadaannya. RUU ini akan menguatkan pelaksanaan kebijakan dan program ini," harap Menteri Bintang.
Tetap Digaji
Terpisah, Kementerian Ketenagakerjaan menyambut baik persetujuan DPR RI atas Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan menjadi undang-undang. UU KIA tersebut diyakini akan semakin meningkatkan pelindungan dan kesejahteraan bagi pekerja/buruh.
“Pengesahan RUU KIA menjadi udang-undang merupakan wujud konkret dari komitmen DPR dan Pemerintah untuk menyejahterakan ibu dan anak menuju Indonesia Emas,” kata Dirjen PHI dan Jamsos Kemnaker, Indah Anggoro Putri.
Putri mengatakan, Kemnaker merupakan salah satu bagian dari kementerian yang terlibat dalam pembahasan RUU KIA selain KPPPA, Kemensos, Kemendagri, dan Kemenkumham.
Melalui keterlibatannya, Kemnaker memastikan bahwa pengaturan-pengaturan dalam RUU KIA tidak bertentangan dengan aturan-aturan ketenagakerjaan lainnya, baik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), maupun Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja).
“Kami telah memastikan bahwa apa yang diatur dalam UU KIA tersebut terutama yang kaitannya dengan ibu yang bekerja yang melahirkan, menyusui, dan keguguran serta pekerja laki-laki yang istrinya melahirkan atau keguguran, tidak bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan maupun UU Cipta Kerja,” katanya.
Secara spesifik, beberapa pengaturan dalam UU KIA yang berhubungan dengan ketenagakerjaan adalah cuti melahirkan bagi ibu yang bekerja.
Dalam UU KIA, setiap Ibu yang bekerja berhak mendapatkan cuti melahirkan paling singkat 3 bulan pertama dan paling lama 3 bulan berikutnya apabila terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
Selama masa cuti tersebut mereka berhak atas upah yang dibayar penuh untuk 3 bulan pertama dan bulan keempat. kemudian 75 persen dari upah untuk bulan kelima dan bulan keenam.
Baca juga: Komitmen Turunkan Angka Kematian, RSUP dr Ben Mboi Kupang Hadirkan Layanan Kesehatan Ibu dan Anak
Selain itu, mereka yang mengambil cuti tersebut tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya dan tetap memperoleh haknya sesuai dengan ketentuan aturan-aturan ketenagakerjaan.
“Ketentuan mengenai cuti melahirkan bagi ibu yang bekerja yang diatur dalam UU KIA merupakan bentuk penguatan dari ketentuan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan, yang mana ketentuan mengenai hal tersebut tidak dilakukan perubahan dalam UU Cipta Kerja,” jelasnya.
Selain ibu yang melahirkan, UU KIA juga mengatur hak suami untuk cuti pendampingan istri pada masa persalinan, yaitu selama dua hari dan dapat diberikan paling lama 3 hari berikutnya atau sesuai dengan kesepakatan.
Bentuk perlindungan lainnya bagi ibu yang bekerja yang melahirkan adalah hak waktu istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter, dokter kebidanan dan kandungan, atau bidan jika mengalami keguguran; serta kesempatan dan fasilitas yang layak untuk pelayanan kesehatan dan gizi serta melakukan laktasi selama waktu kerja.
Ia menambahkan, selain penguatan pelindungan pekerja/buruh, UU KIA juga mempertegas aspek kesejahteraan pekerja/buruh melalui penyediaan fasilitas kesejahteraan pekerja.
“Adapun jenis fasilitas kesejahteraan pekerja tersebut bisa macam-macam, yang penting fasilitas kesejahteraan pekerja tersebut memang dibutuhkan oleh pekerja di perusahaan dan perusahaan mampu untuk menyediakannya,” ujarnya. (tribun network/ais/mat/rin/wly)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/ilustrasi-ibu-hamil-pixabaycom.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.