Opini
Pesan Pemimpin dari Senayan
Calon Presiden Prabowo Subianto dan calon Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka tampil di atas panggung di Istora Senayan, Jakarta, Rabu (14/2) malam.
Oleh Yosua Noak Douw
Doktor lulusan Universitas Cendrawasih, Jayapura
POS-KUPANG.COM - Calon Presiden Prabowo Subianto dan calon Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka (selanjutnya: Prabowo Gibran) tampil di atas panggung di Istora Senayan, Jakarta, Rabu (14/2) malam. Penampilan Prabowo dan Gibran disaksikan pimpinan partai koalisi, relawan, dan ribuan pendukung saat mengetahui keduanya leading sementara Pilpres 2024 berdasarkan hasil hitung cepat (quick count) sejumlah lembaga polling.
Salah satu poin penting pesan Prabowo dapat disebut di sini. Ia mengajak sesama anak bangsa agar bersyukur pada bangsa dan negara. Indonesia diakui merupakan bangsa bermartabat dan panutan bangsa-bangsa lain di dunia. Sebagai bangsa bermartabat dan panutan, semua itu tak lepas dari peran pendiri (founding fathers) dan para pemimpin terdahulu.
Prabowo mengajak hadirin dan seluruh rakyat berterima kasih kepada pemimpin, presiden terdahulu dan hingga kini karena setia bekerja keras mengatur negeri dan rakyat di masa tugas dan pengabdiannya. Mulai dari Presiden Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan kini Joko Widodo. Ajakan Prabowo tersebut dapat dibaca dan dipahami dalam sejumlah aspek.
Pemimpin terbuka
Meski unggul sementara dari dua paslon lain versi hasil polling sejumlah lembaga, Prabowo dan Gibran bukanlah tipikal pemimpin yang larut dalam eforia kemenangan berkepanjangan tanpa tunduk pada aturan penyelenggara terkait hasil resmi penghitungan suara. Namun, perayaan “kemenangan” Prabowo dan Gibran bersama pimpinan partai koalisi dan pendukung merupakan bentuk apresiasi kecil pemimpin kepada rakyat selaku pemberi mandat.
Selain itu, dapat dibaca lebih dalam isi hati Prabowo sebagai seorang politisi dan pemimpin dalam perjalanan politik Indonesia. Pertama, Prabowo dan Gibran hendak menunjukkan diri bahwa dalam kontestasi politik (Pilpres) semua yang terlibat dan ambil bagian di dalamnya adalah anak bangsa. Masing-masing meniatkan dan menempah diri dalam tugas dan pengabdiannya sebelum akhirnya masuk dalam politik sebagai media pelayanan demi meraih kebaikan bersama (bonum commune).
Kedua, hemat penulis, Prabowo dan Gibran hendak menegaskan bahwa Indonesia adalah negeri —meminjam istilah masa kerajaan Majapahit— yang gemah ripah loh jinawi atau tenteram, makmur dan tanahnya sangat subur. Ketenteraman dan kekayaan alam itu sudah dikelola para pemimpin, presiden terdahulu bersama seluruh elemen (stakeholders) semata-mata untuk memajukan kesejahteraan rakyat.
Ketiga, apresiasi atas kerja keras dan dedikasi Prabowo dan Gibran kepada pemimpin, presiden terdahulu merupakan nilai dan sikap kenegarawanan seorang pemimpin yang lahir dari beragam latar belakang, baik dalam lingkup lembaga keagamaan, birokrasi pemerintahan, perguruan tinggi, kalangan entrepreneurship (kewirausahaan) hingga partai politik.
Keempat, Prabowo dan Gibran sungguh menyadari bahwa ucapan terima kasih, apresiasi, dan permohonan maaf tulus adalah nilai-nilai keteladanan yang lahir dari hati terdalam seseorang. Nilai-nilai itu bukan sekadar diwariskan orangtua namun juga seorang pemimpin kepada pemimpin, presiden terdahulu yang mesti terus dilestarikan dalam kepemimpinan di mana pun di tengah kehidupan.
Sebagai pemimpin yang lahir dari proses politik, misalnya, nilai-nilai tersebut mesti terus ditumbuhkembangkan. Sikap Prabowo dan Gibran tersebut sekaligus menunjukkan betapa dalam perbedaan apa pun, sikap mengasihi, rendah hati bahkan merangkul menjadi keutamaan seorang pemimpin.
Mengapa? Negeri ini memiliki banyak pemimpin yang datang silih berganti sehingga nilai-nilai dan sikap tersebut tetap menjadi panduan seorang pemimpin dalam realitas sosial kemasyarakatan. Hal-hal inilah yang sungguh disadari Prabowo dan Gibran kemudian mengemuka dari Istora. Berbekal pengalaman sebagai prajurit dan abdi negara serta track record di bidang politik. Prabowo sungguh memahami bahwa mengatur negara butuh sinergitas lintas pihak, termasuk pemimpin, presiden yang lahir dan tumbuh dalam rahim politk.
Rahim politik
Perjalanan hidup serta pengabdian Prabowo dan Gibran berbeda. Namun, keduanya lahir dari rahim yang sama yaitu politik setelah sebelumnya merenda karier di bidangnya masing-masing. Latar kehidupan dan pengabdian orangtua Prabowo dan Gibran keluarga mudah dideteksi melalui berbagai literatur dan media.
Ayah Prabowo, Soemitro Djojohadikoesoemo seorang ekonom dan politisi Indonesia di masanya. Murid Soemitro menjadi menteri era Soeharto. Sebut saja JB Sumarlin, Ali Wardhana, dan Widjojo Nitisastro. Soemitro adalah putra Raden Mas Margono Djojohadikusumo, pendiri Bank Negara Indonesia dan anggota BPUPKI.
Darah Prabowo seolah turun dari sang ayah. Prabowo adalah sosok dan pejuang tangguh. Ia pribadi yang tak mudah patah arang. Latar militer dan pengalaman di jagad politik tak diragukan setelah ia mendirikan Gerindra, salah satu partai yang kelak menjadi lahan pengabdian anak bangsa. Selama karier di dunia politik ia menunjukkan diri sosok pekerja keras dan pantang menyerah bila menyentuh kepentingan bangsa dan negara.
Sebagai seorang pejuang, Prabowo telah membuktikan keberaniannya dalam berbagai medan. Karier militernya yang cemerlang telah menempatkannya sebagai salah satu tokoh yang dihormati dalam dunia militer. Dengan koleksi pengalaman mumpuni, ia telah melewati tantangan yang ujungnya membentuk dirinya pribadi yang kuat dan teguh.
Sedang Gibran adalah sosok anak muda yang melejit namanya saat menjadi Wali Kota Surakarta periode 2021-2026. Gibran adalah putra sulung Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana Jokowi. Dua adik kandung yaitu yakni Kahiyang Ayu dan Kaesang Pangarep. Saat dilantik menjadi wali kota pada 26 Februari 2021 ia baru menyentuh usia 33 tahun. Gibran disebut-sebut menjadi wali kota termuda dalam sejarah Kota Surakarta.
Gibran masuk Sekolah Menengah Pertama di Solo dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Orchid Park Secondary School, Singapura. Tahun 2007, Gibran merampungkan kuliah di Management Development Institute of Singapore. Ia kemudian masuk Program Insearch di University of Technology Sydney Insearch, Sydney, Australia hingga lulus tahun 2010.
Dunia politik juga menjadi lahan pengabdiannya. Berbekal latar belakang perjuangan bagi orang-orang kecil, wong cilik dan kerinduannya memajukan bangsa dan negara dari daerah merupakan jalan sunyi tanga grasa grusu. Dewi fortuna seolah menggenggam tangan Gibran sebelum akhinya terpilih menjadi Wali Kota Surakarta menggandeng wakilnya, Teguh Prakosa, kader senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Kota Surakarta.
Perjalanan hidup seseorang adalah misteri Ilahi. Perjuangan dan pengabdian tanpa kenal lelah menjadi satu-satunya bahasa yang tentu dipahami sebagian elite politik. Namun, lahan politik sebagai medan pengabdian bagi masyarakat, bangsa, dan negara bukanlah tanpa onak dan duri. Meski demikian, spirit perjuangan tanpa lelah mesti terus menyala dalam batin.
Para pemimpin, presiden terdahulu sudah meletakkan dasar dan generasi berikut melanjutkan sepenuh hati. Jasa para pemimpin, presiden wajib diapresiasi. Tidak boleh menjadi pemimpin yang seolah terpapar virus amnesia.
Ungkapan doa, terima kasih, apresiasi, nasihat, dan arahan yang diwariskan pendahulu tetap menjadi pegangan siapa pun pemimpin di negeri yang gemah ripah loh jinawi. Persis seperti pesan pidato Prabowo dan Gibran dari Istora, Senayan, Kamis (14/2) malam.
Dr Yosua Noak Douw, S.Sos, M.Si, MA. Lulusan Program Doktor Universitas Cendrawasih, Jayapura.
Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.