Cerpen
Di Antara Aku dan Dia Ada Tembok Terbentang Indah Beraroma Cinta
Matanya seakan tidak berkedip bersyukur menikmati panorama danau Weekuri yang luar biasa, hadiah cuma-cuma dari Tuhan untuk Sumba Barat Daya
Aku menarik tangannya lalu pergi menawar sarung dan kain baju, tenunan asli Kodi. Dia sangat tertarik namun tunda membeli pada kesempatan yang lain. Semoga saja Tuhan izinkan, katanya.
Di layar HP terlihat jam 13.00. Tidak tahan, perut sudah lapar. Aku bertanya, apa masih ada roti. Seingatku dia turun belanja di Dapur Sumba.
Tidak ada, jawab dia. Untuk menyelamatkan diri, kami putar haluan ke Karoso pada saudariku, Mama Juang.
Di sana dia dijamu sebagai tamu spesial dengan daging ayam kampung dan ikan goreng yang enak. Aku melihat dia makan dengan sangat nikmat dan nyaman seperti di rumah sendiri.
Dalam perjalanan pulang berkali-kali dia katakan syukur karena merasa damai dalam hati diterima dengan cara yang luar biasa oleh Mama Juang bersama Domi,suaminya dan anak-anak. Waktu pamit pulang, ia meninggalkan pesan.
“Beta pasti datang lagi atas seizin Tuhan.”
Ketika tiba di Tambolaka, heran.., aku heran.. dia menangis darah. Aku sungguh bingung dan kecewa karena suka cita dan rasa damai dari Weekuri kini hilang terbang, entah mengapa.
“Bapak, Beta akan kembali besok.”
“Aduh, cepat sekali?”
“Sebetulnya ingin lama. Sonde tahu, hati Beta tiba-tiba sonde nyaman. Tahu mengapa.”
Dia menangis lebih sedih lagi. Hati dan jiwaku terpukul sekali. Dari jauh dia datang untuk senang-senang. Tetapi belum semalam jua dia inap di rumahku, dia segera pulang dengan hati luluh.
Hatiku lebih sedih lagi karena merasa momentnya belum tepat membuat hatinya berdamai dengan kenyataan. Aku bilang padanya: Aku salah, aku salah, karena ternyata perjalanan ini tidak semulus seperti yang diimpikan.
Ketika aku mengantarnya pulang pada keesokan hari aku kebanyakan diam sementara dia tidak putus-putusnya bicara. Aku hanya menyela dengan kata ya dan ya dengan alasan lagi fokus mengendara.
Tetapi dari gesturku dia tahu, bahwa sesungguhnya aku sedang terbelenggu. Di perhentian lampu merah dia meneguhkan hatiku dengan ungkapan bijak.