Cerpen

Anak Lubang Batu

Cerpen ini bercerita tentang Bela yang kawin lagi setelah merantau di Bali, lalu mengabaikan suami dan anaknya di Sumba. Anaknya pun telantar.

Editor: Agustinus Sape
kompas.com
Ilustrasi perceraian suami istri, anak telantar. 

Dengan Linda berada di bawah pengasuhan opa-oma, Bani merdeka tanpa beban. Macamnya ia berlagak, Linda bukan anak. Hal demikian bertentangan dengan prinsip opa-oma.

Karena itu, Bani harus diberi pembelajaran pikul tanggung jawab. Linda disuruh berlibur di rumah ayahnya. Kalau akhirnya Linda tidak dipulangkan, maka syukurlah opa-oma kurang beban.

Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Linda baru dua malam dipaksa pulang dan karena keras kepala mau tinggal dengan ayah, maka Bani hajar anak sampai minta ampun.

Sebenarnya bukan masalah kalau Linda dalam pengasuhan opa-oma, asalkan ada sedikit pengertian. Misalnya sesekali Bani bekali anak dengan sedikit uang dan beberapa kilo beras.

Kalau sama sekali kosong dan sepenuhnya jadi beban opa-oma, maka di mana bukti kasih sayang orang tua. Semangat beranak tanggung jawab nol, kata Oma.

“Manusia macam apa yang begitu? Binatang yang tidak ada akal Budi sayang anak.”

Seiring waktu Linda sudah remaja 15 tahun. Rindunya pada orang tua kian membara. Linda ingin bukti bahwa orang tua bertanggung jawab pada anak yang dilahirkan.

Cuma masalahnya Linda akan berlindung di mana? Pada ayah tidak mungkin. Ayah kejam dan tidak mau ada anak dalam rumah. Tidak tahu apa dasarnya? Apa Bani takut jikalau nanti Linda seperti mamanya gonta-ganti laki?

Alangkah bagusnya pada mama, kata hati Linda. Cuma masalahnya di manakah alamat mama yang sebenarnya. Jangan sampai sudah di luar negeri. Selama ini orang hanya bilang mama pergi kerja cari uang, tetapi tidak jelas cari uang di mana dan kapan akan pulang.

Suatu waktu Linda menghadap pada Melki, pamannya yang buka toko dekat kota kecamatan. Linda mengeluh dengan air mata, bahwa ia sangat rindu mama. Atas dasar iba, maka Melki berikan bantuan 2 juta dan juga berikan alamat Bela.

Informasi keberangkatan Linda ke Bali dirahasiakan. Takutnya Bela menolak Linda dengan alasan tertentu. Linda sendiri tidak sms, wa atau telepon kepada Bela, sekalipun ia sudah pegang nomor handphone mamanya. Katanya, mau berikan kejutan.

Melalui bantuan seorang teman yang juga sudah lama kerja di Bali, akhirnya Linda bertemu dengan mamanya. Awalnya Bela ragu dan bahkan mau tolak karena dia tidak bayangkan, bahwa Linda kini sudah gadis cantik rupawan.

Tetapi setelah mendengar kisah gadis yang ada di depan matanya, maka akhirnya Bela menerima Linda hidup bersamanya dengan sangat hati-hati. Masalahnya waktu berkenalan dengan Mance, Bela mengaku masih gadis perawan, sementara kenyataan, ya hanya Tuhan tahu.

Kehadiran Linda di Bali menyulut konflik Bela dengan Mance. Bela mau agar Linda tetap bersamanya dan secara diam-diam ia berharap agar Mance menerima Linda sebagai anak kandung.

Sebaliknya Mance berharap agar Linda secepatnya pulang Sumba. Katanya, serumah dengan Linda sama halnya serumah dengan Bani, musuh yang pernah menganiaya di masa lalu.

Bela jadi dilema. Tetap pertahankan Linda, berarti ia siap terima kenyataan ditinggal-pergi oleh Mance. Pulangkan Linda ke Sumba berarti ia siap disumpah serapah oleh Linda yang selama ini merana tidak alami kasih sayang orang tua.

Berhari-hari Bela terbelenggu rasa. Kebahagiaan yang begitu indah bersama Mance kini secara sistematis terkoyakkan. Mance yang awalnya peramah dan sayang istri, kini tampil galak mau makan orang.

Kini Bela terkurung di kamar dan tidak berani keluar dari rumah. Ia takut tergilas kendaraan akibat dari pikiran dan perasaan yang kacau balau gara-gara hadirnya Linda di Bali.

Seandainya Linda tidak datang di Bali, maka cinta Mance tidak akan pernah tergoyahkan. Sekarang Mance sedang mepet-mepetnya dengan perempuan lain. Semoga saja hanya sugesti agar Bela secepatnya usir Linda pulang Sumba.

“Linda, kapan engkau pulang Sumba?” Linda diam. Tidak tahu apa yang mengganjal nuraninya. Bela mengulang pertanyaan yang sama.

“Linda, kapan engkau pulang Sumba?”

“Kenapa mama tanya demikian? Apa mama tidak suka saya?”

“Mama mau hidup aman!”

“Oh, berarti saya ini anak pembawa sial? Pantas saja terkurung di kamar selama saya ada.”

“Kamu punya mata, telinga, dan hati. Apa kamu suka mama cerai dobel-dobel?”

“Bukan saya yang suruh cerai. Kalau mama hobinya cerai, ya silakan cerai!”

Bela merasa terpojok. Ia masuk kamar dan ambil uang 3 juta. Ia keluar dari kamar lalu mengusir Linda.

“Ini..!” Linda diam tapi air mata menganak sungai. Bela bentak dan usir Linda.

“ Ini uang..! Keluar sekarang..! Kalau engkau masih tinggal, saya panggil bajingan biar kau diperkosa.”

Linda ketakutan. Ia terima uang dari tangan mamanya dengan terpaksa. Ia mengambil tas dan berlari ke luar. Untungnya, ketika tiba di terminal Linda bertemu dengan Lian, mahasiswi dari Sumba yang sedang kuliah di Denpasar.

Seandainya tidak ada Lian, maka tidak tahu seperti apa Linda di Bali. Mungkin saja doa mamanya terkabul, Linda diperkosa bajingan Bali.

Dengan bantuan Lian pula, beberapa hari kemudian Linda pulang Sumba dengan NAM AIR. Ketika tiba di rumah opa-oma, Linda menangis banting diri. Opa-oma kaget dan bertanya-tanya apa yang terjadi pada diri Linda.

Oma merangkul dan menyeka air mata Linda dengan tangan yang kotor. Ia dari kebun dan karena kaget, Oma tidak sempat cuci tangan.

Dua hari kemudian dalam acara makan malam bersama dengan opa-oma, Linda menumpahkan sakit hati.

“Saya tidak pernah minta dilahirkan. Tuhan punya mau sehingga benih ayah yang tertanam dalam rahim mama akhirnya terbentuk jadi manusia, maka lahirlah saya seorang perempuan yang diberi nama yang indah.”

Linda menyeka mata dengan telapak tangan. Agak lama terdiam. Opa-oma cuma elus dada dan tidak berani menimpali barang sekata. Kemudian Linda lanjut cerita.

“Saya ini anak lubang batu! Bapak-mama cuma rakus bercinta tetapi tidak ada nurani mengasihi buah hati!”

Tambolaka, 12 Desember 2022

Aster Bili Bora
Aster Bili Bora (Foto Pribadi)

Aster Bili Bora, sastrawan tinggal di Tambolaka, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT. Email: asteriusbilibora@gmail.com Antologi cerpennya: Bukan sebuah jawaban (1988), Matahari jatuh (1990), Bilang saja saya sudah mati ( 2022), dan yang akan menyusul terbit: antologi cerpen Laki yang terbuang, dan antologi Lahore. Karya novel yang sedang disiapkan: Laki yang kesekian-sekian. Antologi bersama pengarang lain: Seruling perdamaian dari bumi flobamora tahun 2018 , Tanah Langit NTT tahun 2021, Gairah Literasi Negeriku tahun 2021, Guru berkesan tak lekang dari ingatan tahun 2022

Ikuti berita Pos-Kupang.com di GOOGLE NEWS

BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved