Catatan Kritis Asosiasi LBH APIK Indonesia untuk Kasus Pembunuhan Brigadir J
Asosiasi LBH APIK Indonesia memberikan catatan kritis terhadap kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J oleh Irjen Sambo,
Penulis: OMDSMY Novemy Leo | Editor: OMDSMY Novemy Leo
Terkait hal itu, ada beberapa catatan yang mesti mendapat perhatian.
Bahwa kasus penghilangan dan perampasan nyawa seseorang adalah pelanggaran berat atas hak paling hakiki yakni hak hidup dan karena itu pemantauan haruslah dilakukan pada setiap tahapan proses pidana untuk memperoleh kebenaran materiil.
Asosiasi LBH APIK Indonesia menyayangkan rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komnas HAM/Komnas Perempuan terkesan kurang kuat dalam menekankan pelanggaran hak asasi manusia di dalam proses-proses ini dengan tidak memberi catatan terhadap perlakuan terhadap keluarga sejak saat pembunuhan dan diserahkannya jasad Brigadir J kepada keluarga hingga dilakukannya rekonstruksi dimana para pengacara keluarga almarhum Brigadir J dilarang untuk menyaksikan rekontruksi tersebut.
Terkait pernyataan Komnas Perempuan/Komnas HAM terkait tentang adanya dugaan kuat terjadinya kekerasan seksual berupa perkosaan terhadap PC yang dilakukan oleh Alm. Brigadir J dan merekomendadikan kepada kepolisian untuk melakukan penyidikan dan pendalaman atas pengakuan PC.
Asosiasi LBH APIK Indonesia menyatakan bahwa dalam banyak kasus, pembuktian atas kekerasan seksual sering sulit dilakukan karena itu membutuhkan kecermatan dalam menganalisa soal relasi kuasa dan interseksionalitasnya, serta bukti-bukti lain sesuai prinsip yang diatur dalam hukum acara pidana.
Baca juga: LPSK Heran Istri Ferdy Sambo Tidak Usir Brigadir J Usai Alami Kekerasan Seksual
Bahwa kasus kekerasan seksual dapat terjadi pada siapa saja dan dilakukan oleh siapapun. Namun analisis relasi kuasa antara pelaku kekerasan dengan perempuan korban yang biasanya digunakan dalam kasus perkosaan atau kekerasan seksual lainnya, tidak serta merta dapat diterapkan begitu saja dalam kasus PC.
Faktor relasi mana yang lebih dominan dalam hubungan PC dengan Brigadir J, status sosial, kultur kepolisian, semua faktor-faktor ini perlu dipertimbangkan.
Oleh karena itu, perlu adanya kehatihatian dari lembaga-lembaga independen negara maupun aparat penegak hukum dalam menyusun kesimpulan dari kasus tersebut karena dapat berimbas kepada perspektif masyarakat terhadap korban perkosaan atau kekerasan seksual.
Meskipun demikian dari kasus ini masyarakat memperoleh pembelajaran yang baik tentang apa yang dimaksud dengan relasi kuasa sebagai unsur penting dalam kasus kekerasan seksual
Pengakuan PC sebagai korban kekerasan seksual, meski diperkuat oleh kesaksian dua orang yang kredibilitasnya secara hukum dapat dipertanyakan, sebaiknya tidak dilihat sebagai kasus yang berdiri sendiri.
Tetapi merupakan bagian dari kasus pembunuhan yang mana sudah ditemukan adanya “obstruction of justice” dalam kasus tersebut. Adanya dugaan peran PC dalam rencana pembunuhan termasuk dalam menjanjikan uang tutup mulut kepada ketiga pelaku pembunuhan, serta menyita HP para ajudannya, sehingga Polri menetapkan PC sebagai tersangka.
Fakta-fakta yang ditemukan baik oleh kuasa hukum keluarga Brigadir J maupun Tim Penyidik Polri serta hasil investigasi Komnas HAM, seperti salah satunya pengakuan PC yang diminta FS untuk mengubah TKP, dan hal-hal lainnya yang merupakan bagian dari temuan adanya “obstruction of justice”.
Sehingga perlu analisis yang lebih mendalam agar tidak menjadi bagian dari upaya untuk mengalihkan motif yang sebenarnya serta untuk meringankan hukuman bagi para tersangka pelaku nanti di persidangan, hal-hal yang semestinya menjadi ranah tugas dari pengacara PC dan Sambo serta tersangka lainnya.
Asosiasi LBH APIK Indonesia juga merasa perlu memberi catatan terhadap KPAI dan LPAI yang memperjuangkan perlindungan terhadap anak-anak Sambo dan PC untuk tidak dibully dan untuk yang masih balita agar tetap memperoleh asuhan penuh dari PC dan karena itu agar terhadap PC tidak dilakukan penahanan.
Namun demi tegaknya keadilan dan prinsip non diskriminasi hendaknya kepolisian dapat mengambil kebijakan berdasarkan prinsip the best interest of the children terhadap semua tersangka perempuan dengan anak balita untuk tidak dilakukan penahanan di rutan atau setidaknya hanya memberlakukan penahanan rumah atau penahanan kota tergantung pada sisi kepentingan penahananya, seperti tidak ada kekhawatiran
untuk melarikan diri atau menghilangkan alat bukti.
