Berita Papua

Baleg DPR Setujui RUU Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya di Tengah Perbedaan Pendapat

Di tengah kontroversi pemekaran wilayah Papua, Baleg DPR RI terus menindaklanjuti pembahasan RUU Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya.

Editor: Agustinus Sape
KOMPAS.com/Ardito Ramadhan D
Ilustrasi sidang di DPR RI. 

Baleg DPR Setujui RUU Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya di Tengah Perbedaan Pendapat


POS-KUPANG.COM, JAKARTA - Di tengah kontroversi pemekaran wilayah Papua, Badan Legislatif (Baleg) DPR RI terus menindaklanjuti pembahasan RUU Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya. Baleg pun mayoritas telah menyetujuinya.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi mengatakan, Baleg menyetujui Rancangan Undang-Undang Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya setelah mengadakan rapat pleno atas hasil RUU tersebut di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin 30 Mei 2022.

"Kami meminta persetujuan kepada rapat, apakah hasil harmonisasi Provinsi Papua Barat Daya dapat disetujui?" kata Baidowi dalam rapat.

"Setuju," jawab para peserta rapat yang diiringi ketukan palu.

Pria yang akrab disapa Awiek itu kemudian menjelaskan bahwa terdapat delapan fraksi yang setuju pada pembentukan RUU Provinsi Papua Barat Daya.

Hanya satu Fraksi yaitu Fraksi Partai Demokrat yang menolak menyetujuinya.

"Satu fraksi yakni Fraksi Partai Demokrat meminta dikembalikan kepada pengusul untuk disempurnakan kembali," ujar dia.

Dalam rapat, anggota Baleg dari Fraksi Demokrat, Debby Kurniawan menyampaikan alasan pihaknya tidak setuju.

Pertama, Fraksi Demokrat berpandangan bahwa diperlukan evaluasi pelaksanaan dari UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua.

Menurut Fraksi Demokrat, UU tersebut usianya belum genap satu tahun agar implementasi positif terlihat rakyat.

"Evaluasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 setidaknya dilakukan setiap tahun selama minimal tiga tahun jalan pelaksanaannya, sehingga dapat diketahui dampak dan manfaat dari UU tersebut," kata dia.

"Termasuk juga mengetahui apakah memang pemekaran wilayah ini sangat diperlukan untuk peningkatan kesejahteraan dan kemajuan kehidupan rakyat Papua," ucap Debby.

Kemudian, Fraksi Partai Demokrat meminta pemekaran wilayah Papua lebih mendengarkan suara aspirasi masyarakat Papua secara lebih mendalam. Hal ini karena akan berdampak pada kondisi sosial, adat, dan budaya masyarakat setempat.

"Fraksi Partai Demokrat berpandangan dalam pembentukan provinsi baru perlu memperhatikan kondisi keuangan negara, jangan sampai negara semakin terbebani dengan defisit anggaran," ucap Debby.

Sebab, kata dia, persiapan pembentukan hingga penyelenggaraan daerah otonomi baru (DOB) membutuhkan dana hingga triliunan rupiah.

Padahal, menurut Debby, keuangan negara masih mengalami defisit yang bertambah setiap tahunnya.

"Selain itu, saat ini negara memiliki kewajiban dan kebutuhan dalam pembangunan ibu kota negara, sehingga untuk mengkaji pemekaran daerah terlebih dahulu harus menyelesaikan persoalan anggaran," tutur dia.

Sebelumnya diberitakan, RUU Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya diusulkan oleh Komisi II DPR dalam rapat yang sama di Baleg pada Senin siang.

Komisi II Sebut Tak Perlu Revisi UU Provinsi yang Dimekarkan

Sebelumnya, Komisi II DPR mengusulkan adanya Rancangan Undang-Undang tentang Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya. Hal ini menjadi kelanjutan dari topik perkembangan Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua.

Wakil Ketua Komisi II Syamsurizal menuturkan, pembentukan RUU tersebut dilakukan tanpa merevisi Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong.

"Setelah dilakukan penelaahan secara mendalam oleh Komisi II, ternyata bahwasannya pembentukan provinsi-provinsi yang sudah dilakukan pada beberapa waktu yang lalu, maka provinsi-provinsi dari induk yang dimekarkan itu undang-undangnya tidak perlu dilakukan perubahan," kata Syamsurizal dalam rapat pleno Badan Legislasi (Baleg) DPR atas hasil RUU tentang Provinsi Papua, Senin 30 Mei 2022.

Keputusan itu diambil setelah Komisi II melakukan penelaahan terhadap RUU Pembentukan Papua, RUU Pembentukan Papua Barat, dan RUU Pembentukan Papua Barat Daya.

Syamsurizal menjelaskan, Papua Barat sebagai induk provinsi yang bakal dimekarkan tidak perlu direvisi undang-undangnya dalam proses pembentukan Provinsi Papua Barat Daya.

Ia pun menerangkan contoh yang sama juga pernah dilakukan Komisi II ketika Provinsi Maluku dimekarkan menjadi Maluku Utara.

Saat itu, kata Syamsurizal, Komisi II tidak merevisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1958 tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 22 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat I Maluku.

"Kami hanya mengusulkan untuk mendapat pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi adalah hanya tinggal satu provinsi saja, yakni RUU tentang Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya," tegasnya.

Perlu diketahui, pemekaran wilayah di Papua tersebut tertuang dalam RUU yang diusulkan oleh Komisi II DPR. RUU soal 3 provinsi baru Papua yaitu Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah telah disetujui dalam rapat pleno pengambilan keputusan atas hasil harmonisasi RUU di Baleg DPR.

Setelah itu, DPR pun resmi menetapkan tiga RUU terkait pemekaran wilayah di Papua menjadi RUU inisiatif DPR dalam rapat paripurna DPR, Selasa 12 April 2022).


Mahfud Sebut Surpres DOB Papua Sudah Diserahkan ke DPR

Terkait pemekaran wilayah Papua, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, Surat Presiden mengenai Rancangan Undang-undang tentang pembentukan daerah otonomi baru (DOB) sudah diserahkan ke DPR. Dengan demikian, rencana pembentukan DOB baru di Papua terus berjalan.

"Iya sudah, sudah (surpres sudah diserahkan ke DPR)," kata Mahfud di Kompleks Istana Kepresidenan, Senin 23 Mei 2022.

Lebih jauh, Mahfud mengatakan, adanya pihak yang suka atau tidak dengan DOB di Papua, merupakan hal biasa.

"Bagi pemerintah DOB itu jalan. Bahwa ada yang suka, ada yang tidak itu biasa saja. UU apa pun bukan hanya DOB, kalau Anda mau lihat yang tidak setuju, ya ada yang tidak setuju," lanjutnya.

Dia melanjutkan, saat ini sudah ada deklarasi dari sejumlah bupati di Papua yang setuju dengan rencana DOB ini.

Para bupati juga menyiapkan diri untuk menjadi calon gubernur di daerah otonomi baru.

Di sisi lain, Mahfud mengungkapkan masih hanyak demo yang tidak sepakat dengan DOB.

"Tinggal mau nanti kita lihat prosedur hukum dan politiknya itu, prosedur konstitusionalnya itu benar apa tidak sekarang kalau soal pendapat itu pasti bisa berbeda. Nanti kan itu ada yg memutuskan," jelasnya.

Sebelumnya, DPR resmi menetapkan tiga RUU terkait pemekaran wilayah di Papua (DOB) menjadi RUU inisiatif DPR dalam rapat paripurna DPR pada 12 April 2022.

Tiga RUU tersebut adalah RUU tentang Pembentukan Provinsi Papua Selatan, RUU tentang Pembentukan Provinsi Papua Tengah, dan RUU tentang Pembentukan Provinsi Papua Pegunungan Tengah.

Badan Legislasi (Baleg) DPR menyetujui tiga RUU untuk ditetapkan sebagai usul insiatif DPR, yakni RUU Provinsi Papua Selatan, RUU Provinsi Papua Tengah, dan RUU Provinsi Papua Pegunungan Tengah.

Baleg mengusulkan supaya penamaan provinsi-provinsi baru itu disesuaikan dengan wilayah adat Papua, yakni Ha Anim untuk Provinsi Papua Selatan, Meepago untuk Provinsi Papua Tengah, dan Lapago untuk Provinsi Papua Pegunungan Tengah.

MRP Nilai Istana Lakukan Politik Pecah Belah

Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib menilai bahwa Istana melakukan "politik pecah belah" untuk meloloskan agenda pembentukan daerah otonom baru (DOB)/pemekaran wilayah di Papua.

"Memang perilaku Istana, perbuatan mereka, membuat pecah belah rakyat Papua, terutama di mana mereka mengundang beberapa anggota tidak sesuai mekanisme, dan mereka hadir mengatasnamakan MRP," kata Timotius kepada Kompas.com, Selasa 24 Mei 2022 pagi.

Undangan yang dimaksud terjadi pada Jumat 20 Mei 2022. Jokowi disebut mengundang diam-diam sejumlah anggota MRP yang memiliki sikap berbeda dengan sikap resmi kelembagaan yang menolak Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua dan pemekaran wilayah Papua.

Tanpa izin resmi lembaga, para anggota MRP itu hadir ke Istana Bogor lalu menyetujui UU Otsus dan pemekaran wilayah, dua isu yang selama ini kontra dengan sikap MRP.

"Ini adalah satu perbuatan pemalsuan yang dilakukan negara. Kita klarifikasi dengan internal teman-teman yang ke Istana, mereka begitu balik, mereka katakan itu atas undangan Presiden," kata Timotius.

"Pelaku pecah belah ini pemerintah pusat dalam hal ini kementerian terkait dan Bapak Presiden. Jadi, seharusnya pemerintah pusat introspeksi diri, kenapa kita ini (orang asli Papua) terus di bawah kekerasan," ucap dia.

Masuknya agenda pemekaran wilayah di Papua tak terlepas dari konteks politik.

Sumber: kompas.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved