Breaking News

Sidang Kasus Astri Lael

Mikael Feka: Dalam Praperadilan Harus Menilai Aspek Formilnya Bukan Materil

Ia menambahkan, saat ini KUHAP telah mengatur dimana pada pasal 184 ayat 1 itu telah diatur jelas berkaitan dengan saksi.

Editor: Rosalina Woso
POS-KUPANG.COM/IRFAN HOI
Suasana persidangan Praperadilan dengan termohon Polda NTT dan Pemohon Ira Ua, ketika menghadirkan saksi ahli pidana dari Undana Kupang. Selasa 17 Mei 2022 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Irfan Hoi

POS-KUPANG.COM, KUPANG - Termohon dari Polda NTT menghadirkan saksi ahli hukum pidana dari Universitas Katolik Widya Mandiri Mikael Feka. Saksi ahli dihadirkan dalam kasus praperadilan (Prapid) dengan pemohon Ira Ua dan termohon Polda NTT.

Dia menegaskan, dirinya selaku ahli, hanya bisa menilai pada apsek formil bukan materil. Untuk itu, keterangannya sebagai ahli tidak memberikan tanggapan mengenai sisi materil.

"Intinya dalam keterangan saya bahwa dalam kasus pra peradilan yang objeknya penetapan tersangka harus menilai pada aspek formilnya saja, tidak boleh masuk pada aspek materil," ujarnya, usai persidangan, Rabu 18 Mei 2022 di Pengadilan Negeri Kupang.

Baca juga: Disdikbud NTT Harap Pembangunan Sekolah di Kota Kupang Bisa Dipercepat

Mikael menyebut, ia diajukan sebagai ahli dari pihak termohon atas penetapan tersangka yang dilakukan penyidik Polda NTT kepada Ira Ua. Menurut dia, sebagai ahli tidak dapat memberikan keterangan yang masuk pada aspek materil, karena yang berhak menilai hal itu ialah majelis hakim.

"Karena bila masuk dalam aspek materil, maka ini mengabaikan hak dari korban ataupun keluarga korban. Oleh karena itu, memang tentang objek pra peradilan khusus yang penetapan tersangka hanya boleh menilai pada aspek formil yaitu termohon menetapkan Ira sebagai tersangka sudah ada tidaknya 2 alat bukti," jelasnya.

Ia menerangkan dalam fakta persidang Prapid, yang dipimpin oleh hakim tunggal Derman Nababan itu, penyidik melalui kuasa termohonnya menyampaikan telah memiliki 3 alat bukti.

Baca juga: Disdikbud NTT Harap Pembangunan Sekolah di Kota Kupang Bisa Dipercepat

"Pada persidang tadi juga disampaikan bahwa termohon telah memiliki 3 alat bukti yaitu keterangan saksi, keterangan ahli dan juga surat serta cetakkan itu menjadi dokumen," lanjutnya.

Ia juga menerangkan untuk saat ini alat bukti telah diperluaskan sesuai pasal 5 Undang-Undang ITE.

"Jadi ada empat alat bukti, dimana telah ada perluasan alat bukti sebagaimana diatur dalam pasal 5 Undang-undang nomor 8 tahun 2011 tentang ITE. Bila berkaitan dengan hasil screen soot itu, telah termasud dalam cetakkannya, dan itu telah masuk dalam alat bukti surat," terangnya.

Berkaitan screnshoot maupun perkara elektronik hal itu telah masuk dalam bukti dokumen. Sedangkan terkait dengan dokumen dan pengiriman itu semua masuk dalam alat bukti, informasi elektronik dan dokumen elektronik. Jadi KUHAP itu tidak lagi 5 alat bukti akan tetapi 6 alat bukti sudah ada perluasan itu.

Baca juga: UPTD Pendapatan dan Satlantas Polresta Kupang Kota Periksa Pajak Kendaraan Bermotor di Kota Kupang

Ia menambahkan, saat ini KUHAP telah mengatur dimana pada pasal 184 ayat 1 itu telah diatur jelas berkaitan dengan saksi.

6 alat bukti itu sebagaimana diatur dalam KUHAP pasal 184 ayat 1, terkait dengan keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa dan dokumen elektronik serta informasi elektronik, penambahannya disitu berdasarkan Undang-undang ITE.

Ia menilai alat bukti, yang tertuang dalam Undang-undang ITE pada pasal 55 ayat dua, dokumen-dokumen elektronik telah diperluaskan yang mengacu pada KUHAP.

Baca juga: Polres Manggarai Amankan DPO Kasus Persetubuhan Anak di Bawah Umur di Manggarai

Alat bukti itu tidak hanya berlaku pada Undang-undang ITE karena pasal 55 ayat 2 disampaikan bahwa alat bukti dokumen elektronik, informasi elektronik merupakan perluasan alat bukti sebagaimana diatur dalam KUHAP.

Ia juga menerangkan, berkaitan dengan keterangan saksi hal itu juga telah diperluaskan dimana seorang saksi tidak hanya sebatas yang melihat, mendengar dan yang mengalami langsung namun sesuai keputusan MK, bahwasannya seorang saksi dapat memberikan keterangan bila mengetahui akan suatu persoalan atau kasus.

"Terkait dengan saksi, selama ini kan dipakai saksi yang melihat, yang mendengarkan dan yang mengalami, tetapi telah ada perluasan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK), bahwa saksi itu tidak sebatas pada melihat, mendengar dan mengetahui tapi dia tahu tentang kasus itu. Sekalipun dia dengar dari orang boleh yang terpenting ada kesesuaian," urainya.

Baca juga: Belum Kendor, Ukraina Serang Militer Rusia dengan Howitzer AS, 1000 Tentara di Mariupol Menyerah

Pada akhir penyampaiannya dalam persidangan, Ahli hukum acara pidana dari Universitas Katolik Widya Mandiri itu menerangkan, sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tidak mengatur keseimbangan antara hak korban atas hak pelaku.

"Closing statmen saya itu, dalam KUHAP itu tidak terjadi keseimbangan yang mengatur antara hak-hak korban dan hak-hak pelaku. Hak-hak pelaku itu diatur banyak mulai diatur dalam mulai dari pasal 50 hingga 72, sekian banyak hak untuk tersangka sedangkan hak korban beberapa saja," teranya.

Ia juga menilai, dalam pra peradilan itu, yang menjadi objek adalah penetapan tersangka, maka harus diperhatikan juga akan hak asasi manusia. Oleh karena itu, ketika terjadi pra peradilan yang menjadi objek adalah penetapan sebagai tersangka jangan melihat antara pemohon dan termohon. Tetapi ingat dibelakang Polda ada hak asasi manusia korban yang ingin dipertahankan.

"Penetapan seseorang sebagai tersangka minimal telah mengantongi 2 alat bukti, jika hakim menilai 2 alat bukti, maka sudah sepatutnya permohonan ditolak," tambahnya.

Diketahui, sidang putusan praperadilan ini akan diagendakan besok (hari ini,red) Kamis 19 Mei 2022 di Pengadilan Negeri Kupang. (*)

Berita NTT Hari Ini

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved