Perang Rusia Ukraina
Perang Rusia vs Ukraina: Dampak Perang Rusia, Harga Pangan Naik,Kelaparan Ancam Timur Tengah Afrika
Invasi Rusia ke Ukraina telah membuat harga pangan melonjak dan konflik itu telah membuat kelaparan terus meluas di seluruh dunia, khususnya Afrika
POS-KUPANG.COM - Invasi Rusia ke Ukraina telah membuat harga pangan melonjak dan konflik itu telah membuat kelaparan terus meluas di seluruh dunia, khususnya Afrika dan sebagian Timur Tengah.
Konflik di Eropa tersebut sudah memasuki bulan kedua dan memicu lonjakan harga pangan terbesar sejak resesi tahun
2008.
Program Pangan Dunia (WFP) PBB memperingatkan kelaparan dunia tidak akan mampu menghadapi konflik lain dan itu
tidak berlebihan.
Melonjaknya harga makanan, pupuk dan bahan bakar menimbulkan ancaman yang jelas bagi masyarakat yang rentan dan titik rawan kelaparan di Timur Tengah dan Afrika Utara.
Seluruh populasi merasakan efek buruk dari perang yang terjadi ribuan mil jauhnya dari wilayah tersebut.
“Konsekuensi dari konflik di Ukraina menyebar ke luar, memicu gelombang kelaparan yang menyebar ke seluruh dunia,”
kata Reem Nad sepertiga dari kepada Arab News, Senin (11/4/2022).
Baca juga: Perang Rusia vs Ukraina: Korut Malah Dukung Invasi Rusia ke Ukraina, Joe Biden Orangtua Pikun
Mengingat Rusia sebagai pengekspor gandum terbesar di dunia, dan Ukraina yang kelima di dunia, gangguan terhadap
distribusi gandum berdampak signifikan pada harga bahan pokok seperti roti dalam skala global.
Gabungan, Rusia dan Ukraina menyumbang lebih dari setengah ekspor minyak biji bunga matahari dunia serta 19 persen dari pasokan jelai dunia.
Bahkan, 14 persen gandum dan 4 persen jagung dari kedua negara itu membuat hampir sepertiga dari ekspor sereal global.
Nada mengatakan Yaman, Mesir, dan Lebanon sudah terhuyung-huyung akibat dampak pandemi Covid-19, konflik, dan
ketidakseimbangan struktural, sehingga sangat rentan kejatuhan ekonomi akibat perang di Ukraina.
Di zona perang itu sendiri, runtuhnya rantai pasokan makanan Ukraina telah menyebabkan kekurangan pangan di kota-kota besar, termasuk ibu kota Kiev.
Sudah lama dikenal sebagai "keranjang roti Eropa," negara itu kemungkinan akan melewatkan musim tanam dan panen yang kritis tahun ini, yang memperparah krisis.
Pada saat yang sama, sanksi Barat yang dikenakan pada Rusia, pengekspor utama pupuk termasuk kalium, amonia, urea dan nutrisi tanah lainnya, berarti petani mengurangi produksi atau mengantisipasi penurunan hasil.
Baca juga: Perang Rusia vs Ukraina: Tentara Wanita Ukraina Jadi Tawanan di Rusia Disiksa Dipaksa Buat Video
Akibatnya, harga gandum melonjak 21 persen, barley 33 persen, dan beberapa pupuk naik 40 persen bulan lalu saja.
“Rusia dan Ukraina adalah pemasok gandum terbesar ke Timur Tengah,” kata Kerry Anderson, konsultan risiko politik dan bisnis, kepada Arab News.
“Mesir sangat bergantung pada impor dari kedua negara, dan lonjakan harga roti terjadi karena pemerintah berencana
mengurangi subsidi roti," jelasnya.
Lebih dari 70 juta orang Mesir bergantung pada roti bersubsidi, menurut WFP.
Pada tahun 2021, sekitar 80 persen impor gandum negara itu berasal dari Rusia dan Ukraina.

“Tunisia, Libya, Lebanon, Turki dan Yaman juga rentan terhadap gangguan pasokan dari Rusia dan Ukraina dan kenaikan harga,” kata Anderson.
Yaman hampir seluruhnya bergantung pada impor pangan, dan Ukraina menyumbang 31 persen dari pasokan gandumnya selama tiga bulan terakhir.
Saat ini, 31.000 orang di Yaman mengalami kondisi seperti kelaparan, jumlah yang diperkirakan akan melonjak menjadi
161.000 pada Juni 2022, menurut angka terbaru dari skala Klasifikasi Fase Makanan Terpadu.
Pada akhir tahun, 7,3 juta orang di negara yang dilanda perang itu bisa berada pada tingkat darurat kelaparan.
Baca juga: MotoGP: Klasemen MotoGP, Bastianini Rebut Puncak, Rider Ducati Lain Terlempar dari 5 Besar
“Krisis ekonomi di Yaman, produk sampingan dari konflik dan depresiasi mata uang telah mendorong harga pangan
pada 2021 ke level tertinggi sejak 2015,” kata Nada.
“Krisis Ukraina merupakan pukulan lain bagi Yaman, mendorong harga makanan dan bahan bakar lebih tinggi,” tambahnya.
Hasilnya terjadi peningkatan jumlah masyarakat yang membutuhkan bantuan pangan dari 16,2 juta menjadi 17,4 juta orang.
Badan-badan bantuan memperingatkan jumlah ini dapat meningkat lebih jauh jika kesenjangan pendanaan tidak ditutup, karena biaya pengiriman bantuan juga meningkat.
Saat ini, WFP hanya memiliki 31 persen dari dana yang dibutuhkan untuk melanjutkan operasi di Yaman selama enam bulan ke depan.
"Krisis Ukraina memperburuk situasi pendanaan yang buruk," kata Nada.
Situasi serupa terjadi di Lebanon, yang mengimpor sekitar 80 persen gandumnya dari Ukraina.
Bahkan sebelum pecahnya perang, harga pangan di Lebanon telah meningkat hampir 1.000 persen sejak Oktober 2019, akibat krisis ekonomi dan keuangan negara itu.
Ditambah dengan ledakan pelabuhan Beirut pada Agustus 2020 dan pandemi Covid-19.
“Perang di Ukraina semakin memperburuk penderitaan jutaan orang karena krisis ekonomi yang sedang berlangsung di
mana lebih dari 80 persen populasi telah jatuh ke dalam kemiskinan," ujar Nada.
"Saat ini, sedang berada di tengah bencana kemanusiaan yang diciptakan oleh krisis keuangan akibat perang Ukraina,” kata Nada.(*)
