Paskah 2022

Logu Senhor di Sexta Vera Asal Portugis 422 Tahun Lalu Kembali Dirayakan di Kampung Sikka

Logu Senhor artinya berjalan menunduk di bawah Salib Yesus yang diletakkan di atas sebuah tandu diusung empat petugas pengusung.

Editor: Agustinus Sape
POS-KUPANG.COM/EGY MOA
Perayaan Logu Senhor di Kampung Sikka, Keuskupan Maumere, Pulau Flores sebelum pandemi Covid-19 melanda dunia. 

Logu Senhor di Sexta Vera Asal Portugis 422 Tahun Lalu Kembali Dirayakan di Kampung Sikka

Laporan Wartawan Pos-Kupang.com, Egy Moa

POS-KUPANG.COM, MAUMERE - Dua tahun berturut-turut, 2020 dan 2021, Logu Senhor, tradisi untuk memperingati kisah sengsara Yesus Kristus pada hari Jumat Agung ditiadakan perayaannya oleh umat Katolik di Kampung Sikka, Kecamatan Lela, di sebelah selatan Kota Maumere, Kabupaten Sikka, Pulau Flores, Provinsi NTT.

Logu Senhor artinya berjalan menunduk di bawah Salib Yesus yang diletakkan di atas sebuah tandu diusung empat petugas pengusung.

Pada saat melakukan tradisi ini, setiap umat membawa lilin bernyala menyampaikan doa dan intensi pribadi dalam hati, berharap permohonannya dikabulkan Yesus Kristus yang menderita dan wafat di salib.

Menurut sejarahnya, Salib Yesus ini dibawa pada tahun 1600 dari Portugis oleh Raja Sikka, Don Alexius Ximenes da Silva, yang lebih akrab dipanggil Don Alesu.

Salib berukuran mini sepanjang 75 centimeter selama ini disimpan di Kapela Senhor yang letaknya sebelah kiri Gereja Sikka.

Tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam Kapela Senhor, kecuali turunan Darabogar yang disebut-sebut sebagai pengawal raja.

Baca juga: Jumat Agung 2022 Tanggal 15 April, Apa yang Mesti Anda Lakukan?

Jauh sebelum dibangun Kapela Senhor pada 1997, Salib Yesus tersebut disimpan di sakristi.

Tradisi Logu Senhor disatukan dengan drama penyaliban Yesus dari armida ke armada dimulai dari Gereja Sikka yang sekarang sudah berumur 123 tahun.

Bagi umat Katolik di Kampung Sikka dan umat Katolik di Kabupaten Sikka umumnya, Logu Senhor adalah penghayatan iman akan kematian Tuhan Yesus.

Berjalan menunduk di bawah Salib Yesus, kita menaruhkan harapan, keluh kesah, permasalahan dan segala derita akan dilebur dalam Salib Kristus.

Perjalanan sejarah Logu Senhor bermula dari abad ke-15 sampai abad ke-16 ketika wilayah Sikka dipimpin Moang Baga Ngang.

Ia memiliki tiga orang putra, Moang Lesu, Moang Korung dan Moang Keu.

Dari ketiga anak ini, Moang Lesu lebih menonjol dalam wawasan dan kehidupan masyarakat Sikka mulai dari kelahiran, kehidupan seperti dalam syair Bahasa Sikka.

"Niang ei Beta Mate Tanah ei Herong Potat Mate Due Rate Rua Potat Due Leda Telu. Blutuk Niu Nurak di Mate Blupur Odo Korak di Potat Teri di Mate, Era di Potat"

Dua kalimat ungkapan ini menggambarkan bahwa dunia tidak kekal abadi. Setiap ada kehidupan pasti ada kematian. Kematian tidak dibatasi umur. Bayi bisa mati, tua renta pun mati. Kapan saja kematian itu pasti ada.

Moang Lesu memikirkan dan mencari kemungkinan adakah tempat lain yang tidak ada penderitaan dan kematian di dunia ini.

Dia memutuskan mengembara mencari tanah tersebut, dalam Bahasa Sikka dikenal dengan "Tanah Moret".

Baca juga: Sebelum Paskah Tiba, Ada Tri Hari Suci - Apa Itu? Simak Penjelasannya

Moang Lesu berjalan menuju wilayah utara di Pelabuhan Waidoko, Maumere. Pelabuhan ini merupakan persinggahan kapal-kapal dagang dari Bugis, Buton, Makassar, Bonerate dan Portugis yang datang dari Tanah Malaka.

Di Pelabuhan Waidoko, Moang Lesu bertemu Dzogo Worilla, anak buah kapal dagang milik Portugis.

Kepada Dzogo Worila, Moang Lesu menanyakan apakah di tempat tinggalnya tidak ada kematian.

Worila mengatakan bahwa di dunia ini manusia yang lahir dan hidup, pasti berakhir dengan kematian.

Namun untuk mendapat jawaban itu, Moang Lesu diajak Dzogo Worila bersama-sama berlayar menuju Malaka.

Setibanya di Malaka, Moang Lesu bertemu Gubernur Malaka. Ia menyampaikan tujuan kedatangan untuk mencari "Tanah Moret".

Gubernur Malaka mengatakan ada kehidupan yang bahagia dan kekal setelah kematian di dunia ini.

Tetapi untuk mendapatkan itu, Moang Lesu harus membangun gereja dan mengikuti ajaran-ajaran gereja.

Persyaratan yang disampaikan Gubernur Malaka disetujui Moang Lesu. Ia bersedia mengikuti pelajaran Agama Katolik, pelajaran ilmu politik dan pemerintahan dijalaninya selama tiga tahun.

Moang Lesu akhirnya dibaptis dengan nama Don Alexius Ximenes da Silva dan dilantik oleh Gubernur Tanah Malaka sebagai Raja Sikka.

Tiga tahun berada di Malaka, Moang Lesu memutuskan kembali ke Kampung Sikka.

Sebagai hadiah kepada Gubernur Malaka, ia menyerahkan emas dan wewangian yang dalam Bahasa Sikka disebut "ambar menik" atau muntahan ikan paus.

Sebaliknya, Gubernur Malaka menghadiahkan Salib Senhor, Patung Meninu (Patung Kanak-kanak Yesus sebagai Raja), Tugur Griang (panji yang bergambar orang kudus), Regalia kerajaan dan sejumlah batang gading berukuran besar dan sedang.

Pada tahun 1600, Moang Lesu kembali ke Kampung Sikka bersama seorang guru agama berkebangsaan Portugis bernama Agustino Morenho.

Di Kampung Sikka, Agustinho Morenho menyelenggarakan upacara pengukuhan kembali Moang Lesu menjadi Raja Sikka.

Semenjak itu, Agustinho Morenho mulai mengajar iman Katolik kepada keluarga Raja Sikka.

Dia juga memimpin upacara Liturgi Gereja termasuk Liturgi Logu Senhor pada hari raya Jumat Agung yang dalam Bahasa Sikka, Sexta Vera.

Sejak itulah upacara Logu Senhor dilaksanakan setiap tahun pada perayaan Jumat Agung.

Prosesi Logu Senhor sempat ditiadakan oleh para imam Jesuit yang menjadi Pastor Paroki Santo Ignatius Loyola Sikka.

Namun, atas kesepakatan umat dan persetujuan pastor paroki, maka Logu Senhor kembali dilaksanakan.

Pada perayaan Jumat Agung, 15 April 2022 Logu Senhor digelar lagi di Kampung Sikka, setelah dua tahun absen karena pandemi Covid-19.

Kehadiran umat Katolik dibatasi tidak seperti perayaan tahun 2019 yang dihadiri sekitar 11.000 umat Katolik dari berbagai penjuru Indonesia.

 

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved