Berita Nasional

Indonesia Sahkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual di Tengah Meningkatnya Kasus

DPR RI menyetujui Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) pada hari Selasa 12 April 2022.

Editor: Agustinus Sape
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Para aktivis perempuan bergembira usai pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dalam rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa 12 April 2022. 

Indonesia Sahkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual di Tengah Meningkatnya Kasus

POS-KUPANG.COM, JAKARTA - DPR RI menyetujui Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) pada hari Selasa 12 April 2022.

UU itu menetapkan hukuman untuk kekerasan seksual setelah didorong ke dalam tindakan oleh kasus baru-baru ini di mana seorang kepala pesantren memerkosa dan menghamili beberapa siswa.

Undang-undang tersebut telah merana selama bertahun-tahun di tengah argumen bahwa undang-undang itu bertentangan dengan nilai-nilai agama dan budaya di negara mayoritas Muslim terbesar di dunia itu.

Undang-undang mengakui laki-laki dan anak-anak bisa menjadi korban kekerasan seksual.

KUHP Indonesia, peninggalan zaman kolonial Belanda. hanya mengakui pemerkosaan dan kejahatan cabul yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan dan tidak memiliki ketentuan untuk restitusi atau pemulihan lain bagi korban dan penyintas.

Sembilan bentuk kekerasan seksual diakui dalam undang-undang: pelecehan seksual fisik dan nonfisik, penyiksaan seksual, kontrasepsi paksa, sterilisasi paksa, pernikahan paksa, perbudakan seksual, eksploitasi seksual dan pelecehan seksual dunia maya.

Selain mengakui kekerasan seksual sebagai tindak pidana yang dapat dipidana, undang-undang ini juga mengatur tentang perlindungan dan pemulihan bagi korban.

Puan Maharani, ketua dpr ri_01
Ketua DPR Puan Maharani, menerima Pendapat Akhir Presiden atas RUU TPKS yang disampaikan Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati pada Rapat Paripurna DPR yang menyetujui RUU TPKS menjadi UU TPKS, Selasa 12 April 2022.

Dari sembilan partai politik di DPR RI, hanya Partai Keadilan Sejahtera yang berbasis Muslim konservatif, yang dikenal sebagai PKS, menolak RUU itu karena ingin melarang seks di luar nikah dan hubungan homoseksual.

“Penolakan kami adalah bagian dari perjuangan kami untuk memperjuangkan larangan dan hukuman bagi pelaku zina dan penyimpangan seksual yang pada akhirnya tidak termasuk dalam RUU tersebut,” kata Al Muzzamil Yusuf, anggota dewan dari PKS.

Undang-undang tersebut disahkan seminggu setelah pengadilan tinggi Indonesia menjatuhkan hukuman mati kepada seorang kepala sekolah pesantren karena memerkosa setidaknya 13 siswa selama lima tahun dan menghamili beberapa dari mereka.

Beberapa gadis berusia 11 dan 14 tahun dan diperkosa selama beberapa tahun, memicu kemarahan publik mengapa dia tidak ditangkap lebih awal.

Presiden Joko Widodo pada bulan Januari meminta DPR untuk mempercepat pembahasan RUU kekerasan seksual setelah mendekam di legislatif sejak 2016 ketika para kritikus mengecam anggota parlemen karena "tidak merasakan krisis."

“Perlindungan korban kekerasan seksual harus menjadi perhatian kita bersama yang harus segera ditangani,” kata Widodo.

“Tentu saja pertama, harus segera dibuatkan peraturan pelaksanaannya terutama yang menyangkut hukum acaranya. Kedua, harus disosialisasi kepada semua pihak. Karena literasi hukum, melek hukum akan membuat para perempuan dan anak memiliki perisai untuk melindungi dirinya sendiri,” ujar Sulistyowati Irianto, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menanggapi hasil Rapat Paripurna DPR yang menyetujui RUU TPKS menjadi UU TPKS.

anggota dpr ri-96969
Sejumlah anggota DPR berdiri dan bertepuk tangan saat Ketua DPR mengesahkan UU TPKS, pada Rapat Paripurna DPR, Selasa 12 April 2022.

UU TPKS yang disahkan DPR mengatur sembilan TPKS yakni pelecehan seksual nonfisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; pemaksaan perkawinan; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; perbudakan seksual; dan kekerasan seksual berbasis elektronik.

Berdasarkan undang-undang baru, pelaku kekerasan seksual berbasis elektronik dapat menghadapi hukuman penjara hingga 4 tahun dan denda 200 juta rupiah ($ 13.920), dan hingga 6 tahun dan Rp 300 juta ($ 20.880) jika dilakukan dengan tujuan memeras, memaksa, dan menipu korban.

Pelaku eksploitasi seksual menghadapi hukuman 15 tahun penjara dan denda 1 miliar rupiah ($69.600).

Selain itu, RUU TPKS mengatur sepuluh tindak pidana lain sebagai TPKS yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, seperti pemerkosaan dan perbuatan cabul, dan pemaksaan pelacuran. “UU TPKS memuat banyak hal berarti, yang meliputi soal penanganan dan pemulihan korban, termasuk juga memberi mandat pemerintah daerah untuk memberi dukungan," tuturnya.

Namun UU ini juga menyisakan persoalan karena konsep paling inti dari kekerasan seksual yaitu pemerkosaan tidak bisa masuk, karena alasan doktrin hukum,” ujar Sulistyowati.

Hadiah bagi kemajuan bangsa

Ketua DPR Puan Maharani, menegaskan UU merupakan hadiah bagi seluruh perempuan di Indonesia. Apalagi menjelang peringatan Hari Kartini.

“Ini juga hadiah bagi seluruh rakyat Indonesia dan kemajuan bangsa kita,” ujar Puan Maharani, usai mendengarkan Pendapat Akhir Presiden atas RUU TPKS yang disampaikan Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati.

Puan menegaskan UU TPKS adalah hasil kerja bersama sekaligus komitmen bersama. Puan juga menyampaikan terima kasih kepada Menteri PPPA dan semua menteri, serta pimpinan dan anggota Baleg DPR yang menyelesaikan pembahasan RUU TPKS dengan lancar.

Dia berharap implementasi UU TPKS dapat menyelesaikan kasus-kasus kekerasan seksual, serta memberikan perlindungan perempuan dan anak di Indonesia.

“Karenanya perempuan Indonesia tetap harus semangat,” ujar Puan yang sempat menangis ketika menegaskan di Indonesia tidak ada tempat bagi kekerasan seksual.

Willy Aditya Ketua Panja RUU TPKS
Ketua Panja RUU TPKS Willy Aditya menerima bunga dan selendang dari perwakilan aktivis perempuan usai pengesahan RUU TPKS menjadi UU TPKS.

Suasana paripurna pengesahan UU TPKS berlangsung dalam keharuan. Saat Puan mengetuk palu sidang sebagai tanda persetujuan atas UU TPKS, sejumlah anggota DPR berdiri di tempat duduk, bertepuk tangan.

Pada saat yang sama dari balkon, terdengar tepuk tangan dan sorak para aktivis masyarakat sipil, yang meneriakkan “Hidup Mbak Puan, Hidup Perempuan”.

Para perempuan aktivis menangis dan langsung berpelukan saat mendengar UU TPKS disahkan.

Menteri PPPA menegaskan, hadirnya UU TPKS merupakan wujud nyata kehadiran negara dalam upaya mencegah dan menangani segala bentuk kekerasan seksual. UU tersebut akan melindungi dan memulihkan korban, melaksanakan penegakan hukum, merehabilitasi pelaku, mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual, serta menjamin ketidakberulangan terjadinya kekerasan seksual.

“Inilah semangat dan roh perjuangan kita bersama, antara DPR, Pemerintah, dan masyarakat sipil, yang perlu terus kita ingat, agar undang-undang ini nantinya memberi manfaat ketika diimplementasikan, khususnya bagi korban kekerasan seksual,” ujar Bintang yang hadir bersama dengan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia S Eddy OS Hiariej, Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardan dan perwakilan kementerian/lembaga terkait.

RUU TPKS merupakan terobosan karena pengaturan hukum acara yang komprehensif, serta pengakuan dan jaminan hak korban. Korban TPKS berhak mendapat restitusi atau ganti kerugian yang dibayarkan pelaku.

Ketua Panitia Kerja RUU TPKS Willy Aditya menyampaikan terimakasih kepada semua elemen masyarakat yang memberikan masukan, saran, bahkan kritik dalam pembahasan RUU tersebut.

“Kritik, saran, dan masukan itu ditampung dan diakomodasi demi kesempurnaan RUU dan kemaslahatan dalam penananganan TPKS, serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah maupun secara hukum,” ujar Willy.

Apresiasi masyarakat sipil

Pengesahan UU TPKS disambut gembira oleh kelompok masyarakat sipil dan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang mengawal RUU tersebut.

Bahkan, seusai rapat paripurna DPR, mereka langsung memberikan bunga pada Menteri PPPA, Wamenkumham, Ketua Panja RUU TPKS dan anggota DPR seperti Luluk Nur Hamidah, Taufik Basari, My Esti Wijayanti, dan Diah Pitaloka.

Apresiasi itu diberikan kepada Forum Pengada Layanan (FPL) Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) untuk Advokasi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, serta Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual (JPHPKKS),

Meski demikian, FPL dan JMS menyatakan UU TPKS menyisakan pekerjaan rumah, karena tindak pidana pemerkosaan tidak diatur dalam UU TPKS.

Selain mengawal tindak pidana pemerkosaan dalam proses Rancangan KUHP, pihaknya akan melakukan advokasi peraturan turunan dari UU TPKS.

“Hal ini perlu dilakukan agar RUU TPKS setelah disahkan segera bisa dilaksanakan,” ujar Mike Verawati mewakili FPL.

Selain mendorong pemerintah segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden sebagai peraturan pelaksana UU TPKS, JPHPKKS juga meminta pemerintah melibatkan masyarakat sipil khususnya para pendamping korban.

“Capaian dan kerja keras DPR bersama pemerintah perlu kita apresiasi bersama, apalagi dalam UU ini mengatur pula pemantau eksternal yang akan dilakukan oleh Komnas Perempuan, Komnas HAM, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, dan Komnas Disabilitas,” ujar Asfinawati dan Ratna Batara Munti mewakili JPHPKKS.

“Pengesahan UU TPKS ini punya arti penting untuk penguatan pengaturan tentang perlakuan dan tanggung jawab negara untuk mencegah, menangani kasus kekerasan seksual dan memulihkan korban secara komprehensif,” ujar Maidina Rahmawati dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).

aktivis perempuan berpelukan_0112
Para aktivis perempuan berpelukan usai pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dalam rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa 12 Arpil 2022.

Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research, Adinda Tenriangke Muchtar mengapresiasi pengesahan UU TPKS.

Namun, pelaksanaan UU terrsebut perlu dikawal di berbagai tingkat, sektor, dan ranah. Sosialisasi undang-undang dan peraturan turunannya perlu segera dilakukan untuk mempersiapkan implementasi aturan ini.

“Kesadaran jender dan HAM pemerintah serta penegak hukum khususnya dan masyarakat umum diperlukan untuk memastikan Undang-Undang ini bekerja dengan optimal,” tutur Adinda yang berharap pengesahan UU TPKS betul-betul menjadi momentum untuk mencegah dan menghilangkan kekerasan seksual dari Indonesia.

Pemetaan aturan pelaksana

Jaleswari Pramodhawardani menegaskan UU TPKS telah melalui jalan panjang. Namun, semua berhasil diselesaikan berkat kolaborasi bersama seluruh elemen bangsa mulai dari legislatif, pemerintah, lembaga negara lainnya, masyarakat sipil, akademisi, bahkan yudikatif.

“Pemerintah selanjutnya akan memetakan aturan pelaksanaan baik Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. Izin prakarsa penyusunan rancangan PP dan rancangan Perpres juga disiapkan untuk segera disampaikan kepada Presiden,” ujar Jaleswari.

RUU TPKS awalnya diusulkan sebagai inisiatif DPR dengan nama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sejak 2016. Kendati sempat tersendat dan menghadapi pro kontra, proses RUU yang awalnya bernama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) akhirnya berlanjut.

Perjalanan RUU TPKS melewati dua periode DPR, hingga akhirnya Presiden Joko Widodo turun tangan. Pada awal 2022 (5 Januari 2022), Presiden menugaskan Menteri Hukum dan HAM serta Menteri PPPA untuk mempercepat pembahasan dan pengesahan RUU tersebut.

Presiden juga meminta gugus tugas pemerintah segera menyiapkan daftar inventarisasi masalah (DIM) atas draf RUU TPKS. Pada tanggal 18 Januari 2022, Paripurna DPR menyetujui RUU TPKS sebagai RUU Usul Inisiatif DPR. Pemerintah kemudian menyusun DIM RUU PKS dan menyerahkan kepada DPR.

Sejak 24 Maret 2022, Panja RUU TPKS bekerja dan membahas DIM RUU tersebut secara maraton selama sepekan. Pada 6 April 2022, Baleg DPR menyetujui RUU TPKS disahkan sebagai UU.

Dari sembilan fraksi di DPR, hanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang tidak setuju dengan RUU tersebut. Tak sampai sepekan, DPR menggelar Rapat Paripurna dengan agenda Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan atas RUU TPKS.

RUU itu diprakarsai oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan pada tahun 2012.

Seruan untuk dilacak cepat menyusul pemerkosaan beramai-ramai yang mengejutkan dan pembunuhan seorang siswi berusia 13 tahun oleh 14 pria mabuk di Bengkulu pada 2016.

RUU itu segera terhenti. karena perlawanan dari PKS dan kelompok Islam.

Rancangan terbaru memenangkan dukungan mayoritas ketika ketentuan tentang pemerkosaan dan aborsi paksa dihapus untuk menghindari tumpang tindih dengan proposal untuk mengubah KUHP.

Aktivis yang terlibat dalam melindungi korban kekerasan seksual memuji undang-undang baru itu sebagai tonggak sejarah.

“Kami sangat mengapresiasi upaya tak kenal lelah dari pemerintah dan legislator dalam memberikan perlindungan bagi korban kekerasan seksual dengan mengesahkan undang-undang yang sudah lama ditunggu-tunggu ini,” kata Siti Mazuma, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Perempuan LBH Apik.

Data pemerintah menunjukkan setidaknya 797 anak menjadi korban kekerasan seksual pada Januari saja.

Jumlah korban anak yang dilaporkan mencapai 8.730 pada tahun 2021, naik 25

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved