Masalah Jantung Setelah Pulih Covid-19, Mungkinkah?

kasus COVID-19 yang saat ini telah menginfeksi lebih dari 470 juta orang di dunia kini mulai menarik perhatian para peneliti di bidang kedokteran

Editor: Ferry Ndoen
Yodiyim
Ilustrasi Jantung. 

Penulis: dr. Umbu Jabu Anggung Praing, Dokter RSUD Umbu Rara Meha Waingapu.

TINGGINYA kasus COVID-19 yang saat ini telah menginfeksi lebih dari 470 juta orang di dunia kini mulai menarik perhatian para peneliti di bidang kedokteran untuk mengetahui lebih jauh mengenai COVID-19.

Topik penelitian yang saat ini hangat diperbincangkan antara lain mulai dari beberapa gejala COVID-19 yang masih menetap hingga beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan setelah infeksi (lebih dikenal sebagai post covid syndrome) hingga terjadinya peningkatan risiko penyakit-penyakit yang timbul setelah seseorang terinfeksi virus SARS-CoV-2, salah satunya adalah peningkatan risiko penyakit kardiovaskular.

Tentunya, selain menarik perhatian para peneliti, bahasan mengenai risiko gangguan kesehatan yang mungkin mengintai setelah sembuh dari COVID-19 ini juga menarik perhatian dari para pasien COVID-19, ‘lulusan’ COVID-19, keluarga pasien, maupun masyarakat luas.

Penyakit kardiovaskular merupakan suatu kondisi dimana jantung dan pembuluh darah tidak berfungsi secara normal sebagai akibat dari berbagai gangguan sehingga menimbulkan penyakit seperti penyakit jantung koroner, penyakit jantung bawaan, penyakit jantung reumatik, stroke, dan hipertensi.

Pada penyakit jantung koroner terjadi penumpukkan plak (terbentuk dari tumpukan kolesterol/lemak dan substansi lain) pada dinding pembuluh darah jantung (arteri koroner) yang menyebabkan penyempitan pada pembuluh darah dan mengganggu aliran suplai darah bersih ke otot-otot jantung, sehingga dapat mengganggu kinerja dari otot jantung dalam memompa darah keseluruh tubuh.

Data terakhir dari RISKESDAS (Riset Kesehatan Dasar) Tahun 2018 menunjukkan bahwa 15 dari 1.000 penduduk Indonesia didiagnosis menderita penyakit jantung koroner. Meskipun angka tersebut terlihat kecil apabila dibandingkan dengan penyakit tidak menular lainnya, penyakit jantung koroner merupakan penyebab kematian tertinggi ke-2 setelah stroke di Indonesia (SRS Indonesia, 2014).

Sebuah hasil studi oleh  Xie Yan dan para ahli epidemiologi di Universitas Saint Louis, Amerika pada tahun 2021 lalu, menunjukkan bahwa orang yang telah sembuh dari COVID-19 mengalami peningkatan risiko terjadinya 20 penyakit kardiovaskular pada satu tahun pertama setelah terkena COVID-19.

Peningkatan risiko ini ditemukan juga pada orang dengan faktor risiko yang rendah atau bahkan mereka yang belum memiliki penyakit kardiovaskular sebelumnya.

Xie Yan dkk, juga menyebutkan bahwa orang yang sembuh dari COVID-19 memiliki risiko mengalami penyakit jantung koroner 72% lebih tinggi; risiko terkena serangan jantung 63% lebih tinggi; dan risiko mengalami fibrilasi atrium 71% lebih tinggi apabila dibandingkan dengan orang yang tidak pernah terkena COVID-19. Risiko ini terjadi lebih tinggi pada pasien COVID-19 dengan derajat keparahan yang lebih tinggi, misalnya pada pasien yang harus menerima perawatan di rumah sakit, atau di ruang perawatan intensif  (intensive care unit / ICU).

Meskipun demikian, orang yang hanya mengalami gejala ringan atau tidak bergejala sekalipun saat terkena COVID-19 tetap memiliki peningkatan risiko terhadap terjadinya penyakit kardiovaskular tersebut, tanpa melihat kelompok usia, jenis kelamin, ras, kebiasaan merokok, dan penyakit kardiovaskular yang sudah dialami sebelumnya.

Hingga saat ini, mekanisme yang mendasari hubungan COVID-19 dan perkembangan penyakit kardiovaskular belum sepenuhnya jelas, namun proses ini diduga disebabkan oleh masuknya virus ke dalam kardiomiosit (sel otot jantung) yang kemudian melukai jaringan jantung dan membuat jaringan parut pada kardiomiosit.

Pendapat lain oleh Wendy Post, M.D, seorang ahli kardiologi dari Universitas John Hopkins, mengungkapkan ada beberapa mekanisme yang mungkin terjadi seperti adanya kemungkinan peran dari tingginya proses peradangan dalam tubuh sebagai respons sistem kekebalan tubuh saat melawan virus SARS-CoV-2 yang dapat menyebabkan kerusakan pada beberapa jaringan yang sehat, termasuk jaringan pada jantung.

Post juga mengungkapkan kemungkinan lain, yakni adanya efek langsung dari infeksi Coronavirus terhadap permukaan pembuluh darah yang menyebabkan peradangan pembuluh darah dan pembentukan bekuan darah, sehingga bisa terjadi gangguan pada aliran pembuluh darah ke seluruh tubuh, bahkan pada pembuluh darah terkecil sekalipun.

Xie Yan dkk, menyebutkan bahwa cara terbaik untuk mencegah masalah penyakit kardiovaskular yang berkaitan dengan COVID-19 adalah tidak membiarkan diri terinfeksi virus sedari awal.

Cara lain untuk mencegah penyakit kardiovaskular adalah dengan modifikasi faktor risiko yang dapat diubah diantaranya mengontrol tekanan darah secara teratur, berhenti merokok, menjaga berat badan ideal, melakukan aktivitas fisik dan diet makanan sehat.

Hasil penelitian Xie Yan dkk, juga menunjukkan bahwa orang yang belum mendapatkan vaksinasi COVID-19 memiliki risiko yang lebih besar untuk terkena penyakit jantung setelah terkena COVID-19, maka dari itu vaksinasi dapat dinilai berperan dalam mengurangi risiko terkena penyakit kardiovaskular setelah terkena COVID-19.

Dengan tingginya angka infeksi COVID-19 di Indonesia, kini pemerintah, tenaga kesehatan, dan masyarakat harus bersiap untuk kemungkinan terburuk di masa depan. Masalah kardiovaskular pada orang yang terkena COVID-19 merupakan permasalahan yang cukup serius dan memiliki kemungkinan dampak buruk jangka panjang baik bagi sistem kesehatan, produktivitas ekonomi, dan kualitas hidup masyarakat. (*)

Pertanda serangan jantung
Pertanda serangan jantung ()
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    berita POPULER

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved