Berita Regional NTT
Pengolahan Sampah Termal di Labuan Bajo Tidak Maksimal
Anggota DPD RI dari Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Abraham Liyanto menilai, pembangunan fasilitas pengolahan sampah termal di Tempat Pembuangan
Penulis: Paul Burin | Editor: Ferry Ndoen
POS-KUPANG.COM, LABUAN BAJO - Anggota DPD RI dari Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Abraham Liyanto menilai, pembangunan fasilitas pengolahan sampah termal di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Warloka, Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) belum maksimal dan efektif. TPA belum menghasilkan pembangkit listrik tenaga termal (uap sampah) sesuai yang diharapkan.
“Jangankan menghasilkan energi listrik termal, mengolah sampah agar tidak menumpuk saja belum terjadi. Malah TPA menjadi tempat tumpukan sampah baru setelah dipindahkan dari rumah-rumah atau hotel-hotel,” kata Abraham usai meninjau TPA Warloka, Kecamatan Komodo, Mabar, Kamis, 10 Maret 2022.
Dari hasil paparan pekerja TPA yang tidak disebutkan namanya, Abraham menyebutkan TPA baru bekerja satu shift, yaitu dari pukul 08.00-16.00 Wita. Padahal mesin TPA didesain untuk bekerja 24 jam dengan tiga shift kerja. Jumlah pekerja yang tersedia hanya 20 orang untuk satu shift kerja.
“Gimana mau menghasilkan energi termal kalau kerja hanya satu shift. Sampah yang masuk tiap hari tidak bisa dibakar habis. Tidak bisa menghasilkan uap yang menjadi sumber energi listrik. Jadi, tidak maksimal dan tidak efektif,” ujar anggota Komite I DPD RI ini.
Senator yang sudah tiga periode ini mengungkapkan sampah yang diolah tidak mencapai lima ton per hari. Padahal jumlah sampah di Kota Labuan Bajo mencapai 13 ton per hari. Di sisi lain, pembakaran sampah sangat lambat dan terkesan tidak profesional karena lemahnya kemampuan pekerja mengoperasikan teknologi canggih.
“Butuh pelatihan dan pendampingan yang lebih bagi pekerja. Supaya kapasitas produksinya bisa lebih tinggi lagi,” tegas Abraham.
Menurut pengakuan pekerja, pembakaran sampah belum menghasilkan gas yang menghasilkan pembangkit listrik. Hal itu karena sampah yang dibakar sangat sedikit akibat pekerja sedikit. Jika kerja sampai tiga shift, diyakini bisa menghasilkan uap atau gas untuk menghasilkan energi listrik.
“Sangat disayangkan proyek yang menghabiskan dana Rp 7 miliar dari APBN belum berhasil mengolah sampah di Labuan Bajo. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahaan Rakyat (PUPR) harus mengevaluasi proyek ini. Percuma dibangun jika tidak sesuai harapan,” tutur Abraham.
Sebagaimana diketahui, pemerintah pusat telah membangun pengolahan sampah termal di TPA Warloka, Labuan Bajo tahun 2020 dan mulai beroperasi bulan April 2021. Pembangunan TPA itu seiring dengan penetapan Labuan Bajo sebagai kawasan pariwisata premium.
TPA menggunakan teknologi insinerasi yang dikembangkan BPPT seperti telah digunakan TPA Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat. Teknologi insinerasi atau pembakaran sampah adalah mengubah sampah menjadi abu, gas sisa hasil pembakaran, partikulat, dan panas. Gas yang dihasilkan harus dibersihkan dari polutan sebelum dilepas ke atmosfer. Panas yang dihasilkan bisa dimanfaatkan sebagai energi pembangkit listrik.
Insinerasi sangat populer di beberapa negara seperti Jepang di mana lahan merupakan sumber daya yang sangat langka. Denmark dan Swedia telah menjadi pionir dalam menggunakan panas dari insinerasi untuk menghasilkan energi. Beberapa negara lain di Eropa yang mengandalkan insinerasi sebagai pengolahan sampah adalah Luksemburg, Belanda, Jerman dan Prancis.
Sebelumnya, Direktur Pusat Teknologi Lingkungan BPPT, Rudi Nugroho mengemukakan pengolahan sampah proses termal (PLTSa) di Warloka berkapasitas 20 ton per hari. Metode termal fokus pada pemusnahan sampah secara cepat, ramah lingkungan, dan menghasilkan listrik hingga 700 kilowatt (Kw). Listrik dipakai untuk AC, penerangan, dan menggerakkan mesin yang ada di PLTSa tersebut.
“Insinerator merupakan alat pembakar sampah yang dioperasikan menggunakan teknologi pembakaran dengan suhu tertentu. Alat ini bisa membakar sampah sampai habis,” jelas Rudi. (*/pol)
