Memungut Sampah: Pertaruhan Harga Diri, Pengalaman Katekese di Lapas Perempuan Kupang (1)

Sejak Rabu Abu, yang tahun ini jatuh pada 2 Maret 2022, umat kristiani memasuki masa liturgi khusus yang disebut dengan masa puasa.

Editor: Agustinus Sape
FOTO: SEKSI PEWARTAAN
Romo Siprianus S. Senda Pr, Ketua Komisi Kitab Suci Keuskupan Agung Kupang, saat memberikan pembekalan tentang materi katekese untuk Aksi Puasa Pembangunan (APP) 2022 kepada para Ketua KUB dan anggota seksi pewartaaan se-Stasi Santo Fransiskus Xaverius Naimata, Minggu 6 Maret 2022. 

Memungut Sampah: Pertaruhan Harga Diri
Pengalaman Katekese di Lapas Perempuan Kupang, Bagian 1

Oleh: Yosep Sudarso, S.Fil
Penyuluh Agama Ahli Madya pada Kemenag Kota Kupang

Catatan awal: Sekali lagi tentang ekologi

POS-KUPANG.COM - Sejak Rabu Abu, yang tahun ini jatuh pada 2 Maret 2022, umat kristiani memasuki masa liturgi khusus yang disebut dengan masa puasa.

Masa puasa biasa disebut juga dengan masa prapaskah walaupun sebetulnya ada distingsi di antara kedua terminologi ini.

Masa puasa dimulai dari hari Rabu Abu dan berakhir pada hari Sabtu Alleluya, tetapi tidak termasuk hari Minggu selama periode tersebut.

Masa Prapaskah dimulai pada hari Minggu Prapaskah I sampai hari Rabu dalam Pekan Suci.

Tiga hari berikutnya merupakan puncak tahun liturgi gereja yakni Tri Hari Suci: Kamis Putih, Jumat Agung dan Sabtu Alleluya.

Seturut tradisi Gereja, puasa berarti makan kenyang cukup sekali dalam sehari. Tujuannya agar setiap keluarga dengan sengaja menyisihkan beras ataupun uang lauk pauk dan lain-lain untuk selanjutnya menjadi sedekah.

Dengan cara ini, puasa tidak lagi sekedar soal makan dan minum, melainkan panggilan untuk solider dengan sesama terutama yang berkekurangan dan membutuhkan pertolongan.

Selain berpuasa, umat Katolik di Indonesia juga mengisi masa retret agung ini dengan berkatekese.

Secara umum katekese dipahami sebagai pengajaran iman atau upaya mewariskan iman.

Dalam praksisnya, melalui katekese, umat tidak saja mendalami imannya yang dikaitkan dengan tema tertentu, tetapi juga saling meneguhkan dan bersama-sama merumuskan aksi nyata yang dilaksanakan pula secara bersama-sama.

Tahun ini Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) dan juga masing-masing Gereja Lokal (diosesan/keuskupan) menawarkan kepada umat sebuah tema yang relevan dengan situasi bangsa dan negara saat ini.

Di tengah pandemi Covid-19 dengan segala variannya yang belum juga berakhir, umat kristiani diajak meneropong kondisi bumi. Bumi yang sakit bisa jadi menjadi faktor kuat hadirnya pelbagai virus.

Perhatian khusus gereja pada ekologi bukan baru kali ini. Dalam dasawarsa terakhir, pewartaan gereja selalu menyentuh aspek ekologi. Panggilan memelihara dan menjaga lingkungan selalu menjadi topik katekese umat.

Pada tataran gereja universal, Sri Paus juga berulang kali menyerukan keprihatinannya atas kondisi bumi. Dalam ensiklik Laudato Si, Paus Fransiskus membeberkan kenyataan-kenyataan yang menunjukkan kondisi lingkungan kita yang tercemar oleh berbagai polusi, pembuangan jutaan ton limbah yang secara biologis tidak dapat diurai (bdk. Bahan Katekese Umat Keuskupan Agung Kupang).

Dalam keprihatinan yang sama, Gereja Katolik Indonesia memandang penting dan urgen untuk sekali lagi pada masa puasa ini menggerakkan umat melaksanakan katekese dengan tema, “Memulihkan Kehidupan (Bumi Sehat-Manusia Sejahtera).

Tema umum ini kemudian dijabarkan dalam empat subtema, yakni (1) Menjaga Kebersihan Lingkungan, (2) Membangun Ketahanan Pangan dan Gizi, (3) Mewujudkan Ekologi Berkelanjutan, dan (4) Menggerakkan Solidaritas yang Dinamis.

Keempat subtema ini didalami selama empat pertemuan katekese.

Memungut Sampah: Pertaruhan Harga Diri

Hari Selasa dan Kamis adalah waktu yang disiapkan oleh Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Perempuan Klas II Kupang untuk kegiatan Penyuluhan Agama (PA) Katolik.

Biasanya kegiatan ini difasilitasi oleh para Penyuluh Agama Katolik, baik yang fungsional (PNS) maupun yang non-PNS.

Sementara pada hari Minggu, pihak Lapas juga menyediakan waktu bagi imam untuk merayakan Ekaristi bersama warga binaan.

Dengan peluang yang diberikan Lapas Perempuan, pada hari Kamis, 10 Maret 2022, penulis dan seorang teman Penyuluh Agama Katolik non-PNS melaksanakan tugas PA.

Sewaktu persiapan PA, kami berdiskusi tentang kondisi kebersihan di lingkungan Lapas Perempuan Kupang. Kami menyadari bahwa setiap hari selalu ada warga binaan yang bertugas membersihkan lingkungan tersebut.

Artinya kebersihan lingkungan bukan lagi menjadi persoalan utama. Maka fokus pertanyaan pendalaman situasi bukan lagi tentang bagaimana penanganan kebersihan, melainkan perihal disposisi batin dalam memungut sampah.

Pertanyaan ini betul memantik reaksi peserta katekese. Warga binaan Katolik yang berjumlah 21 orang lama terdiam.

Namun kemudian seorang ibu memberanikan diri membagi pengalaman hidupnya.

Dia sudah beberapa kali bertugas memungut sampah dari yang paling jorok sampai dengan yang “biasa-biasa” saja. Semua itu dilakukan dengan tangan.

“Sebelum masuk penjara, saya juga sudah terbiasa pilih sampah tetapi tidak sama dengan yang saya lakukan di sini. Saya punya pengalaman yang tidak mungkin saya lupa. Saat saya laksanakan tugas angkat sampah, saya kira yang saya rau (ambil) adalah tisu yang sudah hancur. Ternyata itu dahak. Waktu itu baru mulai corona. Saya kaget sekali. Rasa takut juga. Namun dalam hati saya bilang, siapa suruh masuk penjara.”

Seorang ibu lagi mengungkapkan, di kantor tempat dia bekerja sebelumnya, demikian juga di rumah, pekerjaan itu lebih sering dilakukan orang lain yang diberi upah.

Namun di penjara, dia tidak punya pilihan lain. Dia menyadari bahwa status semua warga binaan sama. Dalam kondisi seperti ini, ada pertaruhan harga diri.

“Puji Tuhan karena memberi saya kekuatan sehingga bisa melalui hari-hari hidup di sini. Saya rasakan bahwa hanya dengan sikap rendah hati, saya sanggup pungut sampah sisa makanan yang sudah dipenuhi ulat. Tanpa kerendahan hati, mustahil saya dan teman-teman bisa kerja seperti ini,” katanya.

Bagi warga binaan di Lapas Perempuan Klas II Kupang, dan barangkali di tempat lain juga, persoalan sampah bukan hanya terkait kebersihan lingkungan, melainkan pula ada pertaruhan harga diri.

Cara pandang yang menempatkan harga diri pada kedudukan, kekayaan dan lain-lain yang “berasal dari dunia” pastinya memberi beban tambahan ketika harus memungut sampah dengan tangan telanjang.

Namun bagi orang beriman, tindakan demikian justru menjadi kesempatan memuliakan Tuhan karena telah turut serta dalam karya keselamatan-Nya.*

(bersambung)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved