Wawancara Eksklusif
Mantan Dubes RI untuk Ukraina Prof Yuddy Chrisnandi: Ukraina Bukan Ancaman (Bagian-1)
Pasar-pasar tutup, tempat hiburan tutup tapi tidak ada suasana yang mencekam, misalnya orang diperiksa hingga adanya pembatasan.
POS-KUPANG.COM - Mantan Dubes RI untuk Ukraina Prof Yuddy Chrisnandi mengenal budaya masyarakat Ukraina yang tidak lepas dari sifat ramah. Meski bertugas di wilayah siaga perang, Yuddy merasa aktivitas masyarakat berjalan normal.
"Saya menyaksikan tidak ada ancaman mau perang, saya melihat orang-orang antre bus dengan tenang, lalu pasar tumpah di jalan. Semuanya seperti kehidupan normal saja," ungkapnya di kantor Tribun, Senin 28 Februari 2022.
Yuddy tidak melihat sekalipun raut wajah ketakutan dari warga Ukraina. Mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN RB) ini merasa masyarakat Ukraina memiliki kesamaan dengan Indonesia yang menjunjung tinggi toleransi.
Baca juga: Mantan Dubes RI untuk Rusia Wahid Supriyadi: Ukraina Rusia Sebetulnya Bersaudara (Bagian-1)
"Mereka sangat damai tidak menginginkan peperangan atau suatu konfrontasi," tutur Yuddy.
Berikut petikan wawancara eksklusif Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra dengan Prof Yuddy Chrisnandi:
Bagaimana hubungan Ukraina dan Rusia ketika Prof Yuddy masih bertugas?
Saya tiba di Ukraina 21 April 2017 di awal musim semi bersama keluarga di sana. Pada saat itu Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia menetapkan status Ukraina siaga perang atau zona kuning.
Setiap diplomat yang ditugaskan di sana selalu dirotasi kurang dari satu tahun. Karena dikhawatirkan terjadi depresi, ketakutan dan keluarga diplomat tersebut disarankan tidak bersekolah di Ukraina.
Ada beberapa diplomat yang bertugas tapi keluarga tidak ikut. Pada saat hari pertama saya mendarat saya menyaksikan pemandangan dari airport ke rumah, suasana kota Kiev yang begitu indah. Langit yang begitu indah, itu sudah sangat menarik hati saya.
Anda sama sekali tidak melihat adanya tanda bahaya perang?
Tidak menunjukkan suatu bahaya sama sekali, tidak ada ancaman mau perang, saya melihat orang-orang antre bus dengan tenang, lalu pasar tumpah di jalan. Semuanya seperti kehidupan normal saja.
Saya bahkan tidak melihat satu polisi pun di jalanan. Masyarakat tidak diselimuti rasa ketakutan. Hari pertama saya kebetulan hari Jumat saya bertemu warga negara Indonesia di Ukraina. Saya kemudian diantar ke masjid.
Dalam perjalanan dari rumah duta ke masjid kurang lebih 30 menit saya juga merasakan suasana yang nyaman dan tenang seperti di tanah air.
Setelah saya mempelajari situasi selama tiga bulan, saya melaporkan ke Bu Menteri Luar Negeri Retno Marsudi analisis situasi dan kondisi yang sebenarnya.
Pada rekomendasi terakhir saya agar status darurat Ukraina dari Kementerian Luar Negeri RI dicabut. Dengan demikian tidak ada lagi diplomat yang sifatnya temporary bertugas.
Waktu itu bagaimana situasinya setelah dicabut status siaga perang?
Singkatnya dalam kurun waktu 4,5 tahun saya sudah berkeliling ke seluruh provinsi Ukraina. Yang disebut wilayah konflik saya juga sudah ke sana, di wilayah timur, region Donbass, Luhansk dan Donetsk, kami sudah ke sana. Situasi di sana medan pasca perang, jadi peperangan besar terjadi antara kurun waktu 2014 hingga 2015.
Lalu setelah organization for security and cooperation in europe (OSCE) turun tangan dam adanya perjanjian minks satu dan dua yang diprakarsai oleh Amerika Serikat, Jerman, serta Perancis konflik relatif mereda.
Ada tujuh kesepakatan kedua belah pihak yang ditengarai adanya keterlibatan Rusia di belakang gerakan separatisme. Situasi perang saat itu sebetulnya semakin menurun, namun pada Desember 2018 sempat memanas karena ada tabrakan kapal perang Rusia dan Ukraina.
Darurat militer di Ukraina ini sifatnya damai-damai saja. Ada tank baja, polisi berlalu lalang karena masyarakat tahu darurat militer diberlakukan jam 5 sore sampai jam 7 pagi.
Masyarakat tidak berpergian dan tidak berlalu lalang di jam itu. Mereka tahu mana jalur yang boleh dilewati dan tidak boleh. Pasar-pasar tutup, tempat hiburan tutup tapi tidak ada suasana yang mencekam, misalnya orang diperiksa hingga adanya pembatasan.
Peristiwa tanggal 24 Februari ini apakah membuat Anda kaget?
Yang luar biasa peristiwa hari ini. Saya mendapat pemberitahuan untuk menyelesaikan tugas sejak bulan Januari 2021. Lalu kemudian dengan berbagai macam persiapan saya baru dapat izin pulang Oktober 2021.
Sebagai pejabat yang memberikan mandatory interim sambil menunggu kehadiran Dubes baru (Ghafur Akbar Dharmaputra) saya punya tanggung jawab moril.
Saya terus memonitor dari Jakarta dan saya sama sekali tidak ada prediksi bahwa Rusia akan menyerang Ukraina. Banyak sekali saya kenal orang-orang di sana dari Presiden sekarang Zelensky, sebelumnya Presiden Petro Poroshenko, sampai pedagang-pedagang di pasar.
Baca juga: Mantan Dubes RI untuk Rusia Wahid Supriyadi: Punya Rudal 27 Kali Kecepatan Suara (Bagian-2/Selesai)
Mereka sangat damai tidak menginginkan peperangan atau suatu konfrontasi. Kejadian tanggal 24 ini di luar nalar karena Kkraina masyarakatnya seperti di Indonesia sangat toleran walaupun umat muslimnya tidak sampai 2 persen.
Pemerintah Ukraina sangat ramah terhadap pengusaha, masyarakatnya bersatu padu, terbukti 360 anggota parlemen sudah berkunjung ke Ukraina dalam masa jabatan saya.
Transaksi perdagangan waktu awal saya masuk hanya 720 miliar dolar AS naik menjadi 1,3 miliar dolar AS selama empat tahun.
Ukraina bukan ancaman bagi negara manapun bagaimana mungkin negara yang penduduknya kurang dari 45 juta mengancam negara yang penduduknya 145 juta.
Dengan kekuatan militer yang sangat jauh bagaimana mungkin bisa menantang Rusia. Negara Ukraina hanya mempertahankan wilayah integritas nasionalnya. (tribun network/reynas abdila)