Renungan Harian Kristen

Khotbah Akhir Tahun 2021: Tuhan Ada di Setiap Musim Kehidupan

Dan ini juga yang digumuli oleh penulis kitab Pengkhotbah ketika berbicara tentang segala sesuatu itu ada masanya.

Editor: Eflin Rote
dokumentasi pribadi
Pendeta Dr. Messakh Dethan, STh, MTh 

Khotbah Akhir Tahun 2021: TUHAN ADA DI SETIAP MUSIM KEHIDUPAN

Oleh: Pendeta Dr. Messakh Dethan, STh, MTh

POS-KUPANG.COM - Mengutip J. Sidlow Baxter, John C. Maxwell (Maxwell, J.C., Membangun Sikap Pemenang, p. 45) menulis „apa yang membedakan rintangan dan peluang? Cara kita menyikapinya! Setiap peluang punya kesulitannya sendiri dan dalam setiap kesulitan selalu ada peluang. Ketika berhadapan dengan situasi sulit, orang yang sikapnya hebat akan memetik manfaat sebesar-besarnya dari hal terburuk yang ia alami“.

Bagi Maxwell, hidup itu ibarat batu gerinda,- bahan-bahan yang membentuk diri Anda akan menentukan Anda akan tergilas atau terasah“. Sikap dan mental hidup kita akan menentukan hidup ini berakhir sia-sia atau ada maknanya.

Dan ini juga yang digumuli oleh penulis kitab Pengkhotbah ketika berbicara tentang segala sesuatu itu ada masanya.

Dengan mengatakan bahwa untuk segala sesuatu ada waktunya  si penulis kitab Pengkhotbah akhirnya sampai kepada suatu pengakuan bahwa masa depan dan nasib manusia karena itu hanya bergantung sepunuhnya pada Tuhan Allah.

Segala sesuatu dalam dunia ini dan dalam kehidupan manusia berada di bawah satu rangkaian rencana sang Pencipta langit dan bumi.

Menurut Tafsiran Wycliffe ada masa, berupa sebuah  periode yang ditetapkan, dan ada waktu, berupa kejadian yang ditentukan sebelumnya, untuk semua yang terjadi di bawah matahari. 

Sesungguhnya tidak ada kejadian-kejadian yang bersifat kebetulan, karena kejadian-kejadian yang kelihatannya kebetulan, semuanya merupakan bagian dari sebuah rencana sangat besar di tangan Tuhan Allah sendiri, demikian cuplikan khotbah berdasarkan teks Pengkhotbah 3: 1-15 dari Pdt. Dr. Mesakh A.P. Dethan, M.Th, MA, Dosen Pasca Sarjana Universitas Kristen Artha Wacana Kupang dalam khotbahnya pada Kebaktian Perayaan Kunci Tahun 2021 di  Jemaat Petra Oepoi, Klasis Kota Kupang, yang dilayani  oleh Pdt. Ina Djahimo-Maahury, S.Th selaku Ketua Majelis.

Pdt. Dr. Mesakh A.P. Dethan, M.Th, MA (tengah) foto bersama Pdt. Ina Djahimo-Maahury, S.Th dan Majelis Jemaat Petra Oepoi, Klasis Kota Kupang, seusai Kebaktian Kunci Tahun, Jumat 31 Desember 2021.

Menurut Pendeta dan Dosen UKAW sipenulis pengkhotbah menuliskan kata-kata indah dalam bentuk puisi yang bersifat khiastik untuk menegaskan nilai-nilai yang diinginkan dan nilai-nilai yang tidak diinginkan (Pengkhotbah 3:1-8). Sipenulis membuat beberapa paralelisme untuk melukiskan apa yang dianggap baik dan tidak baik atau apa yang diinginkan dan tidak diinginkan.

Paralelisme itu terungkap dalam padanan dan lawan kata seperti: kelahiran-kematian, tertawa-menangis, damai-perang. Kelahiran, ini hal yang baik dan diinginkan, sedangkan kematian, ini hal yang buruk dan tidak diinginkan; tertawa, ini adalah hal yang menyenangkan dan diinginkan, sedangkan menangis adalah sesuatu menyedihkan dan tidak diinginkan dan seterusnya, hingga kalimat terakhir ada waktu untuk damai, ini hal yang didambakan semua orang, sedangkan ada waktu untuk berperang, ini adalah seuatu yang buruk dan tidak diinginkan“, demikian mantan Wartawan Pos Kupang ini.  

Pdt. Dr. Mesakh A.P. Dethan, M.Th, MA (tengah) foto bersama Pdt. Ina Djahimo-Maahury, S.Th, Stanley Dethan dan Sekretaris Majelis Jemaat Petra Oepoi, Klasis Kota Kupang, seusai Kebaktian Kunci Tahun, Jumat 31 Desember 2021.

Menurut Mesakh Dethan dengan bentuk khiastik ini sipenulis kitab pengkotbah mengingatkan para pembaca bahwa kehidupan manusia berada dalam rentang waktu kelahiran dan kematiannya, antara cinta dan benci, antara perang dan damai. Hanya dengan mendekatkan diri dengan Tuhan manusia beriman dengan bijak menentukan langkah hidupnya.

Dan karena Tuhanlah yang mengatur segala sesuatu, maka orang beriman diminta untuk berhikmat memilih mana yang akan dilakukannya dan mana yang tidak harus dilakukannya.

Mengutip penafsir  G.S. Hendry, dalam New Bible Commentary (1970, p. 578), mantan Wartawan Pencetus Rubrik Tapaleuk Harian Umum Pos Kupang ini, mengatakan bahwa  kita mesti memiliki perspektif seperti yang dimiliki oleh penulis kitab pengkhotbah, dimana ia memiliki world-view bahwa di pusat kehidupan dan sejarah dunia adalah sang Pencipta dan bukan makhluk Ciptaan.

Dan inilah hikmat yang mesti dimiliki orang beriman yang membuatnya kuat. Dan permulaan dari hikmat itu adalah takut akan Tuhan (bandingkan Mazmur 111:10).

Kehidupan orang beriman harus diletakan di tangan Allah dan bukan ditangan manusia. Mengapa? Karena Allah mempunyai rencana bagi  setiap orang di muka bumi.

Dari pada terjebak dengan perilaku jahat orang-orang di sekita kita lebih baik kita  mempersembahkan diri kepada Allah sebagai persembahan kudus, membiarkan Roh Kudus melaksanakan rencana Allah bagi kita, dan berhati-hati agar kita tidak ke luar dari kehendak Allah, sehingga kehilangan waktu dan maksud yang ditetapkan-Nya bagi hidup kita. Jangan membiarkan waktu kita tersita dengan hal-hal sepele yang ditimbulkan oleh perilaku buruk orang lain. 

Si penulis pengkhotbah seakan menyakini bahwa seluruh kehidupan, termasuk aktivitas manusia, adalah bagian dari sebuah siklus yang sudah ditentukan, bersama Tuhan segala sesuatu menjadi bermakna, sedangkan di luar Tuhan segala sesuatu menjadi sia-sia.

Oleh karena kematian membuat semuanya menjadi relatif. Orang bisa mengumpulkan harta berlimpah, tetapi kemudian ia mati dan hartanya tidak dapat dibawa serta dalam dunia orang mati. Inilah kesia-siaan hidup (Pengkhotbah (3: 2, 8; 19-21).

Pada akhirnya kematian membuat semua pengalaman relatif. Sekaya apapun seseorang dan mungkin punya tanah ribuan hektar, namun ketika ia mati ia hanya butuhkan 1 x 3 meter untuk tempat orang meletakan Peti Matinya.  Kekayaan dan manfaatnya (5: 9-10; 6: 1-9) semuanya menjadi terasa sia-sia ketika kehidupan berakhir.

Orang yang menabur kebaikan akan memetik kebaikan, sebaliknya orang yang menabur kejahatan akan memetik hasil kejahatannya. Khusus aktual belakangan yang heboh di NTT dengan sosok Upaya Randy menghilangkan jejak pembunuhannya atas Astrid dan Lael selama beberapa minggu, menjadi sia-sia, karena akhirnya terungkap juga. Dan ia harus mempertanggungjawabkan kejahatannya. Rasul Paulus bilang, „Apa yang ditabur orang itulah juga yang akan dituainya“ (Gal 6:7).

Oleh karena itu kerjakanlah keselematan dan peliharalah iman percaya kepada Tuhan. Karena yang membuat tidak sia-sia hanyalah iman dan ketergantungan orang beriman kepada Tuhan.

Manusia selalu berada dalam dua dimensi yang saling bertentangan: kelahiran atau kematian, menanam atau mencabut, membunuh atau menyembuhkan,  hidup atau mati, dan itu semua dialami dalam dimensi waktu yang berada dalam jangkauan dan campur tangan dan pengawasan Tuhan Allah.

Gagal atau berhasil bergantung kepada sikap iman kita kepada Allah. Orang yang dekat dengan Allah tidak takut menghadapi kesulitan dan tantangan hidup. Kesulitan dan tantangan itu ibarat angin, dan orang percaya seperti layang-layang dalam genggaman ikatan benang Allah.

Kesulitan harus dilawan dan bukan kita menyerah. Menurut Maxwell (p. 45) layang-layang membubung tinggi karena melawan angin, bukan karena ia mengikuti arah angin. Ketika kesulitan datang dan ibarat angin yang bertiup justru membuat kita seperti layang-layang makin melambung tinggi.

Dan Layang-layang tidak dapat terbang tanpa tegangan pengendali dari benang yang mengikatnya erat. Hal yang sama pun berlaku dalam hidup“. Jadi kalau kita mau terbang tinggi, ketika kesulitan dan tantangan datang, ikatkanlah tali benang kita erat-erat pada Tuhan Allah pengendali segala masa. Karena bersamaNya kita terbang tinggi, Amin“, demikian Pendeta GMIT dan Akademisi Pascasarjana Teologi UKAW ini menutup khotbahnya.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved