Opini Pos Kupang
Orientasi Kota: Esensi atau Estetika?
Kota adalah simbol peradaban. Tinggi rendahnya peradaban manusia bisa dilihat dari kerumitan fisik dan struktur sosial sebuah kota
Oleh Habde Adrianus Dami, Mantan Sekda Kota Kupang, Pengamat Kebijakan Publik dan Penganggaran
POS-KUPANG.COM- Kota adalah simbol peradaban. Tinggi rendahnya sebuah peradaban manusia bisa dilihat dari takaran kerumitan fisik dan struktur sosial sebuah kota.
"City air makes you free," cetus pepatah Jerman kuno. Ini karena kota adalah artefak terbesar dari aspirasi budaya manusia. Tempat mimpi beradu dan ambisi hidup bebas bersaing. Kota memang melahirkan segala kompleksitas dan dinamikanya.
Idealnya, rasionalitas orientasi pembangunan kota sejalan dengan kebutuhan warga, sehingga setiap problem yang dihadapai warga bisa dikalkulasi dan dicari jalan keluarnya.
Persoalannya kemudian adalah, tidak setiap orang lantas sepakat tentang tata cara dan esensi moral yang dipahami secara linear berkaitan dengan upaya mencapai tatanan warga sejahtera yang diidamkan itu.
Karena, secara mendasar, permasalahan kota-kota di Indonesia, justru bukan saja dari ketidaksiapan sistem ruang dan spasialnya saja, akan tetapi lebih ekstrim yaitu disebabkan oleh ketidaksiapan dan ketidaktahuan tentang esensi budaya berkota atau 'being urban' oleh pemimpin dan warga kotanya sendiri.
Mengerti budaya berkota, artinya kita siap untuk bernegosiasi terhadap empat aspek kehidupan kota: densitas, heterogenitas, anonimitas dan intensitas sosial.
Tentu saja, desain budaya berkota yang kontekstual, tidak hanya menekankan pada akuntabilitas institusi pemerintah saja tetapi harus juga disertai dengan kewajiban warga kota secara personal.
Sehingga, pemangku kepentingan kota dapat menjadi agen perubahan keadaban yang efektif, agar dapat membahagiakan warganya.
Wajah Ganda
Kota-kota di Indonesia pada umumnya berkembang secara laissez-faire, tanpa dilandasi perencanaan kota yang menyeluruh dan terpadu. Khususnya, yang menyiasati sistem sosial ekonomi yang telah menyebabkan ketimpangan sosial dan kemubaziran alokasi sumber daya.
Oleh karena itu, bukanlah suatu pemandangan yang aneh bila kota-kota di Indonesia menampilkan wajah ganda. Disatu sisi terlihat perkembangan pembangunan yang serba mengesankan dalam wujud arsitektur, gemerlap, fasilitas taman kota ditepi jalan utama kota.
Namun, dibalik semua keanggunan itu, nampak menjamurnya lingkungan kumuh dengan sarana dan prasarana yang sangat tidak memadai untuk mendukung keberlangsungan kehidupan manusia yang berbudaya.
Pada titik ini, bukan berarti bahwa estetika (keindahan visual) kota tidak berguna. Dalam bahasa berbeda, dambaan terhadap estetika kota yang berlebihan (seolah merupakan prerogatif elitis), jelas merupakan pengingkaran terhadap kenyataan kota adalah kita.