GSMB Nasional dan Tantangan Kompetensi Menulis Guru

Dengan berliterasi, setiap person yang memiliki sense literasi dapat berinisiatif menjadi penggerak atau sosialisator

Editor: Agustinus Sape
POS-KUPANG.COM/RICKO WAWO
Guru SMAN 2 Nubatukan Lembata Albertus Muda menumbuhkan kemampuan literasi para siswanya dengan memanfaatkan pojok baca yang ada di ruang kelas mereka. 

GSMB Nasional dan Tantangan Kompetensi Menulis Guru

Oleh Albertus Muda, S.Ag

Guru SMA Negeri 2 Nubatukan, Lembata

POS-KUPANG.COM - Literasi bukan sebuah frasa yang statis, melainkan dinamis. Di dalamnya ada aktus atau tindakan, juga ada upaya membangun relasi dan menumbuhkan kompetensi. Maka, literasi lazim disebut gerakan.

Dengan berliterasi, setiap person yang memiliki sense literasi dapat berinisiatif menjadi penggerak atau sosialisator, baik secara sukarela maupun tersistem dalam sebuah program kelembagaan, agar lembaga pendidikan di level mana pun mendapatkan sosialisasi gerakan literasi secara merata. Harapannya, sosialisasi itu membudayakan literasi nasional di tingkat sekolah.

Kini dan di sini, gerakan mengenalkan literasi, baik secara personal maupun kelompok telah, sedang dan akan terus digelorakan, seiring upaya dan kerja keras yang dilakukan oleh para sosialisator untuk membumikan dan membudayakannya di seluruh pelosok Nusantara. Meski disadari, mengakarkan gerakan literasi bukan sebuah pekerjaan mudah dan ringan.

Terlibat dalam program Gerakan Sekolah Menulis Buku Nasional (GSMB Nasional), tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Menariknya, Nyalanesia yang menaunginya menyeleksi tenaga penggerak yang disebut Sosialisator Program Literasi Nasional (SPL Nasional) dan Penggerak Literasi Daerah (PLD).

Para SPL Nasional dan PLD dilatih dan didampingi melalui uji kompetensi dan penerjunan untuk mengampanyekan GSMB Nasional. Tugas ini diharapkan meningkatkan rasa memiliki setiap satuan pendidikan terhadap segala informasi literasi dan pendidikan,

Dengannya, para guru dan kepala sekolah juga siswa diharapkan tercerahkan dan secara bijak menyambut berbagai program yang ditawarkan untuk menyelaraskannya dengan program pengembangan literasi dan pendidikan di sekolah masing-masing.

GSMB Nasional merupakan gerakan literasi yang prestatif dan kompetitif. Prestatif karena membuka ruang bagi para siswa dan guru mengaktualisasikan potensinya dalam bidang menulis, meraih berbagai penghargaan dan meraih nominasi juga mendapatkan trofi dan beasiswa pengembangan diri yang sangat membantu pengembangan kompetensi diri.

GSMB Nasional juga kompetitif karena, selain bersaing untuk memperebutkan nominator terbaik tingkat sekolah dan nasional, para siswa dan guru juga akan bersaing dengan ribuan siswa dan ratusan guru dari ratusan sekolah yang tersebar di 33 provinsi untuk memperebutkan tiga nominator terbaik nasional sebagai duta literasi nasional.

Karya terbaik guru dan siswa dilombakan untuk memperebutkan duta literasi dan nominasi teacher literacy award.

Nyalanesia juga mendesain program perlombaan video kreasi sekolah, pengembangan website literasi sekolah, Bantuan Pengembangan Literasi Sekolah, Bantuan Pengembangan Literasi Pendidikan juga Akademisi Menulis Buku.

Program-program ini ditawarkan kepada lembaga-lembaga pendidikan mulai dari jenjang SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA dan SMK.

Peran terbesar keberhasilan gerakan ini di sekolah ada pada tangan seorang guru koordinator, yang ditunjuk oleh sekolah dengan kewenangan mengumumkan, mengumpulkan karya, melakukan verifikasi, editing karya dan mengirimkan untuk dilombakan.

Guru koordinator juga sangat dituntut memiliki pemahaman yang komprehensif dan holistik tentang program GSMB Nasional. Ia mesti seorang penulis. Intinya, guru yang memiliki kapasitas membaca dan menulis yang tidak diragukan lagi.

Serangkaian program yang mewarnai seluruh program Nyalanesia, mulai dari pendaftaran sampai dengan puncak festival literasi nasional (FLN) meliputi, Peluncuran Buku Antologi Sekolah dan Nasional, Penganugerahan Akademisi Menulis Buku, Penganugerahan Sekolah Percontohan Literasi Nasional, Penganugerahan Juara GSMB Nasional, Penganugerahan Juara GSMB Sekolah, Penganugerahan Teacher Literacy Award, Penganugerahan Penggerak Literasi Nasional, Pemecahan Rekor MURI dan Semangat Sejuta Buku.

Nyalanesia juga menyajikan sistem pembelajaran secara tersistem dan terstruktur. Melalui konsultan program atau nara hubung yang kompeten, segala informasi disampaikan secara bertahap kepada para guru koordinator terkait tahapan-tahapan program yang harus dilalui dan dipenuhi setiap lembaga  pendidikan, yang terlibat dalam program GSMB Nasional. Nyalanesia juga menyajikan pembelajaran online melalui workshop secara virtual, kurang lebih 22 workshop terpadu dan sertifikat kompetensi.

Dalam pembelajaran online, yang dibutuhkan bukan semata-mata kompetensi inteligensia personal siswa dan guru, tetapi lebih dari itu, dibutuhkan kompetensi sosial yang mewujud dalam gerakan bahkan gebrakan bersama untuk memaksimalkan keikutsertaan lembaga dalam gerakan literasi tingkat nasional juga keikutsertaan dalam gerakan literasi daerah juga peningkatan dan pengembangan literasi tingkat sekolah ke depannya.

Pada titik ini, dibutuhkan ketangkasan guru koordinator yang rela berkorban dan penuh tanggung jawab membangun komunikasi dengan para siswa dan guru.

Pimpinan sekolah, melalui kepala sekolah dan para wakilnya, mesti memiliki bahkan menumbuhkan rasa atau sense literasi dalam dirinya. Tidak bisa tidak. Keteladanan literasi para pimpinan sekolah benar-benar diuji. Profesionalisme guru dipertaruhkan di hadapan para siswa. Demikian juga kemampuan spesifik guru ditagih.

Pendidikan Literasi

Selain memiliki sense literasi, menjadi teladan dan tuntutan aplikasi profesionalisme dan spesifikasi, para guru dituntut untuk memahami makna pendidikan dalam konteks berliterasi. Pendidikan bukan sekadar berdiri di depan kelas, menyiapkan materi dan membacakan untuk para siswa mencatatnya.

Atau kesempatan dimana para guru menunjukkan kepada para siswa daftar nilai, dimana tidak semua kompetensi dasarnya terisi.

Jika pendidikan hanya dipahami sebatas ini, maka para guru akan dilanda stress manakala menghadapi para siswa masa bodoh bahkan enggan mengumpulkan tugas pada waktu yang ditentukan.

Lenang Manggala, penulis dan founder Nyalanesia dalam materiya tentang makna pendidikan yang berkemerdekaan, mengajak para guru merenung dan merefleksikan kembali makna pendidikan.

Dalam materi yang disampaikannya secara virtual, Lenang dengan tegas mengatakan, pendidikan bukan hanya berarti pelajaran yang diajarkan dan dibacakan di kelas-kelas dan nilai-nilai yang tercantum di kertas.

Sebab, sekolah sesungguhnya merupakan wahana bagi anak untuk mengembangkan diri, bukan sekedar menggelontorkan materi pelajaran yang diabdikan selama 6 (enam) hari dalam sepekan.

Lenang juga menggugat para pendidik agar tidak menjadikan anak didik lebih dari  sekadar google berjalan, menjadikan mereka seperti kamus tebal ratusan halaman karena dipaksa menghafal sejumlah kosa kata yang tak mampu tertampung atau memaksa anak menjadi yang tercepat dalam matematika dan mengubah mereka menjadi kalkulator tanpa baterai yang terpasang.

Sekali lagi, menurutnya, anak-anak perlu didorong untuk berkarya dan berkreativitas. Sebab dengan berkarya dan berkreativitas, anak-anak berkontribusi dan akan memaknai kehidupan mereka secara lebih luas.

Sebab, kelak setelah mereka lulus sekolah, para guru dan pendidik tidak terlalu mempedulikan berapa nilai yang anak-anak dapatkan, karena yang dapat bapak/ibu guru rasakan adalah menjejaki karya-karya yang mereka ciptakan.

Gagasan Lenang Manggala di atas mendorong para (kami) Sosialisator Program Literasi Nasional untuk mengajak para pimpinan sekolah di semua satuan pendidikan agar mendorong para siswa dan gurunya berkarya melalui menulis pantun, puisi, cerpen dan artikel.

Karya siswa akan diseleksi, dilombakan di tingkat sekolah dan nasional. Karya-karya tersebut, nantinya akan diterbitkan menjadi buku ber-ISBN.

Demikian juga karya guru dan kepala sekolah. Melalui karya-karya yang dihasilkan, para guru dan siswa dalam genre pantun, puisi dan artikel, para guru dan siswa telah berkontribusi dalam membangun bangsa di jalan literasi. Dengan berkarya, para guru dan siswa telah berandil memajukan gerakan literasi nasional, yang dicanangkan pemerintah melalui gerakan literasi sekolah. Olehnya, para siswa mesti terus didorong untuk menciptakan karya, bukan sebaliknya sekedar mengejar nilai di atas kertas.

Tantangan Kompetensi Menulis

UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen telah menggariskan secara jelas tentang kompetensi inti yang harus dimiliki oleh seorang guru yakni kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.

Keempat kompetensi tersebut dirumuskan secara lebih detail dalam kebijakan pemerintah tentang pendidikan nasional yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Namun, penulis tidak bermaksud menerangkan secara detail keempat kompetensi di atas, melainkan mencoba memasuki ruang lain yang terkesan masih diabaikan oleh guru dan kepala sekolah dalam mengembangkan kompetensinya yakni bidang tulis-menulis.

Pengembangan kompetensi guru tentu bertalian erat dengan kemauan guru mengupdate ilmu pengetahuan dan mengaupgrade kemampuan drinya, baik secara interpersonal maupun intrapersonal, juga kompetensi lainnya seperti yang dicetuskan ahli pendidikan Howard Gardner dalam teorinya tentang kecerdasan majemuk atau multiple intelligences.

Oleh karena itu, selain mengevaluasi peserta didik, guru sebagai pendidik dan pengajar mestinya lebih dulu mengevaluasi diri dengan seluruh kemampuan yang dimilikinya.

Dalam rangka ini, guru mesti membuat refleksi secara rutin atas seluruh capaian yang telah dilaluinya, baik keunggulan maupun keterbatasan yang dimilikinya.

Dengan cara itu, diharapkan ada upaya untuk mngembangkan dan meningkatkan kemampuan yang dimilikinya.

Selain kompetensi-kompetensi yang disyaratkan pemerintah, guru juga mesti memiliki kompetensi lain yang dapat menunjang atau melengkapi kompetensi inti yang dimilikinya.

Terkait dengan itu, maka dibutuhkan pengembangan kompetensi guru yang oleh Hopkins (2010) dalam (Suyanto dan Asep Jihad, 2013:40) mendefinisikannya sebagai cara guru untuk menilai dirinya sendiri secara rutin sembari membuka diri menerima masukan dan menyambut setiap perubahan zaman yang terus berkembang.

Dengan kata lain, mengembangkan kompetensi merupakan cara seorang guru mengevaluasi kemampuannya agar hidup selaras zaman atau selalu memperbarui diri sesuai dengan kemajuan dan tuntutan zaman.

Dalam konteks terkini, ketika guru tidak membuka diri mengembangkan kompetensinya, maka akan ada semacam stagnasi kompetensi dalam diri guru.

Buktinya, ketika berhadapan dengan tuntutan menulis, banyak guru nampaknya tidak siap untuk memulai mengembangkan kompetens menulisnya.

Fakta lapangan di satu sisi menunjukkan bahwa guru cenderung membiarkan dirinya berada di zona nyaman.

Di lain sisi, guru tidak memaksakan dirinya untuk belajar dari rekan sejawat, sebagai sesama pembelajar yang dituntut belajar sepanjang hayat.

Selain kompetensi inti, seorang guru dituntut memiliki beberapa kompetensi penunjang, yang dalam kesehariannya diyakini sangat membantu menopang keempat kompetensi yang disyaratkan oleh pemerintah.

Kompetensi-kompetensi itu tidak sekedar pelengkap atau tambahan, tetapi sesuai dengan kemajuan zaman, seorang guru dituntut untuk mengemban kompetensi-kompetensi tersebut.

Kompetensi-kempetensi penunjang yang mesti dimiliki oleh seorang guru dan diharapkan terintegrasi dalam tugas kesehariannya sebagai seorang guru profesional meliputi keahlian dalam menulis, keahlian dalam meneliti, keahlian berbahasa asing dan mendorong siswa memiliki keinginan membaca (Suyanto dan Asep Jihad, 2013:73-75).

Dalam kacamata penulis sebagai guru dan sosialisator program literasi nasional (SPL Nasional), keempat kompetensi penunjang ini tidak serta merta diseragamkan untuk semua guru, oleh karena tidak semua daerah di Indonesia, dimana para guru mengabdikan diri, memiliki sarana prasarana dan fasilitas penunjang yang memadai.

Akan tetapi, dengan alasan sebaran wilayah juga sarana dan fasilitas penunjang yang belum merata, bukan berarti guru tidak tertantang untuk mengembangkan kompetensi-kompetensi penunjang yang ada.

Saat ini, seiring dengan perkembangan zaman, seorang guru bahkan sangat dituntut untuk menulis. Dengan menulis, kadar intelektualitas seorang guru dapat diukur, karena dari representasi alur berpikir seorang guru, tercermin dari setiap karya yang dihasilkannya melalui menulis.

Dengan demikian, guru dituntut untuk banyak membaca dan mengikuti kegiatan-kegiatan bertajuk ilmiah seperti FGD, seminar, workhshop atau sarasehan untuk menambah wawasan keilmuannya.

Selain itu, guru juga dituntut menjadi peneliti. Peneliti yang dimaksud di sini, bukan seperti seorang pakar atau ilmuwan yang mengkaji dan meneliti bidang ilmu tertentu secara spesifik dan detail mendalam.

Menjadi peneliti yang dimaksud adalah menemukan kelemahan dalam penerapan pembelajaran, meneliti kemajuan belajar peserta didik, agar bisa memperbaiki dengan menerapkan metode dan model pembelajaran yang kontekstual demi meningkatkan mutu pembelajaran yang akan berdampak pada peningkatan prestasi belajar siswa dan mutu pendidikan.

Guru diminta mengamati setiap perjumpaannya dengan siswa, mengkorelasikannya dengan materi yang dibaca, selanjutnya menulisnya dalam karya-karya sederhana.

Selain itu, guru juga bisa mengamati hal-hal di luar ilmu yang digelutinya untuk menulis. Kemampuan berbahasa asing pun sangat membantu mengembangkan komunikasi dan literasi digital seorang guru.

Selain itu, yang tak kalah pentingnya, jika seorang guru telah terbiasa membaca dan menulis, meneliti dan memiliki kemampuan berbahasa asing yang baik, maka akan mudah baginya memotivasi para siswanya untuk membaca, bahkan merasa ada sesuatu yang kurang dalam dirinya tanpa membaca.*

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved