Opini

Optimisme Kemerdekaan

17 Agustus 2021 Bangsa Indonesia memperingati Kemerdekaan ke-76. Sekjen Vox Point Indonesia Ervanus Ridwan Tou menulis opini Optimisme Kemerdekaan.

Editor: Agustinus Sape
Foto pribadi
Sekjen Vox Point Indonesia, Ervanus Ridwan Tou. 

Optimisme Kemerdekaan

Oleh: Ervanus Ridwan Tou
Sekjen Vox Point Indonesia

POS-KUPANG.COM - Tepat 17 Agustus 2021, kita merayakan Hari Ulang Tahun Ke-76 Republik Indoneisa. Kita bersyukur dan bangga karena perjalanan bangsa Indonesia sudah hampir mencapai satu abad. Jika disejajarkan dengan manusia, bangsa Indonesia sudah tergolong mapan. Di usia yang tak muda, mestinya sudah banyak prestasi yang ditorehkan bangsa ini.

Walaupun usia bangsa Indonesia sudah tergolong mapan, tetapi masih banyak persoalan yang dialami rakyatnya. Untungnya kita punya Pancasila sebagai dasar negara yang menyatukan dari berbagai ujian yang dihadapi.

Hari Ulang Tahun Ke-76 merupakan momentum tepat untuk memaknai kemerdekaan. Apakah kita sudah benar-benar merdeka atau malah masih dijajah bangsa sendiri. Melihat berbagai persoalan di Tanah Air mengindikasikan bangsa Indonesia belum merdeka. Kita hanya merdeka dari penjajahan bangsa asing.

Apalagi mengatur negara besar dengan jumlah penduduk 271 juta jiwa tidaklah mudah. Butuh sistem pemerintahan yang utuh, sistematis dan ditopang politik-demokrasi yang baik sesuai konstitusi.

Dijajah Bangsa Sendiri

Beberapa persoalan di Tanah Air seperti KKN masih menjadi musuh bersama yang belum bisa diperangi secara masif. Seperti yang paling heboh dua tahun terakhir. Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap dua menteri kabinet Presiden Jokowi. Praktek korupsi ternyata tidak "padam" di tengah pandemi Covid-19.

Transparency International Indonesia (TII) mengungkapkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2020 berada di skor 37. Organisasi internasional yang bertujuan memerangi korupsi politik itu menyebut Indonesia berada di peringkat 102 dari 180 negara yang dilibatkan dalam survei.

Di level Asean, Indonesia berada di peringkat lima. Berada di bawah Singapura yang memperoleh skor IPK 85, Brunei Darussalam (60), Malaysia (51) dan Timor Leste (40).

Baca juga: Jokowi Pidato di DPR RI: Target Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2022 Sebesar 5,5 Persen

Praktek KKN ini mengkonfirmasi masih lemahnya tata kelola pemerintahan negara Indonesia.

Padahal, masih banyak rakyat yang hidup miskin. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, jumlah penduduk miskin pada bulan Maret 2021 mencapai 27,54 juta orang. Jutaan rakyat ini butuh bantuan pemerintah. Bagaimana rakyat bisa diperhatikan, jika korupsi masih dilakukan pejabat negara.

Hal yang juga menjadi perhatian publik soal penegakan hukum yang belum merata. Hukum tumpul ke atas tajam ke bawah. Istilah ini sudah lumrah bahkan sudah menjadi rahasia umum. Hukum di Indonesia dalam kenyataan lebih tajam menghukum masyarakat kelas bawah daripada pejabat tinggi.

Tahun 2015 lalu, kasus hukum menimpa nenek Asyani berusia 63 tahun. Asyani divonis 1 tahun penjara dan denda Rp 500 ribu. Ia divonis bersalah setelah didakwa mencuri dua batang pohon jati untuk dijadikan tempat tidur.

Bagaimana pejabat negara yang terbukti korupsi uang miliaran rupiah, tapi dihukum ringan. Kisah nenek Asyani menjadi bukti betapa rapuhnya penegakan hukum di Indonesia. Penegakan hukum bisa diatur sesuai pesanan. Untuk mereka yang berduit bisa membayar, tapi tidak untuk Asyani dan rakyat kecil lainnya.

Beberapa persoalan ini membuktikan bahwa kita masih belum merdeka. Rakyat Indonesia masih dijajah oleh bangsanya sendiri. Dijajah oleh mereka yang mempunyai jabatan penting, yang mempunyai kekuasaan istimewa untuk mengatur negara ini.

Jika praktek seperti ini masih terus terjadi, maka tidak heran jika kemerdekaan bangsa Indonesia masih dipertanyakan. Padahal, kemerdekaan adalah hak semua anak bangsa untuk diperlakukan secara adil dan merata.

Refleksi dan Optimisme

Harus diakui bahwa bangsa ini bukannya maju malah mundur. Untuk itu, perlu kesadaran kolektif. Perlu bekerja mengedepankan etika dan moral. Perlu tata kelola pemerintahan yang akuntabel, partisipatif dan transparan. Tanpa itu semua, kemerdekaan sekedar seremonial. Setelah itu, kita dijajah lagi.

Momentum peringatan HUT RI tak sekedar refleksi. Yang paling penting ada upaya untuk bangkit dari ketertinggalan. Sudah cukup 76 tahun kita refleksi. Tidak baik kalau merenung terlalu lama, tanpa aksi.

Karena penyimpangan di depan mata. Tugas kita saat ini membangun bangsa Indonesia dengan cara-cara yang beradab sesuai konstitusi. Kita masih punya waktu untuk berbenah, menyulam yang tercecer dan menjahit kembali yang terputus.

Inilah saatnya kita menyatukan harapan dan cita-cita bangsa. Karena kita adalah bangsa besar. Bangsa yang merdeka bukan hanya slogan, tapi benar-benar merdeka dan bebas dari persoalan dan ketimpangan sosial.

Kita harus optimis bahwa masih ada secercah harapan di masa yang akan datang. Kita bisa berubah, jika ada pembenahan yang dilakukan, baik oleh pemerintah maupun partisipasi aktif masyarakat.

Baca juga: Kenakan Pakaian Adat Baduy Saat Pidato di Sidang MPR/DPR, Presiden Jokowi Dapat Apresiasi Luas

Untuk itu, perlu gagasan dan gerakan bersama melawan penjajahan oleh bangsa sendiri. Sebab, bangsa ini bukan kurang orang pintar, tapi kekurangan negarawan. Kita masih bekerja sesuka hati, tidak berdasarkan etika-moral dan sesuai amanat UUD 1945. Singkatnya, kita kekurangan stok orang yang beradab.

Oleh karena itu kita harus punya semangat kebangsaan. Dalam spirit kebangsaan, wujudkan optimisme untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.

Semangat kemerdekaan mesti dibuktikan dengan cara berperan dan berpartisipasi dalam berbagai persoalan publik. Semangat ini harus menjadi dasar kebangkitan memperingati Hari Ulang Tahun Ke-76 Republik Indonesia menuju Indonesia Emas 2045. *

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved