Presiden Gus Dur Ternyata Berani Kibarkan Bintang Kejora Dekat Bendera Merah Putih, Benarkah?

Di tengah-tengah kondisi Papua yang menegangkan gegara tindakan anarkis anak bangsa di daerah itu, bangsa ini malah mengenang sosok Gus Dur.

Editor: Frans Krowin
Tribunstyle
Jokowi dan Gus Dur, Bapak Pluralisme Indonesia 

POS-KUPANG.COM, JAKARTA - Di tengah-tengah kondisi Papua yang menegangkan gegara tindakan anarkis anak bangsa di daerah itu akhir-akhir ini, bangsa Indonesia malah mengenang sosok Gus Dur.

Sosok almarhum Presiden ke-4 Indonesia KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur itu dikenang lantaran semasa kepemimpinannya ia mampu menangani konflik Papua secara bijak.

Kala itu, Presiden Gus Dur menghadapi masalah ruwet namun dengan pendekatan terbaiknya, konflik Papua akhirnya mereda.

Ternyata, ini dilakukan Gus Dur sehingga terbangun kepercayaan warga Papua kepada pemerintah Indonesia saat itu.

Cara itu dipuji banyak pihak, termasuk dari kalangan warga Papua sendiri. Sehingga tak ayal, pada masanya, tak ada gejolak berarti di sana.

Konflik Papua itu seakan merupakan tragedi berkepanjangan selama berpuluh-puluh tahun.

Meski begitu hanya pada masa pemerintahan Gus Dur, pendekatan humanis dilakukan untuk meredam konflik.

Walau pun hanya menjabat kurang lebih 20 bulan sebagai Presiden, namun Gus Dur pernah mengupayakan penyelesaian konflik dengan mendengar keluh kesah warga Papua.

Dua bulan setelah dilantik jadi Presiden Indonesia, pada bulan Desember 1999, Gus Dur kunjungi Papua untuk melakukan dialog informal dengan beragam “perwakilan” dari Papua.

Dialog dimulai sebagai upaya untuk mendorong pendekatan kemanusiaan terhadap konflik.

Gus Dur juga menyetujui kongres pro-kemerdekaan dan menyetujui pengibaran Bintang Kejora.

Alasan Gus Dur tidak melarang pengibaran bendera Bintang Kejora karena itu adalah bendera kultural.

"Kalau kita anggap sebagai bendera politik, salah kita sendiri,” kata Gus Dur sebagaimana dikutip dari nu.or.id.

Ganti Nama Irian Jaya dengan Papua

Ketika berkunjungan ke Papua, Gus Dur mengundang berbagai tokoh masyarakat Papua untuk berdiskusi, tak terkecuali para pihak dari Gerakan Papua Merdeka.

Presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. (Kompas.com / Agus Susanto)

Meski merupakan undangan terbatas, diskusi itu dihadiri oleh banyak tokoh masyarakat Papua.

Gus Dur juga tidak menggunaan penjagaan yang ketat.

"Meskipun dengan cara perwakilan, tetapi banyak sekali yang datang karena penjagaan tidak ketat,” demikian dikutip dari artikel NU Online berjudul Alasan Gus Dur Ubah Nama Irian Jaya Menjadi Papua.

Gus Dur kemudian mempersilakan siapa pun yang hadir pada malam itu untuk memberikan pendapat.

Gus Dur dan Gus Sholah
Gus Dur dan Gus Sholah (instagram @ipangwahid)

Semua pendapat, baik yang mendukung kemerdekaan Papua, hingga yang memuji pemerintah didengarkan oleh Gus Dur.

Setelah mendengarkan aspirasi masyarakat Papua, Gus Dur kemudian memutuskan untuk mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua.

Alasan Gus Dur, nama Irian memiliki makna yang jelek.

Sebab dalam bahasa Arab kata Irian berarti telanjang (Urryan).

Gus Dur juga beralasan bahwa dalam kebudayaan Jawa penggantian nama seorang anak dilakukan jika sang anak sakit-sakitan.

“Biasanya sih namanya Slamet. Tapi saya sekarang ganti Irian Jaya menjadi Papua,” kata Gus Dur saat itu.

Sebagaimana diketahui, Gus Dur percaya dialog adalah pendekatan paling tepat untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di Papua.

Duduk bersama, saling menghormati dan mau mendengar pendapat masing-masing, dianggapnya lebih cocok ketimbang angkat bedil, seperti yang terjadi dengan KKB Papua sekarang ini.

Sayangnya, upaya awal pendekatan kemanusiaan terhadap konflik ini tak berlanjut setelah masa kepresidenan Gus Dur berakhir.

Profil Gus Dur

Abdurrahman Wahid atau lebih terkenal dengan sebutan Gus Dur adalah salah satu tokoh bangsa yang jasanya dikenang hingga sekarang.

Pada Pemilu 1999, Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden ke-4 RI, menggantikan presiden sebelumnya, Bacharuddin Jusuf Habibie.

Gus Dur menduduki kursi orang nomor satu di Indonesia pada 20 Oktober 1999, didampingi Megawati Soekarno Putri sebagai wakil presiden.

Masa pemerintahannya tidak lama. Gus Dur menjabat sebagai Presiden Indonesia hingga 23 Juli 2001.

Setelah itu, masa pemerintahan Indonesia dipimpin oleh Megawati.

Pemerintahan Abdurrahman Wahid

Melansir situs resmi Kemendikbud, pria kelahiran Jombang, 7 September 1940 ini mengawali karir politiknya di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Pada masa pemerintahannya, Gus Dur dikenal sebagai Bapak Pluralisme.

Ia sangat menjunjung tinggi keberagaman di berbagai hal, terutama suku, agama, dan ras.

Saat memimpin Indonesia, Gus Dur mampu mendobrak diskriminasi warga Tionghoa.

Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan Tahun Baru Imlek pada 2000.

Saat itu, Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Larangan Kegiatan Perayaan Imlek.

Ia menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2001 pada 9 April 2001.

Dalam Kepres itu, ia meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif atau libur hanya bagi yang merayakannya.

Setahun setelahnya, Megawati Soekarno Putri menggantikan posisi Gus Dur.

Imlek menjadi hari libur nasional dimulai pada 2003.

Masa kecil Melansir situs NU, Gus Dur, mempunyai nama asli Abduraahman Addakhil.

Ia merupakan putra sulung dari KH Wahid Hasyim dan cucu dari KH Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU).

Sementara itu, dari pihak ibu, Gus Dur adalah cucu dari KH Bisri Sanuri, pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang Jawa Timur.

Gus Dur menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikarunia empat putri.

Mereka, yaitu Zannuba Ariffah Chafsoh Wahid alias Yenni Wahid, Alissa Qotrunnada Wahid, Anita Hayatunnufus Wahid, dan Inayah Wulandari Wahid.

Gus Dur mempelajari agama Islam sejak kecil.

Bahkan di usia 5 tahun, dirinya sudah bisa membaca Al-Qur'an.

Pendidikan dan karir

Setelah lulus dari sekolah dasar, Gus Dur menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Gowongan.

Pada saat yang sama, ia juga mengaji di Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta.

Selesai dari SMEP, Gus Dur melanjutkan ke Pondok Pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah selama dua tahun.

Lalu, dia menempuh studi ke Pondok Pesantren Tambak Beras di Jombang.

Gus Dur diberangkatkan untuk menunaikan ibadah haji ke tanah suci di usianya yang terbilang muda, saat berusia 22 tahun.

Setelah itu Gus Dur dikirim belajar ke Al-Azhar University, Kairo, Mesir, Fakultas Syari'ah (Kulliyah al-Syari'ah) dari tahun 1964 sampai 1966.

Ia melanjutkan ke Universitas Baghdad Irak, Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab pada 1966 hingga 1970.

Gus Dur juga sempat pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya di Universitas Leiden.

Namun ia merasa kecewa karena pendidikannya di Baghdad kurang diakui.

Dia pun berpindah ke Jerman dan Perancis sebelum kembali ke Indonesia pada 1971.

Gus Dur kembali ke Jakarta dan bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), organisasi yang terdiri dari kaum intelektual Muslim progresif dan sosial demokrat.

LP3ES mendirikan majalah Prisma, di mana Gus Dur menjadi salah satu kontributor utama, sering berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa.

Selanjutnya, Abdurrahman Wahid meneruskan karirnya sebagai jurnalis.

Ia menulis untuk Tempo dan Kompas.

Artikel-artikelnya diterima baik dan mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial.

Dengan popularitas intelektualnya, Gus Dur mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, membuatnya harus pulang pergi Jakarta-Jombang.

Pada 1974, Gus Dur mendapat pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren Tambakberas.

Satu tahun kemudian, ia menambah pekerjaannya menjadi Guru Kitab Al-Hikam.

Pada 1977, Gus Dur bergabung di Universitas Hasyim Asy’ari sebagai Dekan Fakultas Praktik dan Kepercayaan Islam.

Ia mengajar subyek tambahan seperti pedagogi, syariat Islam, dan misiologi.

Pada 1984, Gus Dur berkiprah di NU hingga menjabat Ketua Umum Tanfidziyah sampai tahun 2000 atau tiga periode.

Gus Dur meninggal dunia pada 30 Desember 2009 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Ia wafat di usia 69 tahun. (Tribunnews.com/Kompas.com/Mela Arnani)

Berita Terkait Lainnya Ada Di Sini

(*)

Artikel ini telah tayang di WartaKotalive.com dengan judul Cara Gus Dur Tangani Konflik Papua Dikenang, Ini yang Dilakukan KH Abdurrahman Wahid Semasa Hidupnya

Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved