Epidemiolog Minta Pemerintah dan Masyarakat Waspada Potensi Ledakan Covid-19
Juni 2021 ini termasuk Indonesia akan mengalami dan menjalani pandemi Covid-19 selama 1,5 tahun. virus penyebab Covid-19 ini masih terus menyebar
POS-KUPANG.COM |JAKARTA - Epidemiolog meminta kepada Pemerintah dan masyarakat untuk waspada terhadap potensi ledakan kasus penularan Covid-19 di Indonesia.
Menurut Epidemiolog asal Griffith University Australia Dicky Budiman menilai, 2021 masih akan menjadi tahun yang kritis untuk semua negara di dunia dalam menghadapi pandemi Covid-19.
"Juni 2021 ini termasuk Indonesia akan mengalami dan menjalani pandemi Covid-19 selama 1,5 tahun. Faktanya, virus penyebab Covid-19 ini masih terus menyebar dan perlahan membakar populasi.
Di Amerika dan Brasil misalnya, dan saat ini India menjadi episentrum yang kuat," jelas Dicky pada Kompas.com, Minggu (23/5/2021).
"Ini jadi satu fakta bahwa tahun 2021 bisa berpotensi menjadi tahun terburuk. Bukan hanya (pandemi Covid-19) selesai, tapi tahun terburuk," tegas Dicky.
Dicky menjelaskan tahun 2021 dapat berpotensi menjadi masa yang berat untuk negara di dunia termasuk Indonesia dalam menghadapi pandemi. Itu karena tahun ini, program vaksinasi sudah dilakukan yang bisa menurunkan tingkat kewaspadaan. Terima kasih telah membaca Kompas.com. Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu. Daftarkan email Apalagi, lanjut Dicky, program vaksinasi ternyata mengalami beberapa kendala.
"Memang banyak program vaksinasi tapi (tingkat) proteksinya tidak lebih dari 1 tahun, masalah stock vaksinasi di negara berkembang seperti Indonesia, dan berbagai kendala di pelaksanaan teknis vaksinasi itu sendiri," ungkap Dicky.
Maka dari itu, Dicky menuturkan bahwa program vaksinasi bukan menjadi solusi utama penyelesaian pandemi.
"Vaksin sekali lagi bukan solusi ajaib pandemi. Sejauh ini tidak ada pandemi yang selesai karena vaksin. Itu harus jadi penyadaran untuk kita, seperti Indonesia yang menempatkan vaksinasi sebagai ujung tombak (mengatasi pandemi) ini salah kaprah dan berbahaya," tegasnya.
Baca juga: Kadis Kesehatan NTT : Vaksin Covid-19 Lansia di NTT Lambat, 3 Bulan Capai 4 Persen
Baca juga: Kasus Covid-19 di Sumba Timur Tersebar di 10 Kecamatan
Dicky menduga ledakan kasus penyebaran Covid-19 di Indonesia akan terjadi tahun ini. Hal itu mungkin terjadi karena oleh dua hal, pertama tingkat positivity rate rata-rata berada di atas 10 persen selama 1,5 tahun pandemi Covid-19 berlangsung.
Kedua, kondisi penyebaran virus corona di Indonesia yang berada di tahap community transmision sesuai dengan status yang ditetapkan WHO sejak April 2020.
"Itu level yang menunjukan bahwa negara kita ini tidak bisa mendeteksi sebagian besar kasus infeksi dan tidak bisa menemukan sebagian besar klaster dan menyelesaikan itu. Hal itu akan menjadi bom waktu yang siap meledak," imbuhnya.
Pada Jumat (21/5/2021) Presiden Joko Widodo juga menyampaikan bahwa belum ada tanda-tanda pandemi Covid-19 akan segera berakhir. Dalam pernyataannya itu, Jokowi berpedoman pada penjelasan Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Gebreyesus yang menyebut tahun kedua pandemi Covid-19 berdampak lebih mematikan.
"Dokter Tedros Dirjen WHO menyampaikan bahwa pada tahun kedua pandemi dampaknya bisa jauh lebih mematikan dibanding tahun pertama. Perkembangan varian-varian baru virus Covid-19 menjadi tantangan tersendiri bagi dunia," sebut Jokowi saat berbicara dalam Global Health Summit 2021 yang ditayangkan di YouTube Sekretariat Presiden.
Presiden lantas mengutip pernyataan Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus yang menyatakan tahun kedua pandemi Covid-19 bisa berdampak jauh lebih mematikan.
"Dokter Tedros Dirjen WHO menyampaikan bahwa pada tahun kedua pandemi dampaknya bisa jauh lebih mematikan dibanding tahun pertama. Perkembangan varian-varian baru virus Covid-19 menjadi tantangan tersendiri bagi dunia," ungkap Jokowi.
Selain itu, kesenjangan global atas akses vaksin saat ini masih terjadi. Saat beberapa negara telah mulai memvaksinasi kelompok berisiko rendah, yaitu anak-anak dan usia belia, hanya 0,3 persen suplai vaksin untuk negara berpenghasilan rendah. Kesenjangan itu terlihat sangat nyata manakala 83 persen dosis vaksin global sudah diterima negara kaya.
"Sementara negara berkembang hanya terima 17 persen untuk 47 persen populasi dunia. Saya harus kembali mengingatkan kita semua bahwa kita hanya akan betul-betul pulih dan aman dari Covid-19 jika semua negara juga telah pulih," tegas Kepala Negara.
Saat ini tantangan akses vaksin yang adil dan merata bagi semua masih sangat berat untuk diwujudkan.
Tahun Kedua Bisa Lebih Mematikan...
Terlebih lagi, ada persoalan suplai, pendanaan vaksin, dan keengganan terhadap penggunaan vaksin di sejumlah negara. Oleh karena itu, Jokowi menyerukan agar dunia mengambil langkah jangka pendek, menengah, dan panjang terkait distribusi vaksinasi ini.
"Dalam jangka pendek, kita harus mendorong ini lebih kuat lagi dosis sharing melalui skema Covax facility. Ini merupakan bentuk solidaritas yang harus didorong dan dilipatgandakan, khususnya dalam mengatasi masalah rintangan suplai," jelasnya.
Dalam jangka menengah dan panjang, dunia harus melipatgandakan produksi vaksin untuk memenuhi kebutuhan global dan membangun ketahanan kesehatan. Dengan demikian, diperlukan peningkatan kapasitas produksi secara kolektif melalui alih teknologi dan investasi.
"Jika isu kapasitas produksi dan distribusi vaksin tidak segera ditangani, saya khawatir akan semakin lama kita dapat menyelesaikan pandemi. Tercapainya proyeksi pertumbuhan ekonomi yang positif sebagaimana yang disampaikan oleh berbagai institusi keuangan dunia akan sangat bergantung bagaimana kita secara bersama-sama bisa menangani pandemi ini," tambah mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
Ketua Bidang Perubahan Perilaku Satgas Penanganan Covid-19 Sonny Hari B Harmadi mengatakan, potensi terjadinya gelombang kedua penularan Covid-19 bisa terjadi. Dia menyebutkan, ada dua faktor yang mendukung potensi tersebut.
"Kemungkinan gelombang kedua itu bisa saja terjadi. Saat ini kenaikan kasus positif sudah mulai terjadi," ujar Sonny dalam talkshow daring bertajuk "Varian Baru Covid-19", Sabtu (22/5/2021).
Kenaikan itu, lanjut dia, terutama terjadi di Riau, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Sonny menuturkan, kontribusi kenaikan kasus Covid-19 terhadap pertambahan kasus covid 19 di Indonesia memang meningkat drastis.
"Ini yang kami kawatirkan, Ketua Satgas juga sudah sampaikan teori pingpong Covid-19 dari Jawa ke Sumatera, Sumatera ke Jawa dan seterusnya. Makanya kami melakukan berbagai upaya mitigasi agar apabila ada kenaikan, kita bisa menekan kenaikan itu semaksimal mungkin," jelasnya.
Faktor penyebab kedua, yakni tingkat kepatuhan protokol kesehatan di kalangan masyarakat memang turun pada hampir sebulan terakhir.
Di sisi lain, mobilitas masyarakat naik karena arus mudik, libur Idul Fitri, dan arus balik.
"Ini cenderung mendukung potensi kenaikan kasus," tegasnya. Sementara itu terkait sikap kepatuhan masyarakat ada dua hal yang juga memengaruhi. Keduanya, yakni pengetahuan masyarakat dan motivasi masyarakat. Sonny mengakui, motivasi masyarakat mematuhi protokol kesehatan masih naik-turun. Salah satu yang bisa menurunkan motivasi orang adalah adanya hoaks.
"Misalnya ada informasi soal orang kalau pakai masker terlalu lama itu mengurangi saturasi oksigen lalu itu berdampak kepada yang membaca informasinya," tutur Sonny. "Sehingga hoaks-hoaks semacam itu yang saat ini kita perangi," tambahnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pemerintah dan Masyarakat Diminta Waspadai Ledakan Kasus Covid-19", Editor : Krisiandi dan "Satgas Sebut Gelombang Kedua Covid-19 di Indonesia Berpotensi Terjadi, Ini Sebabnya", Editor : Sandro Gatra