Airlangga Hartarto Ternyata Cucu Pejuang Kemerdekaan Asal Sukabumi R.H. Didi Sukardi
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto merupakan salah satu menteri yang sangat sibuk saat ini, di tengah musibah pandemi Covid-19
Penulis: Gerardus Manyela | Editor: Kanis Jehola
POS-KUPANG.COM | JAKARTA -Menteri Koordinator Bidang Perekonomian ( Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto merupakan salah satu menteri yang sangat sibuk saat ini, di tengah musibah pandemi Covid-19.
Oleh Presiden Joko Widodo, Ketua Umum Partai Golkar ini dipercaya juga memikul jabatan sebagai Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN).
Sebelum mengemban amanah sebagai Ketua Umum Partai Golkar, Menko Perekonomian, dan Ketua KPC-PEN, Airlangga Hartarto pernah menjabat sebagai anggota DPR RI dua periode. Dan, pada periode pertama Presiden Jokowi, dia dipercaya sebagai Menteri Perindustrian.
Jabatan Menteri Perindustrian adalah jabatan ayahnya, Ir. Hartarto Sastrosoenarto pada masa era Presiden Soeharto. Hartarto Sastrosunarto, pernah menjabat sebagai Menteri Perindustrian pada Kabinet Pembangunan IV (1983-1988) dan Kabinet Pembangunan V (1988-1993) dan Menteri Koordinator bidang Produksi dan Distribusi pada Kabinet Pembangunan VI (1993-1998).
Baca juga: Tak Butuh Waktu Lama, Anies Baswedan Pengaruhi Sekjen PBB Soal Iklim Perkotaan: Pantas Jadi Presiden
Baca juga: Simak Ramalan Shio Besok 20 April 2021, Shio Macan Tuai Hasil Kerja Keras & Shio Ayam Ada Perubahan
Airlangga Hartarto lahir di Surabaya, 1 Oktober 1962 dari pasangan Hartarto Sastrosoenarto dan R. Hartini Soekardi. Meski lahir di Surabaya, dia meneruskan sekolah menengahnya di SMA Kolese Kanisius Jakarta. Dia dikenal sebagai pribadi yang aktif. Saat di SMA, dia menjadi ketua OSIS.
Airlangga adalah sosok yang sukses pada bidang pendidikan, dunia usaha, dan politik. Dia juga merupakan keturunan pejuang kemerdekaan.
Berdasarkan berita yang dioublikasikan partaigolkar.com dan diterima Harian Pagi Pos Kupang&Pos Kupang.Com, Senin (19/4/2021), Airlangga merupakan salah satu cucu dari tanah sunda seorang tokoh pejuang kemerdekaan asal Sukabumi Jawa Barat, yakni R.H. Didi Sukardi. Nama Didi Sukardi diabadikan menjadi nama sebuah jalan di Sukabumi.
Baca juga: Pemkab Malaka Serahkan Laporan Keuangan Unaudited TA 2020
Baca juga: PSHT Cabang Malaka Gelar Aksi Sosial Peduli Bencana di Malaka
Airlangga sendiri adalah putra dari R. Hartini Sukardi (putri Didi Sukardi) dan Hartarto Sastrosunarto. Masyarakat setempat menganggap bahwa Didi Sukardi adalah salah satu tokoh yang patut dihargai dengan melihat jasa-jasa beliau memperjuangan peningkatan taraf hidup rakyat Sukabumi.
Dia terus berusaha memajukan daerah Sukabumi dan terus memberikan kontribusi yang terbaik, serta memiliki keyakinan bahwa berjuang dan berkarya untuk mencapai hasil besar justru harus dimulai dari hal yang kecil.
Menurut artikel dari Dr. Yuda Benharry Tangkilisan yang berjudul "R.H. Didi Sukardi and The Negara Pasundan: A Nationalist In The Federal State During The Indonesia Revolution 1945-1949", kakek Airlangga itu merupakan salah satu tokoh yang berpengaruh terutama bagi Sukabumi.
Didi Sukardi merupakan tokoh masyarakat Sukabumi terutama saat masa revolusi fisik dalam mempertahankan kemerdekaan. Dia merupakan tokoh nasionalis di kancah negara federal. Ini dapat dilihat dari pemikiran nasionalistik yang terdapat dalam pidato-pidatonya.
Didi Sukardi sendiri awalnya seorang pengusaha perkebunan. Akhir tahun 1920, dia juga menjadi Dewan Kabupaten Sukabumi. Kemudian dia juga menjadi ketua cabang dari Paguyuban Pasundan.
Sebelum kedatangan Jepang, Didi Sukardi sempat menjadi pemimpin dari Partai Indonesia Raya dan juga Gabungan Partai Politik Indonesia (GAPI). Ketika zaman pendudukan Jepang, dia menjadi petugas penghubung dari Pembela Tanah Air (PETA).
Ketika proklamasi kemerdekaan, dia berada di Sukabumi. Dia kemudian menjadi anggota Komite Nasional Indonesia di Sukabumi. Komite ini memiliki kontribusi terhadap ide mengirim delegasi ke pemerintahan militer Jepang di Bogor.
Dia bernegosiasi dengan penguasa Jepang dari syuchokan tentang permintaan untuk transfer kekuasaan kepada republik baru. Jepang merespon permintaan dengan kebijakan mempertahankan status quo, yaitu hanya mengikuti perintah negara-negara sekutu. Akibatnya pecah pertempuran Bojongkokosan.