Prostitusi Anak Kos, Tarif Murah, Pelanggan Datang via Aplikasi, Tamu Banyak Remaja

Kini, kos-kosan bisa menjadi tempat transaksi esek-esek dengan model tetap menggunankan aplikasi sebagai sarana membangun komunukasi dan kesepakatan

Editor: Alfred Dama
Warta Kota/Budi Sam Law Malau
Foto Ilustrasi prostitusi di kos-kosan 

Prostitusi Anak Kos, Tarif Murah, Pelanggan Datang via Aplikasi, Tamu Banyak Remaja

POS KUPANG.COM -- Praktik prostitusi online saat ini tidak hanya terjadi di hotel saja.

Kini, kos-kosan bisa menjadi tempat transaksi esek-esek dengan model tetap menggunankan aplikasi sebagai sarana membangun komunukasi dan kesepakatan

Bisnis prostitusi ala anak kos terbongkar di Kota Depok, Jawa Barat

Faktor tarif murah meriah menjadi alasan para pelaku melakukan modusnya.

Dan ternyata pelanggannya banyak yang masih remaja, meski tak sedikit pekerja kantoran.

Adalah Leida, bukan nama sebenarnya, bersama dua temannnya patungan menyewa kontrakan dua kamar di bilangan Kelurahan Grogol , Kecamatan Limo

Nitha Tahalia Dikabarkan Sudah Menikah Lagi dengan Bule, Pengacara Suami Sang Biduan Sebut ini

Lagi Pesohor Ditangkap, Kali ini Jennifer Jill Ditangkap Polisi karena Narkoba Bareng Dua Temannya

Di sanalah mereka melayani tamunya. Tepatnya di salah satu kamar berukuran 4x4 meter.

Setahun menjalani bisnis prostitusi ini, gadis 18 tahun ini bercerita harus berbagi kamar dengan teman-temannya jika ada pelanggan datang.

Dalam obrolan dengan TribunJakarta.com pada Senin (16/2/2021) malam, tepat satu jam setelah melayani tamu Leida harus bergegas keluar kamar.

Apalagi jika sudah terdengar ketukan. Itu artinya satu dari dua temannya yang menunggu di luar sudah mendapatkan tamu dan akan menggunakan kamar yang sama.

"Buruan, pelanggan gue sudah datang nih. Jangan lama-lama," begitu ucapan yang selalu terdengar di antara mereka.

Keluar dari sana sudah menerima uang, Leida menawarkan pelanggannya untuk sekedar rehat untuk mengajaknya basa-basi, menyoal apa saja.

Kontrakan tempat Leida dan dua temannya yang menjalani bisnis serupa nyempil, terhimpit tembok tetangga kanan kirinya.

Leida bukan warga Depok asli. Gadis berambut sebahu, berkulit cokelat, berwajah tirus, setinggi kurang lebih 165 sentimeter ini perantau dari Riau

Saban kali selesai melayani satu tamunya, Leida harus mandi untuk menjemput tamu lain yang memakai jasanya.

"Baru setahun, diajak teman sih awalnya," cerita Leida.

Ia dan teman-temannya biasa menjaring pelanggan melalui aplikasi MiChat

Senyumnya mengembang, jika melihat pesan masuk di ponselnya. Artinya, dia dapat pelanggan baru.

Seperti sudah jadi ritual, ia bergegas ia berbenah merapikan penampilan.

Acapkali ada tamu baru, ia selalu memakai wangi-wangian di tubuhnya yang tinggi semampai.

Ia sudah membayangkan akan mendapat bayaran Rp 300 ribu untuk sekali kencan, setelah prosestawar menawar dengan pria itu deal.

ILUSTRASI Prostitusi online (Istimewa)
ILUSTRASI Prostitusi online (Istimewa) (via warta kota)

Baca juga: VIDEO Ruang Perawatan Infeksi Covid-19 di RSU Kota Tangsel Penuh

Kamar bercinta yang dipakai melayani tamu menyediakan dua kasur lipat, bantal dan guling.

Sejumlah alat rias, beberapa bungkus makanan dan remah-remahnya, berserakan di sudut lantai.

Sebuah kipas angin berukuran kecil, tak mampu menghilangkan hawa panas dari dalam ruangan tersebut.

Leida, seperti teman-temannya yang lain, punya sejumlah peraturan yang wajib ditaati pelanggan.

"Satu kali main ya, maksimal satu jam lah," kata Leida.

Sementara Leida menservis pelanggannya, dua wanita temannya menunggu di lorong.

Mereka juga menunggu pesan masuk dari tamu yang ingin mendapat layanan mereka.

Kebanyakan Remaja

Selama ini terjun di bisnis prostitusi, mayoritas pelanggan Leida dari kalangan remaja, hingga pekerja kantoran.

Beda orang beda kemauan. Pernah satu kali Leida melayani pelanggan yang memperlakukannya kasar dan banyak maunya. "Banyak minta ganti gaya,” keluh Leida.

Gadis 18 tahun ini mengaku, keretakan rumah tangga orang tuanya di Riau sedikit banyak membuatnya memilih profesi sebagai pekerja seks komersial.

"Orang tua sudah pisah, terus aku ngerantau. Kenalan sana-sini, ya sudah jadi tinggal di sini deh," kenang Leida.

Mudahnya mendapat rupiah, membuat Leida anteng melayani para pria hidung belang yang mencari kepuasan dari orang sepertinya.

"Lumayan kan, sehari bisa (melayani) empat sampai lima lah. Dikalikan saja tuh uangnya," ucap Leida.

Ia tak lagi memikirkan bangku pendidikan. Leida hanya tamatan sekolah menengah atas ini hanya berpikir, bagaimana bertahan hidup seorang diri tanpa kasih sayang keluarga.

"Tadinya sudah ngelamar kerja. Tapi gak pernah dipanggil. Lagian juga gajinya gak seberapa kan namanya juga lulusan SMA," kata dia.

Pelanggan berlalu, Leida kembali melirik ponselnya. Kini, ia siap kembali menebar umpan untuk calon pelanggan berikutnya.

Tak butuh waktu lama, Leida mendapat pelanggan baru. Ia langsung mengambil handuk dan menuju kamar mandi untuk bersih-bersih sebelum memberi servis.

Baca juga: Isyana Sarasvati Menangis Saat Peserta The Voice Kids Indonesia Mirip Arya Saloka Memilih Tim Isyana

Profesi Sampingan

Pengamat Sosial Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, mengatakan tidak ada hal baru yang mendorong seseorang terjun dalam dunia prostitusi.

“Dulu memang ekonomi lebih dominan ya. Nah, berdasarkan penelitian di Eropa 10 tahun lalu, di zaman digital ini siapapun bisa menjadi pelaku prostitusi,” tutur Devie kepada TribunJakarta.com.

Bedanya, kata Devie, dulu pekerja seks komersial full time menjalani profesinya. Saat ini di Eropa, menjadi pekerja seks hanya sampingan.

“Nah, orang itu bisa mandiri artinya ketika mereka ada kebutuhan uang mereka bisa mencari kebutuhan tambahan, jadi part time,” ungkap dia.

Menurut Devie, fenomena ini bisa terjadi juga terjadi Indonesia. Apalagi, bisnis prostitusi saat ini peluangnya semakin mudah dengan adanya teknologi.

“Di Eropa dan di sini sama ya. Media sosialnya sama, internetnya sama. Jadi tidak menutup kemungkinan (bisnis prostitusi bertahan, red),” terang dia.

Tak hanya prostitusi, perdagangan narkotika menjadikan teknologi sebagai pasarnya. Orang dengan mudah terhubung dengan pasar ini lewat teknologi tanpa diketahui identitasnya.

“Anonimitas. Teknologi memberikan fasilitas untuk mengaburkan identitas. Sehingga, pelaku prostitusi terbebas dari stigma negatif di masyarakat," kata Devie.

Masa lalu, dunia prostitusi menjadi momok masyarakat karena proses transaksikan offline. Masyarakat mudah mengenali pelakunya.

Akses internet telah memotong jalur ‘perdagangan’ orang langsung dari pelaku sendiri, ke target konsumen, tanpa perantara.

Kini, siapapun dapat memilih mempraktikkan bisnis bawah tanah ini secara mandiri, tanpa bantuan perantara.

Hal ini yang dalam konteks orang-orang Eropa, mendorong munculnya pelaku menjadikan prostitusi sebagai kerja sampingan atau paruh waktu.

"Mereka tidak menjadikan prostitusi sebagai profesi utama, tetapi, hanya sekedar tambahan pendapatan, bila dibutuhkan,” ucap Devie.

Sebagian Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Prostitusi Ala Anak Kos di Depok, Pelanggan Datang via Aplikasi, Tarif Murah, Tamu Banyak Remaja, https://wartakota.tribunnews.com/2021/02/17/prostitusi-ala-anak-kos-di-depok-pelanggan-datang-via-aplikasi-tarif-murah-tamu-banyak-remaja?page=all.

Sumber: Grid.ID
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved