Jual Aset kepada Debitur Bank NTT, SS Dituntut 18,5 Tahun Penjara
enam bulan penjara dan membayar ganti kerugian negara senilai Rp 60,6 miliar dalam satu bulan, subsider 14 tahun penjara.
Penulis: Paul Burin | Editor: Rosalina Woso
“Memang ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan fakta persidangan. Yang pertama, kalau ini dikatakan korupsi, maka kita harus membedah sumber dana dari Bank NTT itu bersumber dari saham atau bukan saham. Kalau sumber dana itu dari saham dan kreditnya macet dan menyebabkan penurunan saham, maka itu bisa masuk dalam ranah uang negara atau kerugian uang negara,” urainya.
Namun, dalam fakta persidangan, lanjutnya, terungkap bahwa kredit macet tidak mengakibatkan kerugian negara.
“Berdasarkan keterangan di persidangan, baik saksi dari bank itu sendiri, saksi lain maupun ahli, dikatakan bahwa bank itu menjalankan fungsi intermediasi yakni menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya ke masyarakat melalui kredit,” urainya.
Jadi dengan demikian, jelasnya, pihak debitur tidak menyentuh saham negara dalam hal ini Pemprov dan Pemkab/Pemkot se-NTT.
“Karena itu, ini sebenarnya bukan kerugian negara karena sahamnya itu dari pemerintah daerah tidak berkurang dari adanya kredit macet itu. Karena itu kami dalam sidang selama ini bertanya-tanya apa betul ini merugikan keuangan negara sehingga masuk dalam tipikor?” kritiknya.
Karena sesungguhnya, lanjut Melkianus Ndaomanu, dana kredit berasal dari masyarakat dan dikelola oleh bank.
“Itulah fungsi intermediasi oleh bank itu sendiri. Yang kedua, dalam fungsi intermediasi ini adalah hubungan hukum antara debitur dan kreditur terikat dengan perjanjian kredit,” paparnya.
Terkait dengan kliennya, Stefanus Sulayman, tegas Melkianus, tidak ada hubungan hukum dengan Bank NTT sebagai kreditur maupun debitur.
“Dia hanya sebagai penjual aset yang kebetulan dibeli oleh para debitur dan dijadikan jaminan. Pembayaran dari para debitur ini merupakan hak daripada Stefanus. Karena itu, dia tidak punya hubungan hukum dengan Bank NTT. Dia hanya punya hubungan hukum dengan para pembeli dalam hal ini lima debitur. Nah, itu posisi dari Stefanus dengan para debitur ini dalam kasus ini,” tandasnya.
Baca juga: Renungan Harian Katolik, Rabu 18 November 2020: Kesetiaan dan Tanggung Jawab
Baca juga: Tren Kasus Covid-19 Kota Kupang Meningkat,RS Siloam Tambah Tempat Tidur Untuk Ruang Isolasi
Melkianus mewanti-wanti jika kliennya diputuskan bersalah seperti amar tuntutan JPU maka akan menjadi preseden buruk bagi Bank NTT.
“Nah, kalau demikian halnya maka semua punya potensi bisa kena tipikor kalau tidak jelas hubungan hukumnya seperti ini. Jadi hati- hati kalau kasus ini terjadi, maka setiap orang (baik debitur maupun pihak ketiga, red) punya potensi diproses tipikor kalau kita tidak memetakkan posisi kasus sebenarnya. Saya kira itu saja tapi kami tetap mengormati hak JPU untuk menuntut,” ungkapnya. (Laporan Reporter Paul Burin/Advetorial)