Berita G30S PKI

LIMA Luka Tembak di Tubuh, Inilah Sosok Sutoyo Siswomiharjo, Perwira TNI yang Dibunuh Cakrawibawa!

Sutoyo Siswomiharjo menamatkan jenjang sekolah tertingginya di Algemeene Middelbare School (AMS), setingkat SMA, pada tahun 1942.

Editor: Benny Dasman
istimewa
PAHLAWAN Revolusi - Sutoyo Siswomiharjo 

POS KUPANG, COM -  Mayor Jenderal TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo adalah seorang perwira tinggi TNI-AD yang diculik dan kemudian dibunuh dalam peristiwa Gerakan 30 September di Indonesia.

Sutoyo Siswomiharjo lahir di Bagelen, Jawa Tengah, pada 22 Agustus 1922.

Sutoyo Siswomiharjo menamatkan jenjang sekolah tertingginya di Algemeene Middelbare School (AMS), setingkat SMA, pada tahun 1942.

Waktu ini bersamaan dengan berakhrnya masa pendudukan belanda di Indonesia.

Selanjutnya, Jepang menduduki Indonesia.

Pada awal masa pendudukan Jepang ini, Sutoyo Siswomiharjo bekerja sebagai pegawai di Kantor Kabupaten Purworejo.

Awalnya, ia berposisi sebagai pembantu bagian skretariat.

Lima bulan kemudian, ia ditugaskan untuk mengepalai satu di antara beberapa bagian di kantor tersebut.

Jabatan ini pun tidak diemban dalam waktu yang lama.

Beberapa waktu kemudian ia dipindahkan menjadi Panitera Bupati.

 Di waktu yang sama, jepang membutuhkan tenaga terdidik untuk menjalankan administrasi pemerintahaan.

Oleh karena itu Jepang membuka kesempatan bagi pemuda Indonesai untuk mengikuti sebuah pendidikan.

Kesempatan itu tida disia-siakan oleh Sutoyo Siswomiharjo.

Ia mengikuti program pendidikan di Kenkoku Gakuin, atau Balai Pendidikan Tinggi, di Jakarta.

Menamatkan pendidikan ini, Sutoyo Siswomiharjo diangkat menjadi pegawai menengah dan kembali ditugaskan di Kantor Kabupaten Purworejo.

Karena prestasi pekerjaan yang baik, selanjutnya ia diserahi jabatan Santo Syoki.

Jabatan ini sekaligus menjadi jabatan terakhir yang diemban selama masa pendudukan jepang.

Sutoyo Siswomiharjo meminta berhenti dengan hormat pada 31 Maret 1944.

Pada pagi hari sekitar pukul 03.00 WIB, 1 Oktober 1965, Komandan Satuan Tugas (Satgas) Pasopati, Letnan (Inf) Doel Arif membentuk tujuh pasukan dari Satgas Pasopati di Lubang Buaya untuk menculik ketujuh jenderal.

Satu di antara tim yang dibentuk, bertugas khusus untuk menculik Sutoyo Siswomihardjo.

Pasukan yang ditugaskan untuk menculik Sutoyo Siswomihardjo dipimpin oleh Sersan Mayor Surono.

Sersan Mayor Surono memimpin satu peleton dari Resimen Tjakrabirawa.

Karier

Ketika Soekarno memproklamasikan kemerdekaan, Sutoyo Siswomiharjo masih berada di Purworejo.

Kemudian ia turut bergabung dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dibentuk pemerintah pada 23 Agustus 1945.

Pada 5 Oktober 1945, terbentuk tentara Keamanan Rakyat atau TKR.

BKR kemudian ditrasnformasi ke dalma TKR.

Karenanya, Sutoyo Siswomiharjo turut menjadi bagian dari TKR dan memilih bagian Polisi Tentara.

Pada waktu itu, ia berpangkat Letnan Dua.

Pada Januari 1946, pangkatnya dinaikkan menjadi Letnan Satu dan ditunjuk sebagai Ajudan Komandan Divisi V, Kolonel Gatot Subroto.

* Terungkap Soeharto Abaikan Informasi G30S PKI Akan Bunuh Para Jenderal TNI, Ini Kisah Kolonel Latief

Sebentar lagi Indonesia akan memperingati tragedi berdarah Gerakan 30 September atau yang lebih dikenal dengan sebutan G30S PKI.

Banyak nyawa melayang pada hari itu, termasuk sejumlah Jenderal TNI.

Peristiwa G30S PKI merupakan kisah kelam pada malam 30 September sampai 1 Oktober 1965.

Peristiwa yang terjadi semalam itu menorehkan perjalanan sejarah bagi bangsa Indonesia.

Beberapa saat sebelum peristiwa itu terjadi, gerakan yang berencana menumpas para jenderal itu sudah tercium oleh beberapa perwira TNI.

Salah satunya Kolonel Latief yang saat itu menjabat Komandan Brigade Infanteri I Kodam V Jaya.

Kolonel Latief yang mendapat bocoran tentang rencana itu, kemudian bertermu Panglima Kostrad atau Pangkostrad yang saat itu dijabat oleh Soeharto.

Soehato dalam buku "Siapa Sebenarnya Soeharto: Fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G30S/PKI" karya Eros Djarot, mengungkapkan kesaksiannya soal peristiwa ini.

Dikutip dari berbagai sumber termasuk arsip berita Tribunnews.com, Kolenel A Latief dikenal sebagai anak buah dan sejawat Soeharto kala itu.

Ketika diwawancarai Der Spiegel pada 19 Juni 1970, Soeharto menyatakan ia memang ditemui Latief di RSPAD, beberapa jam sebelum kejadian G30S PKI terjadi.

Meski bertemu, Soeharto menegaskan bahwa Latief tak memberikan informasi apapun.

Lalu, kesaksian yang diceritakan Soehato kepada Der Spiegel tersebut berubah.

Pada bukunya yang berjudul "Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya", Soeharto mengutarakan jika ia hanya melihat Latief dari kejauhan dan tak ada interaksi yang terjadi malam itu.

Meski demikian, Kolonel Latief mengungkapkan kisahnya sebelum terjadinya peristiwa G30S PKI.

Latief mengungkapkan, dua hari jelang peristiwa itu, ia menemui Soeharto di kediamannya, Jalan Agus Salim, Jakarta Pusat.

Dalam pertemuan itu keduanya membicarakan keadaan keluarga masing-masing.

Hingga kemudian, Latief memberi tahu Soeharto jika akan ada suatu gerakan yang akan membunuh para jenderal TNI AD.

Latief pun mengaku masih ingat kejadian tersebut.

"Saya masih ingat kejadian itu, karena saat itu putra bungsu Soeharto, yang masih berusia tiga tahun, menderita luka cukup serius akibat tersiram sop panas," tutur Kolonel Latief.

Lalu, Soeharto, kata Letief, tak melakukan tindakan apa-apa terkait informasi yang ia sampaikan itu.

Karena laporan itu tak digubris Soeharto, Latief pun kembali menemui Soeharto yang berada di RSPAD Gatot Subroto.

Kala itu, Soeharto sedang menunggui Hutomo Mandala Putra yang menjalani pengobatan karena tersiram sop panas.

Menurt Latief, laporannya terkait peristiwa itu tak digubris lagi oleh Soeharto.

Hingga kemudian peristiwa tersebut benar-benar terjadi.

Latief yang ketika itu menjabat sebagai Komandan Brigade Infanteri I Kodam V Jaya datang melapor kepada Soeharto, mengapa Soeharto selaku Panglima Kostrad tidak menggagalkan peristiwa yang berbuntut pada penggulingan Sukarno selaku presiden setelah mendapat laporannya.

"Siapa sebenarnya yang melakukan coup d'etat pada 1 Oktober 1965: G30S ataukah Jenderal Soeharto", ungkap Latief di pengantar bukunya Pledoi Kol. A. Latief: Soeharto Terlibat G 30 S.

Kemudian, Latief menjadi tahanan politik karena tuduhan terlibat G30S, sejak tanggal 11 Oktober 1965.

Ia kemudian diadili tahun 1978 dan dibebaskan dari tahanan tanggal 6 Desember 1998 oleh pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden BJ Habibie.

Kolonel Abdul Latief meninggal dunia pada pukul 06.30 WIB pada Rabu (6/4/2005) akibat sakit paru-paru.

* TERUNGKAP Keberadaan Mayor Jenderal Soeharto di Malam Kudeta G30S/PKI 30 September, Temui Siapa?

Sejumlah perwira tinggi militer menjadi korban dalam peristiwa G30S/PKI atau Gerakan 30 September.

Mereka dibunuh, lalu mayatnya dibuang ke sumur di lubang buaya.

Sejumlah korban G30S tersebut kini dikenal juga sebagai Pahlawan Revolusi.

G30S disebut-sebut sebagai upaya kudeta dari PKI.

Kendati demikian, perdebatan mengenai siapa dalang di balik peristiwa kelam tersebut masih terjadi hingga saat ini.

Mayor Jenderal Soeharto yang kala itu menjabat sebagai Panglima Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat) disebut-sebut sebagai salah satu tokoh sentral dalam penumpasan PKI.

Namun, pada akhirnya tak sedikit juga yang bertanya-tanya, ada di mana keberadaan Soeharto saat malam jahanam G30S?

Pertanyaan itu dijawab dalam buku otobiografi Ibu Tien Soeharto berjudul "Siti Hartinah Soeharto Ibu Utama Indonesia."

Rupanya, pada 30 September 1965 pukul 21.00 WIB, Soeharto sempat bersama istrinya di Rumah Sakit Gatot Subroto.

Saat itu, Tommy, putra dari Soeharto dan Ibu Tien, harus dirawat di rumah sakit tersebut.

Dikisahkan dalam buku itu, Ibu Tien sempat berkumpul di markas Persit.

Saat itu, pertemuannya adalah mendengarkan penjelasan dari Menteri/Panglima AD Achmad Yani.

"Pak Yani dalam pertemuan tersebut menjelaskan situasi politik pada waktu itu yang makin gawat," kenangnya seperti terungkap dalam buku otobiografinya.

Ibu Tien mengatakan, sepanjang menjadi seorang istri prajurit, baru kali itulah dia diberi tahu hal-hal yang sifatnya rahasia.

Setelah mengikuti acara tersebut, dia pun pulang ke rumahnya di Jalan H Agus Salim.

Sesampainya di rumah, anak-anaknya meminta dibuatkan sup kaldu tulang sapi.

Ibu Tien akhirnya membuatkannya.

Namun, ketika dirinya sedang membawa panci berisi sup panas yang hendak ditaruh di ruang makan, Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto yang sengaja menyenggol tangan ibunya.

Sup itu akhirnya tumpah dan mengguyur Tommy.

"Air sup tumpah dan mengguyur sekujur tubuhnya. Kulitnya terbakar dan melepuh-lepuh. Saya ingat pelajaran PPPK di Kostrad, kalau luka bakar obatnya leverstraan salf. Kebetulan ada persediaan di rumah. Maka obat itulah yang saya oleskan ke kulitnya," kata Ibu Tien.

Tommy pun dibawa ke RS Gatot Subroto untuk dirawat.

Bersama Ibu Tien, Soeharto sempat menunggui anaknya di rumah sakit.

Namun, sekitar pukul 00.00, Ibu Tien meminta Soeharto agar segera pulang ke rumah.

Pasalnya, Mamiek, putri bungsu Soeharto yang masih berusia satu tahun sedang sendirian di rumah.

"Kira-kira pukul 10 malam saya sempat menyaksikan Kol Latief berjalan di depan zal tempat Tomy dirawat. Kira-kira pukul 12 seperempat tengah malam saya disuruh oleh istri saya cepat pulang ke rumah di Jl H Agus Salim karena ingat Mamik, anak perempuan kami yang bungsu yang baru setahun umurnya. Saya pun meninggalkan Tommy, dan ibunya tetap menungguinya di RS," kenang Soeharto.  (TribunJabar.id)

Bung Karno diapit dua jenderal Angkatan Darat, AH Nasution (kiri) dan Soeharto. Ketiganya tertawa lebar saat bertemu di Istana Merdeka, Jakarta, tahun 1966. (kompas.com)
Keesokan harinya, 1 Oktober 1965

Suasana di Jl H Agus Salim, kediaman Soeharto masih terlihat sepi.

Tiba-tiba seorang pria bernama Hamid mengetuk rumah Soeharto yang kebetulan menjadi Ketua RT.

Hamid adalah seorang juru kamera. Ia mengaku baru saja mengambil gambar tembak-tembakan yang terjadi di sejumlah tempat.

Tak lama kemudian datang Mashuri SH, tetangga Soeharto.

Kepada Soeharto, Mashuri mengaku mendengar suara tembakan.

Soeharto pun mulai bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi.

Di tengah tanda tanya itu, muncul Broto Kusmardjo.

Lelaki itu mengabarkan bahwa telah terjadi penculikan terhadap sejumlah jenderal.

Sekitar pukul 06.00 Letkol Soedjiman datang ke rumah Soeharto.

Lelaki itu mengaku diutus Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah, Panglima Kodam V Jaya.

Kepada Soeharto, Soedjiman memberi tahu bahwa ada konsentrasi pasukan di sekitar Monas.

Mendengar cerita itu, Soeharto bergegas mengenakan pakaian loreng lengkap, bersenjata pistol, pet dan sepatu.

Sebelum berangkat ke markasnya, Soeharto berpesan kepada Soedjiman.

"Segera kembali saja lah dan laporkan kepada Pak Umar saya akan cepat datang ke Kostrad dan untuk sementara mengambil pimpinan Komando Angkatan Darat," katanya.

Tak lama kemudian, Soeharto terlihat berjalan menuju Jeep Toyota, kendaraan dinasnya.

Tanpa seorang pengawal, Soeharto tancap gas menuju Markas Kostrad di Jl Merdeka Timur.

Ketika itu, Soeharto melihat suasana di ibu kota berjalan seperti biasa.

Sepertinya tak ada tanda-tanda telah terjadi sesuatu.

Lalu lalang manusia dan arus kendaraan terlihat seperti biasanya.

Begitu juga becak-becak yang biasa mangkal di ujung kampung.

Radio Republik Indonesia (RRI) juga terlambat menyiarkan tragedi pekat nan menyayat hati seluruh rakyat Indonesia.

Padahal, biasanya RRI sudah mengudara pukul 07.00 pagi.

Herannya, hingga pukul 07.00 pagi RRI tak juga bercuap-cuap.

Begitu juga ketika Soeharto memasuki markasnya, tak ada tanda-tanda bahwa telah terjadi aksi penculikan dan pembunuhan secara keji.

Justru, Soeharto hanya mendapatkan laporan dari petugas piket yang mengatakan bahwa orang terpenting Bung Karno tidak jadi ke Istana, tetapi langsung ke Halim.

Di Istana Presiden juga terlihat melompong.

Soekarno ketika itu sedang tidak ada di tempat.

Padahal, Jumat 30 September Bung Karno sempat tampil di depan peserta Munas Tehnik di Istora Senayan.

Setelah itu Bung Karno tak kembali ke Istana, melainkan memilih tinggal di Wisma Yaso. (Wartakota)

Artikel ini telah tayang di tribunjabar.id dengan judul Keberadaan Soeharto Saat Malam Jahanam G30S/PKI, Ternyata Sempat Berada di Rumah Sakit, Sedang Apa?, https://jabar.tribunnews.com/2020/09/26/keberadaan-soeharto-saat-malam-jahanam-g30spki-ternyata-sempat-berada-di-rumah-sakit-sedang-apa?page=all

Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Kisah Kolonel Latief Dapat Bocoran G30S PKI Akan Membunuh Para Jenderal TNI, tapi Diabaikan Soeharto, https://aceh.tribunnews.com/2020/09/28/kisah-kolonel-latief-dapat-bocoran-g30s-pki-akan-membunuh-para-jenderal-tni-tapi-diabaikan-soeharto?page=all

Artikel ini telah tayang di https://manado.tribunnews.com/2020/09/27/sosok-sutoyo-siswomiharjo-perwira-tni-yang-dibunu h-pasukan-cakrawibawa-5-luka-tembak-di-tubuh?page=4

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved