Luncurkan Buku di Ulang Tahun ke 38, Langkah Awal Unwira Kembangkan Penelitian dan Publisitas

Perjalanan Universitas Katolik Widya Mandira Kupang ( Unwira Kupang) hingga memasuki usia ke 38 ditandai dengan diluncurkannya sebuah buku

Editor: Kanis Jehola
POS-KUPANG.COM/MICHAELLA UZURASI
Peluncuran Buku "Etnomedisin : Pengobatan Tradisional Penyakit Malaria Masyarakat di Timor Barat" dalam Dies Natalis Unwira ke-38, Jumat (25/09/2020) 

POS-KUPANG.COM | KUPANG - Perjalanan Universitas Katolik Widya Mandira Kupang ( Unwira Kupang) hingga memasuki usia ke 38 ditandai dengan diluncurkannya sebuah buku berjudul "Etnomedisin :Pengobatan Tradisional Penyakit Malaria Masyarakat Tetun di Timor Barat" karya salah satu dosen yang menerbitkan hasil penelitiannya.

Dalam rangkaian acara Dies Natalis Unwira ke 38, penulis buku "Etnomedisin : Pengobatan Tradisional Penyakit Malaria Masyarakat Tetun di Timor Barat" Dr. Maximus M. Taek memaparkan beberapa hal yang menjadi daya tarik buku ini.

Kabar Gembira! 6 Pasien Covid-19 di Manggarai Dinyatakan Sembuh Total 10

Salah satu diantaranya adalah Konsep Sakit - Sehat Orang Tetun. "Yang namanya sehat itu adalah bisa jalan, bisa makan, bisa kerja tanpa rasa pusing dan lain - lain itu adalah sehat sedangkan sakit adalah kebalikan dari itu" jelas Maximus.

Padahal, lanjut dia, berhubungan dengan penyakit malaria secara medis, kalau masih ada plasmodium dalam tubuh maka dikatakan sakit walaupun kita tidak menunjukkan ada keluhan klinis.

"Orang kita (Timor) parasitemianya 10 persen masih bisa main bola kalau di Jawa 10 persen itu sudah dipanggil almarhum" tukasnya.

Peran Ganda Perempuan dalam Masa Pandemi

Setelah melakukan serangkaian pengamatan dan penelitian, Maximus akhirnya menyimpulkan, bahwa ternyata kultur masyarakat berpengaruh terhadap keberhasilan program - program kesehatan baik skala nasional maupun internasional.

"Mulai dari budaya filosofi sampai praktek, orang Tetun punya konsep sakit yang sangat berbeda dengan WHO, karena itu jangan heran bahwa banyak sekali tenaga kesehatan itu yang selalu mengeluh. Ini orang ini kita kasih obat suruh minum sampai habis tidak kasih habis. Karena konsep sehat sakitnya memang berbeda" urainya.

Etnomedisin sendiri, kata Maximus, sering disebut pengobatan tradisional, ada juga yang menyebut pengobatan primitif.

Rektor Unwira Kupang, Pater Drs. Philipus Tule, SVD., Lic. Isl., Ph.D, sebagai pimpinan menyampaikan proficiat untuk Dr. Maximus Taek yang telah melakukan riset dan mempublikasi hasilnya dalam bentuk buku berjudul "Etnomedisin: Pengobatan Tradisional Penyakit Malaria Masyarakat Tetun di Timor Barat" (Unwira Press, 2020).

"Kami menyampaikan penghargaan yang tinggi atas karya akademis dan komitmennya mengeksplorasi pengetahuan tentang tumbuhan obat dan kearifan lokal (local knowledge) yang dimanfaatkan dalam hidup sehari-hari" kata Pater Philipus.

Secara akademis, lanjutnya, publikasi ini tentu bertujuan utama memperkaya ilmu antropologi medis dan pengetahuan umum tentang etnofarmakologi, ramuan obat tradisional, yang diharapkan menyembuhkan berbagai penyakit paling dominan diantara masyarakat Tetun khususnya dan NTT umumnya, antara lain malaria.

Selain itu, publikasi ini merupakan dukungan bagi lembaga Unika Widya Mandira yang merayakan Dies Natalis ke-38 dan sedang merintis pembukaan Program Studi Antropologi jelang menapaki usia Pancawindu atau 40 tahun pada tahun 2022.

Masyarakat Tetun, sebagaimana halnya semua suku bangsa di dunia memiliki khasanah budaya yang unik, dengan aneka ragam kearifan lokal, termasuk pemanfaatan banyak ekstrak tumbuhan lokal untuk pengembangan obat tradisional dan obat modern.

Publikasi ini akan memperkaya kajian antropologi medis sebagai satu sub-bidang ilmu antropologi yang dikembangkan diatas basis antropologi sosial, kultural, biologis, linguistik agar lebih memahami berbagai faktor yang mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, penyakit dan penyebarannya, pencegahan dan pengobatannya, relasi sosial dalam manajemen dan terapi serta usaha penyembuhan dengan memanfaatkan aneka sistem medis berbasis kearifan lokal.

Di Indonesia, kata Pater Philipus, Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) baru dirintis oleh Prof Dr. Koentjaraningrat pada tanggal 12 Maret 1983.

Sebagai satu organisasi, AAI bertujuan mengembangkan minat para antropolog profesional, mendiseminasi pengetahuan antropologis dan pemanfaatannya demi menjawabi masalah kemanusiaan, mempromosikan kebhinekaan dan kekayaan antropologis, menghimpun para antropolog dari berbagai sub-bidang spesialisasi dalam jejaring lintas spesialisasi.

Sumber: Pos Kupang
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved