Media Sosial

Warga Australia Terancam Tidak Bisa Berbagi Konten Berita di Facebook dan Instagram, Ini Masalahnya

Kalau di Indonesia warga atau content creator terancam tidak bisa membuat live streaming di media sosial seperti Facebook, Instragram dan Youtube

Editor: Agustinus Sape
wyzowl
Kalau di Indonesia Facebook Live terancam dilarang, maka di Australia warga terancam dilarang berbagi berita di Facebook dan Instagram 

Warga Australia Terancam Tidak Bisa Berbagi Konten Berita di Facebook dan Instagram, Ini Masalahnya

POS-KUPANG.COM - Kalau di Indonesia warga atau content creator terancam tidak bisa membuat live streaming di media sosial seperti Facebook, Instragram dan Youtube, maka di Australia lebih ekstrem lagi.

Warga Australia terancam dilarang membagikan berita di Facebook dan Instagram seandainya kebijakan yang mengatur bagaimana perusahaan media berurusan dengan perusahaan teknologi besar disahkan secara hukum.

Ancaman ini dikeluarkan oleh Facebook dipicu oleh adanya pengajuan aturan yang memaksa Facebook dan Google untuk membayarkan uang kepada perusahaan media Australia karena telah memuat konten mereka.

Bulan Juli lalu, Facebook dan Google telah diminta untuk membayar kepada media tradisional jika mereka memuat konten-konten yang diproduksi media, seperti di Google News.

"Seandainya pengajuan itu sah secara hukum, kami terpaksa menarik izin bagi warga Australia untuk menyebarkan berita lokal dan internasional di Facebook dan Instagram," kata direktur pengelola Facebook Australia dan Selandia Baru, Will Easton.

"Ini bukan pilihan pertama kami, melainkan yang terakhir," katanya lagi.

ALARAM Facebook Live, Instagram Live, dan YouTube Live Terancam Dilarang di Indonesia, Ini Alasannya

Menurutnya, keputusan tersebut merupakan "satu-satunya cara untuk menghindar dari tindakan yang tidak sejalan dengan logika dan merugikan, bukannya menolong sektor berita dan media Australia."

Will menuduh Komisi Persaingan dan Pelanggan Australia (ACCC), badan yang mengeluarkan rancangan tersebut, telah mengabaikan peran media sosial dalam mempromosikan jurnalistik.

Menurut pernyataannya, di lima bulan pertama tahun 2020, pengguna media sosial telah mengklik dan membagikan konten berita sebanyak 2,3 miliar kali.

Dari aktivitas tersebut, perusahaan media sosial, seperti Facebook sendiri, seharusnya bisa menerima bayaran sebesar $200 juta dari organisasi media Australia.

"Ketika menyusun aturan ini, komisi yang mengawal prosesnya mengabaikan fakta penting, yaitu hubungan antara media pemberitaan dan media sosial, yang sifatnya menguntungkan kedua belah pihak," kata Will.

"Berita hanya merupakan sebagian kecil dari banyaknya hal yang muncul di 'News Feed' Facebook dan bukan penghasil pendapatan yang signifikan bagi kami."

Saat ini Facebook masih mempertimbangkan bagaimana larangan berita tersebut akan diberlakukan.

Facebook juga telah memperbaharui 'terms of service', atau persyaratan layanan, yang efektif berlaku bulan depan.

Perubahan ini telah memberikan Facebook hak untuk memblokir informasi yang dapat menimbulkan 'regulatory impacts', atau sejumlah dampak yang disebutkan di persyaratan layanan.

"Kami juga dapat menghapus atau memperketat akses terhadap konten, layanan, atau informasi jika anggap diperlukan, terutama untuk menghindari atau mengantisipasi dampak hukum atau lainnya kepada Facebook."

Facebook 'kaku' dan 'salah paham'

Menanggapi hal ini, Menteri Keuangan Australia, Josh Frydenberg menuduh Facebook telah mengeluarkan "ancaman yang kaku" demi mendapatkan apa yang diinginkan.

"Australia mengeluarkan hukum untuk kepentingan nasional. Kami tidak merespons pada koersi atau ancaman kaku dari manapun asalnya," kata dia.

"Pembaruan platform digital kami adalah salah satu yang terbaik di dunia dan telah didasarkan pada penyelidikan 18 bulan yang dilakukan ACCC," katanya.

"Pembaruan ini akan membantu menciptakan lanskap media yang berkelanjutan karena menerima pembayaran atas konten asli."

Reaksi yang sama juga diberikan Menteri Komunikasi Australia, Paul Fletcher, yang mengatakan reaksi semua pihak akan dipertimbangkan sementara rancangan aturan masih dikembangkan.

Bendahara Negara Josh Frydenberg mengatakan Facebook telah mengeluarkan reaksi 'kaku' demi mendapatkan yang diinginkan.
Bendahara Negara Josh Frydenberg mengatakan Facebook telah mengeluarkan reaksi 'kaku' demi mendapatkan yang diinginkan. (ABC News: Luke Stephenson)

Dalam pernyataannya, komisi persaingan di Australia menyebut tindakan Facebook sebagai "bentuk kesalahpahaman".

Ia juga berargumen selama ini warga Australia mengandalkan media sosial tersebut untuk mendapatkan berita terbaru.

"Ancaman Facebook untuk melarang pembagian berita di Australia sangatlah tidak pada tempatnya dan [adalah bentuk] kesalahpahaman," bunyi pernyataannya.

"Rancangan kode operasi media dibuat untuk memastikan bisnis berita Australia, baik independen, komunitas, dan media regional, mendapatkan tempat untuk bernegosiasi secara adil dengan Facebook dan Google."

Catatan komisi persaingan di Australia menyatakan berdasarkan Laporan Berita Digital 'University of Canberra' tahun 2020, 39 persen warga Australia menggunakan Facebook untuk mengakses berita umum dan 49 persen menggunakannya untuk memperoleh berita tentang Covid-19.

Di Indonesia

Sementara itu, pengguna media sosial di Indonesia terancam tidak bisa melakukan siaran live di platform digital mana pun jika tidak memiliki izin sebagai lembaga penyiaran.

Hal tersebut berkaitan dengan gugatan uji materi UU Nomor 32 Tahun 2020 tentang Penyiaran.

RCTI dan iNews TV yang mengajukan uji materi tersebut, meminta siaran melalui internet turut diatur dalam Undang-undang Penyiaran.

Melansir Kompas.com, pengamat kebijakan publik, Riant Nugroho, mengatakan jika gugatan tersebut dikabulkan,  Indonesia akan menghadapi tekanan besar dan dikucilkan di mata internasional.

Menurut Riant, revolusi digital sudah menjadi barang pasti dan akan berimbas pada industri konvensional, salah satunya adalah televisi.

Apabila gugatan tersebut dikabulkan, perubahan UU Penyiaran hanya akan berdampak positif pada pelaku bisnis penyiaran.

Sementara platform digital, menurut Riant, menjadi sebuah instrumen ekspansi global dari sebuah negara.

Contohnya adalah Amerika Serikat yang memiliki Google dan Facebook, kemudian China yang memiliki Tencent.

"Jika (perubahan UU) dieksekusi, Indonesia akan menghadapi tantangan internasional. Karena yang dihadapi bukanlah Google atau Facebook saja, tetapi pihak yang ada di balik mereka," kata Riant kepada KompasTekno, Jumat (28/8/2020).

Ia melanjutkan, pelaku penyiaran konvensional seharusnya memiliki cara agar lebih inovatif menghadapi perubahan digital.

Permintaan mengubah UU Penyiaran akan membuat regulasi tersebut menjadi terlihat kedaluwarsa secara peradaban.

"Apabila direspons, kebijakan kita akan jadi usang. Pemerintah bisa dianggap membuat kebijakan yang diatur oleh vendor," pungkas Riant.

Seperti diketahui, layanan live, seperti Instagram Live, Facebook Live, dan YouTube Live sangat populer di Indonesia. Selain itu, ada juga layanan live gaming, seperti Twitch dan Nimo TV.

Penggunaan layanan-layanan ini sangat meningkat pada masa pandemi ini.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), sebelumnya mengatakan, usulan tersebut akan mengubah tatanan industri penyiaran dan mengubah keseluruhan UU Penyiaran.

"Perluasan definisi penyiaran akan mengklasifikasikan kegiatan seperti Instagram TV, Instagram Live, Facebook Live, Youtube Live, dan penyaluran konten audio visual lainnya dalam platform media sosial diharuskan menjadi lembaga penyiaran yang wajib berizin," ujar Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kominfo Ahmad M Ramli secara virtual dalam sidang lanjutan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Rabu (26/8/2020), seperti dihimpun KompasTekno dari Antara.

"Artinya, kami harus menutup mereka (Google, Facebook, dkk) kalau mereka tidak mengajukan izin," imbuh Ramli.

Itu artinya, perorangan atau badan usaha yang tidak memenuhi persyaratan perizinan penyiaran akan menjadi pelaku penyiaran ilegal dan harus ditertibkan oleh aparat penegak hukum karena melakukan penyiaran tanpa izin.

Ramli mengatakan, layanan OTT beragam dan luas, sehingga aturannya cukup kompleks dan tidak hanya dalam satu aturan.

Termasuk para pembuat konten siaran lintas batas negara yang tidak mungkin terjangkau dengan hukum Indonesia.

"Mengatur layanan OTT secara ketat juga akan menghadapi tantangan hukum dalam penegakannya karena mayoritas penyedia layanan OTT saat ini berasal dari yurisdiksi di luar Indonesia," ujar Ramli.

Lebih lanjut, Ramli mengatakan bahwa kemajuan teknologi memang menyebabkan terjadinya konvergensi antara telekomunikasi dan media penyiaran. 

Ramli juga mengatakan, layanan OTT di Indonesia terus berkembang dan akan menghambat laju ekonomi kreatif dan ekonomi digital apabila gugatan dikabulkan.

Diketahui, uji materi ini diajukan oleh RCTI dan iNews TV. Dua perusahaan media tersebut menyebutkan bahwa pengaturan penyiaran berbasis internet dalam Pasal 1 ayat 2 UU Nomor 32 Tahun 2020 tentang Penyiaran itu ambigu dan menyebabkan ketidakpastian hukum.

RCTI dan iNews TV meminta agar penyedia layanan siaran melalui internet turut diatur dalam undang-undang penyiaran. Ramli juga menjelaskan, hingga saat ini tidak ada negara yang mengatur layanan audio visual OTT melalui internet, yang mengklasifikasikannya sebagai penyiaran.

OTT diatur dalam undang-undang terpisah dengan penyiaran yang linear. Ramli pun menyarankan agar ada undang-undang baru yang dibuat DPR dan pemerintah untuk mengatur layanan siaran melalui internet.

Sebagian berita ini diproduksi ABC News Indonesia

NONTON JUGA VIDEO TERKAIT BERIKUT: 

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved