Harta Jaksa Pinangki yang Terlibat Kasus Djoko Tjandra Jadi Sorotan Dikaitkan dengan Gaji Bulanannya
Kasus foto bareng Jaksa Pinangki ini berujung pada pencopotan dari jabatannya sebagai Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencana
Harta Jaksa Pinangki yang Terlibat Kasus Djoko Tjandra Jadi Sorotan Dikaitkan dengan Gaji Bulanannya
POS-KUPANG.COM, JAKARTA - Foto Pinangki Sirna Malasari bersama terpidana korupsi Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra beredar di sosial media. Pinangki diketahui adalah seorang jaksa di Kejaksaan Agung.
Kasus foto bareng Jaksa Pinangki ini berujung pada pencopotan dari jabatannya sebagai Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan.
Foto Jaksa Pinangki yang viral tersebut diduga diambil pada tahun 2019. Sementara, Djoko Tjandra sudah menjadi buronan Kejaksaan Agung sejak tahun 2009. Pinangki dianggap telah melanggar disiplin.
Selain itu diketahui, Pinangki bolak-balik ke luar negeri sebanyak 9 kali selama 2019 tanpa izin tertulis pimpinan, salah satunya bertemu dengan Djoko Tjandra.
Sementara itu, dilihat dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara ( LHKPN) yang terakhir dilaporkannya pada tahun lalu, Jaksa Pinangki melaporkan harta kekayaan sebesar Rp 6,8 miliar atau tepatnya Rp 6.838.500.000.
Lalu berapa gaji dan tunjangan Pinangki ( take home pay) sebagai seorang jaksa?
Tunjangan kinerja atau tukin di Kejaksaan Agung mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 29 Tahun 2020.
Tunjangan di Kejaksaan berdasarkan kelas jabatan.
• BREAKING NEWS :Maling Gasak Barang Elektronik Milik SDI Wangkal Reok Barat, Manggarai
Dikutip dari laman resmi Kejaksaan Republik Indonesia, Minggu (2/8/2020), penetapan kelas jabatan di lingkungan Kejaksaan Agung diatur dalam Keputusan Jaksa Agung Nomor 150 Tahun 2011 tentang Penetapan Jabatan Struktural dan Jabatan Fungsional Pegawai di Lingkungan Kejaksaan.
Dalam Keputusan Jaksa Agung tersebut, untuk jabatan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II yang diemban Jaksa Pinangki masuk dalam kelas jabatan 8 sehingga besaran tukin yang diterima sebesar Rp 4.595.150 per bulan.
Selanjutnya sebagai seorang PNS, Jaksa Pinangki juga menerima gaji pokok PNS yang besarannya diatur dalam PP Nomor 30 Tahun 2015.
Besaran gaji PNS di Kejaksaan sama dengan PNS di instansi pemerintah lain.
Gaji untuk pejabat eselon yang masuk golongan IV PNS, maka gaji per bulan yang diperoleh sebesar Rp Rp 3.044.300 sampai yang tertinggi Rp 5.901.200.
Sebagai informasi, selain tunjangan kinerja dan gaji pokok PNS, PNS di Kejaksaan juga masih mendapatkan tunjangan lainnya antara lain tunjangan suami/istri sebesar 5 persen dari gaji.
Tunjangan berikutnya yakni tunjangan anak sebesar 2 persen dari gaji pokok, tunjangan makan Rp 41.000/hari (golongan IV), dan tunjangan lain seperti perjalanan dinas.
Sebagai informasi, berdasarkan laporan LHKPN Jaksa Pinangki, sebagian besar dari harta tersebut merupakan jenis tanah dan bangunan, dengan total sebesar Rp 6 miliar.
• Sudah Ribuan Orang Indonesia SEMBUH Minum Herbal Hasil Penelitian Prof Hadi Pranoto, COVID 19
Ia tercatat memiliki tanah dan bangunan di Bogor, Jakarta Barat, dan Kota Bogor.
Harta lainnya adalah berupa mobil, yaitu Nissan Teana (2010), Toyota Alphard (2014), dan Daihatsu Xenia (2013).
Nilai total dari kendaraan yang dimilikinya adalah sebesar Rp 630 juta.
Selain itu, ia tercatat memiliki jenis harta kas dan setara kas senilai Rp 200 juta.
Data LHKPN Jaksa Pinangki juga pernah dikeluarkan pada 2009 dengan tanggal pelaporan 10 April 2008.
Saat itu, ia menjabat sebagai Jaksa di Seksi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri (Kejari) Cibinong.
Dalam laporan tersebut, jumlah total kekayaan Jaksa Pinangki adalah Rp 2,7 miliar.
Harta tersebut terdiri atas Rp 2,09 miliar harta tidak bergerak, yaitu bangunan dan tanah, harta bergerak berupa mobil senilai Rp 460 juta, serta giro dan setara kas lainnya sebanyak Rp 128,17 juta.
Dalam kedua LHKPN tersebut, jaksa Pinangki tidak tercatat memiliki utang.
Profil Djoko Tjandra dan Gurita Bisnis Miliknya
Kasus skandal korupsi Bank Bali yang terjadi sejak tahun 1999 kembali jadi sorotan publik. Ini setelah terpidana korupsi pengalihan hak tagih atau cessie Bank Bali, Djoko Tjandra, berhasil ditangkap Bareskrim Polri di Malaysia.
Dia diketahui bersembunyi di Negeri Jiran sebelum ditangkap tim khusus Bareskrim. Pria yang diketahui pernah menjadi warga negara Papua Nugini itu digelandang ke Indonesia setelah melarikan diri ke luar negeri sejak tahun 2009.
Lalu sebenarnya siapa Djoko Tjandra ( Tjoko Tjandra siapa)?
Dalam kasus skandal Bank Bali, Djoko Tjandra adalah Direktur PT Era Giant Prima.
Namanya juga dikaitkan dengan kelompok bisnis Grup Mulia.
Gurita bisnis Djoko Tjandra juga diketahui melebarkan sayapnya ke Malaysia.
Diberitakan Harian Kompas, 17 Juli 2020, salah satu properti Djoko Tjandra di negara tetangga tersebut adalah gedung Exhange 106 di kawasan Tun Razak Exchange, Kuala Lumpur.
Menurut kuasa hukum Djoko Tjandra, Anita Kolopaking, kepemilikan Djoko Tjandra atas properti di Kuala Lumpur tersebut didapat melalui grup usahanya.
"Pak Joko sudah nyaman berada di Malaysia. Dia tidak ingin berada di Indonesia untuk tinggal. Dia datang hanya untuk meluruskan haknya," ujar Anita.
Sementara itu, profil Djoko Tjandra seperti dikutip dari Kontan, pria kelahiran Sanggau 27 Agustus 1950 ini memang identik dengan Grup Mulia yang memiliki bisnis inti properti.
Kongsi empat bersaudara yakni Tjandra Kusuma (Tjan Boen Hwa), Eka Tjandranegara (Tjan Kok Hui), Gunawan Tjandra (Tjan Kok Kwang), dan Djoko S Tjandra sendiri didirikan pada 1970.
Dekade 1990-an, Grup Mulia makin berkembang pesat saat dipegang olehnya yang mengkomandani kepemilikan properti perkantoran seperti Five Pillars Office Park, Lippo Life Building, Kuningan Tower, BRI II, dan Mulia Center. Grup Mulia menaungi sebanyak 41 anak perusahaan di dalam dan luar negeri.
Selain properti, grup yang pada 1998 memiliki aset Rp 11,5 triliun itu merambah sektor keramik, metal, dan gelas. Tak terpengaruh dengan nama baik yang ditorehkan Djoko tersebut, bisnis Grup Mulia masih tetap bersinar.
Dilihat di laman resmi Mulia Group, kelompok bisnis properti ini juga membangun beberapa proyek besar di jantung Kota Jakarta antara lain Wisma Mulia, Mal Taman Anggrek, dan Wisma GKBI.
Kasus Djoko Tjandra
Dilansir dari pemberitaan Harian Kompas, 13 Juli 2020, kasus Djoko Tjandra bermula sekitar Agustus 1998, pemilik PT Era Giat Prima dan Bank Bali mengadakan kontak bisnis.
PT Era Giat Prima dimiliki Joko S Tjandra (Tjan Kok Hui) selaku direktur dengan Setya Novanto sebagai direktur utamanya yang juga Wakil Bendahara DPP Partai Golkar. Sementara Bank Bali dimiliki keluarga Ramli.
Mereka bernegosiasi soal pengalihan tagihan Bank Bali terhadap Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Rupanya BDNI tak mampu memenuhi kewajibannya ke Bank Bali. Malah BDNI kemudian ikut dilikuidasi.
Pada Januari 1998, pemerintah menyatakan, dana nasabah dan pinjaman antarbank masuk dalam skema penjaminan pemerintah. Hal itu berarti Bank Bali tidak perlu khawatir piutangnya di BDNI lenyap karena berada dalam perjaminan pemerintah.
Namun, rupanya Bank Indonesia (BI) tidak segera membayarkan piutang Bank Bali tersebut. Sebab, berdasarkan hasil verifikasi BI, tak ada satu pun dari 10 transaksi antara Bank Bali dan BDNI yang memenuhi syarat untuk dibayar.
Alasannya, transaksi antara BDNI dan Bank Bali terlambat didaftarkan serta terlambat diajukan. Piutang Bank Bali awalnya adalah transaksi forward yang tidak termasuk jenis kewajiban yang dijamin. Namun, entah apa yang terjadi kemudian, transaksi itu berubah statusnya menjadi pinjaman antarbank.
Untuk menagih pinjaman antarbank itulah, Bank Bali dengan PT Era Giat Prima menandatangani cessie pada 11 Januari 1999. Bank Bali memberikan hak penagihan piutang kepada PT Era Giat Prima, hitam di atas putih, berupa cessie atau pengalihan hak penagihan kepada pihak ketiga.
Direktur Utama Bank Bali Rudy Ramli beralasan, pencairan dana penjaminan dari BI atas piutang Bank Bali terhadap BDNI sulit dilakukan. Oleh karena itu, cessie pun ditempuh dengan menggandeng PT Era Giat Prima.
"Kalau setiap hari dirongrong oleh ketidakpercayaan nasabah, siapa yang tahan Mas," kata Rudy Ramli seperti dikutip Harian Kompas, 6 Agustus 1999.
Dalam proses, menurut Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), beberapa dokumen terkait cessie tersebut tidak terungkap dalam laporan auditor Bank Bali.
Meskipun demikian, justru Standard Chartered Bank (SCB) yang mengungkapkan hal itu dalam laporan due diligence-nya pada 20 Juli 1999. SCB adalah investor asing yang waktu itu sepakat membeli 20 persen saham Bank Bali.
Dalam laporannya, SCB menemukan, antara lain, terjadinya tambahan kerugian akibat pembayaran keluar dari bank Rp 546 miliar sehubungan dengan klaim antarbank Rp 904 miliar. SCB juga menemukan adanya usaha penjualan aset-aset bank oleh manajemen Bank Bali.
Setya Novanto mengatakan, proses transaksi jual beli penagihan Bank Bali merupakan proses investasi berisiko tinggi dan bisa dipertanggungjawabkan secara legal dan komersial. Setya pun menampik tudingan adanya kaitan perjanjian itu dengan Golkar.
Setya Novanto mengatakan, tagihan pokok dan bunga dana Bank Bali kepada BDNI sebesar Rp 1,277 triliun.
"Setelah diverifikasi BPPN dan Bank Indonesia, jumlah yang bisa ditagih Rp 904.642.428.369, karena dari 10 transaksi terdapat dua hingga tiga yang tidak memenuhi syarat sehingga yang dibayar hanya itu,” ujar Setya Novanto.
Gubernur BI Syahril Sabirin mengaku tidak mengetahui adanya perjanjian cessie antara Bank Bali dan PT Era Giat Prima. Syahril mengatakan, bagi BI, pengurusan penjaminan pinjaman antarbank tidak memerlukan perantara.
Posisi PT Era Giat Prima pun dipertanyakan. Sebab, secara prosedural, formal dan legal, pencairan tagihan perbankan memang tidak memerlukan peran pihak lain ( Djoko Tjandra korupsi)
Sementara BI, Departemen Keuangan, ataupun Kementerian Keuangan dan BPPN merupakan lembaga pemerintah yang memiliki sistem tersendiri dalam pencairan dana.
Setya Novanto pun membantah perjanjian mereka itu sebagai perjanjian bernuansa debt collector, tetapi cessie. Namun, jika sesuai cessie yang lazim, hak tagihan dan transfernya sebenarnya langsung ke PT Era Giat Prima, bukan ke Bank Bali.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Punya Harta Rp 6,8 Miliar, Berapa Gaji Jaksa Pinangki yang Terlibat Kasus Djoko Tjandra?", https://money.kompas.com/read/2020/08/02/102810826/punya-harta-rp-68-miliar-berapa-gaji-jaksa-pinangki-yang-terlibat-kasus-djoko?page=all.