Wawancara Ekslusif dengan Rektor Undana Kupang : Undana Tetap Ambil Terobosan untuk Bantu Mahasiswa

Dia merupakan rektor kesembilan setelah universitas negeri pertama di Provinsi NTT berdiri sejak 1 September tahun 1962.

Penulis: Paul Burin | Editor: Rosalina Woso
istimewa
Prof. Fred Benu, Rektor Undana Kupang 

Wawancara Ekslusif dengan Rektor Undana :  Tetap Ambil Terobosan untuk Bantu Mahasiswa

PROFESOR Ir. Fredrik Lukas Benu, M.Si, Ph.D, telah dua kali menduduki jabatan sebagai Rektor Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, yakni periode 2013-2017 dan 2017-2021.

Lelaki yang masih enerjik ini merupakan rektor ketiga alumni Undana. Dua rektor sebelumnya, yakni Prof. Dr. August Benu, M.S, kakak kandungnya dan Prof. Ir. Frans Umbu Datta, M.App, Sc.Ph.D.

Dia merupakan rektor kesembilan setelah universitas negeri pertama di Provinsi NTT berdiri sejak 1 September tahun 1962.

Ketika ditemui di ruang kerjanya, Jumat (3/7), Fred, demikian panggilan akrabnya, mengisahkan banyak hal terkait kebijakan rektorat dalam menghadapi masa pandemi Covid yang sungguh memukul mata rantai kehidupan manusia, termasuk dunia kampus. Mahasiswa-mahasiswi mengikuti kuliah secara daring. Mereka diminta untuk kuliah dari rumah atau kost meski faktanya banyak yang memilih pulang kampung.

Di sisi lain, ketika rektor mengambil kebijakan untuk membantu mahasiswa-mahasiswi dengan meringankan (memotong) uang SPP Rp 300 ribu per orang menemui kendala. Setelah berkonsultasi, Kanwil Ditjen Keuangan Provinsi NTT, menilai bahwa kebijakan itu berpotensi menghilangkan pendapatan negara. Kebijakan itu pun urung, tetapi upaya untuk memberi bantuan tetap dilakukan. Caranya saja yang diubah.

Satu di antara alumni Australia terbaik di dunia tahun 2019 ini mengisahkan pula kesulitan dan kendala para dosen menerapkan kuliah daring, persoalan ekonomi, perubahan dari pola riset university menjadi entrepreneurship university dengan berbagai kendala hingga kesibukannya membimbing mahasiswa asing program doktoral.

Berikut saripati wawancara Wartawan POS-KUPANG.COM, Paul Burin dan Gerardus Manyela dengan Rektor Fred yang didampingi Pembantu Rektor IV Undana, Ir. I Wayan Mudita, M.Sc, Ph.D

Apa saja kebijakan Undana dalam membantu mahasiswa-mahasiswi pada masa pandemi Covid ini?

Sebelumnya saya terbitkan Surat Keputusan (SK) Rektor Nomor 351 tentang Pemotongan Uang Kuliah bagi setiap mahasiswa-mahasiswi Undana sebesar Rp 300. Namun saya urungkan karena setelah berkonsultasi dengan Kakanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi NTT, menyebutkan bahwa pemotongan itu berpotensi menghilangkan pendapatan negara. Jika saya tetap lakukan akan menjadi temuan dan bisa saja bermasalah secara hukum. Maksud kita baik tapi dari sisi aturan tak membolehkan.

Berarti bantuan itu batal dilakukan?

Advis dari Kakanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi NTT mengarahkan mahasiswa-mahasiswi tetap membayar SPP secara full, nanti kemudian kita bantu cashback (kembalikan), tapi tidak sekaligus Rp 300 ribu.

Padahal sebetulnya sama saja. Tapi, atas pertimbangan pemotongan itu menghilangkan pendapatan negara, maka caranya kita ubah supaya secara hukum jangan bermasalah. Tapi, dalam waktu yang bersamaan terbit Permendikbud Nomor 25/2020 yang memungkinkan kita boleh memotong uang kuliah.

Aturan membolehkan tiga hal, yakni penurunan, penyicilan dan penghapusan uang kuliah. Permendikbud juga mengatur memberi kemungkinan universitas boleh memotong 50 persen dari total uang kuliah kalau mahasiswa memprogram enam SKS ke bawah.

Di sisi yang lain, peraturan menteri keuangan (PMK) melarang. Sedangkan Permendikbud membolehkan. Di sini, muncul dua kutub aturan yang bertentangan. Jika pandemi ini membawa dampak PHK (pemutusan hubungan kerja) bagi orangtua, misalnya sehingga berdampak mahasiswa tidak bisa membayar uang kuliah, maka kita akan minta surat PHK sebagai bukti memberi keringanan.

Kalimatnya, yakni "dapat mengajukan" dan kami akan verifikasi kemudian mempertimbangkan. Mahasiswa juga boleh menyicil uang kuliahnya.

Aturan, ya aturan, tapi kita juga boleh mengambil terobosan untuk membantu mahasiswa/mahasiswi. Birokrasi itu begitu adanya. Syarat tetap dibuat agar kita tak salah atau disalahkan.

Kapan mulai kuliah tatap muka?

Pak Mendikbud masih melarang kuliah tatap muka. Artinya bahwa kuliah daring masih berjalan.

Hasil evaluasi terhadap kuliah daring?

LP3M (Lembaga Penelitian Pengembangan dan Pengabdian kepada Masyarakat) akan melakukan evaluasi. Sejauh pantauan saya, kuliah daring atau virtual belum maksimal. Undana punya fasilitas daring itu e-learning.

Dosen boleh gunakan e-learning, google face room, zoom dan beberapa sarana lain. Saya syaratkan seluruh dosen boleh pakai fasilitas virtual lain, tapi seluruh materi harus upload di e-learning kita. Sebab setiap awal tahun saya melakukan kontrak materi dengan menteri (Mendikbud). Kemudian, saya kontrak dengan para pembantu rektor sampai para dosen.

Kontrak itu sebagai dasar gaji (remunerasi) kami dibayar. Dengan kata lain, rumunerasi kami dibayar tergantung apakah kontrak itu kami penuhi atau tidak. Satu di antara item kontrak itu adalah wajib e-learning. Cuma yang jadi soal banyak mahasiswa yang pulang kampung sehingga dosen mengalami kesulitan dalam berkomunikasi sebab ada wilayah di NTT yang tak terjangkau jaringan internet. Saya paham mahasiswa juga mengalami berbagai kendala, antara lain masalah ekonomi.

Kendala lain, banyak pula mahasiswa belum punya HP android. Mahasiswa juga mengeluh metode kuliah yang gunakan zoom. Kalau pakai teks, akan lebih memudahkan mahasiswa. Jika menggunakan zoom tingkat koneksi internet tinggi.

Persoalan-persoalan ini seakan ada pada mahasiswa saja. Kalau dosen?

Ada juga. Tapi kita benahi satu per satu. Biasanya pada hal-hal teknis.

Evaluasi atas perubahan Undana dari riset university menjadi entrepreneurship university?

Undana tetap berbasis riset meski mengambil pola privat university. Saya lihat bukan saja Undana, tapi semua universitas dengan BLU (Badan Layanan Usaha) untuk bisa mandiri dari sisi keuangan dengan semi privat BHPTN (Badan Hukum PT Negeri) secara profit oriented, menghasilkan uang dari aktivitas penelitian dan pengabdian, belum bisa. Kita masih andalkan pendapatan dari non akademis, yakni pembayaran uang kuliah mahasiswa.

Prosentase pengelolaan usaha masih kecil juga. Untuk sementara NBP kita masih gabung antara pendapatan akaddemik dan non akademik. Kita masih meng-cover status kita sebagai BLU. Yang diutamakan adalah remunerasi dosen. Yang namanya rumenerasi itu "dapat dibayar" dan bukan wajib dibayar karena memiliki sejumlah syarat. Karena Covid ini kita belum bayar remunerasi para dosen. Kita utamakan pelayanan kepada mahasiswa dulu. Untuk mengharapkan bisnis tak bisa jalan.

Badan pengelola usaha sudah siapkan alat tulis untuk kebutuhan di kampus ini. Begitu juga kantin. Tapi, karena Covid tak ada yang membeli atau berbelanja.

Pak Rektor, dalam kesibukan yang sungguh padat apakah masih menulis pada jurnal-jurnal nasional dan internasional?

Saya masih menulis pada jurnal internasional. Saat ini juga saya tengah membimbing seorang mahasiswa asal luar negeri, yakni dari Western Australia yang adalah calon doktor. Ia melakukan riset tentang Timor Leste. Bimbingan itu dilakukan atas dasar jalinan kerja sama antaruniversitas.

Apakah ada kesulitan dalam bimbingan. Berkomunikasi, misalnya?

Dalam berkomunikasi kita menggunakan bahasa Inggris. Jangankan bahasa Inggris, bahasa Indonesia saja terkadang kita mengalami kesulitan. Semua bisa dipercakapkan. Saya diuntungkan karena saat kuliah di Australia saya aktif berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Jika tidak, maka saya pasti mengalami banyak kendala karena sistim perkuliahan di Australia sama dengan sistim di Indonesia, yakni diam dan kerjakan tugas. Kalau Pak PR 4 (I Wayan Mudita, red) magisternya di North America.

Di sana, sistim perkuliahan memaksa mahasiswa wajib bicara, wajib presentasi sehingga jebolan Amerika sangat aktif dalam menggunakan bahasa Inggris. Di Amerika, seperti kata Pak I Wayan, jika mahasiswa tak aktif bicara saat kuliah bisa saja tak lulus.

Membimbing mahasiswa asing bergengsi sekali ya Pak Rektor?

Ya, kita diminta sebagai co- supervisor. Jadi bukan pembimbing utama. Saya diberi waktu selama enam pekan untuk menilai hasil riset mahasiswa itu. Penilaian sudah selesai, tinggal saya kirim. Nanti di sana yang menyidangkan untuk menentukan kelulusan. Dalam opini saya di Pos Kupang beberapa hari lalu, saya juga mencantumkan bahwa saat ini saya tengah melakukan supervisi atau bimbingan terhadap seorang mahasiswa asing tingkat doktoral asal Australia.

Sebagai satu di antara alumni Australia terbaik di dunia tahun 2019, apa kriterianya?

Banyak kriterianya. Satu dua di antaranya karena saya tetap menulis di jurnal internasional dan menjadi rektor. (*)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved