REAKSI Perdana Menteri Australia Scott Morrison Saat Warganya Dihukum Mati di China
Pengadilan China pada Sabtu (13/6/2020) mengungkapkan bahwa Karm Gilespie seorang aktor yang berbasis di Sydney telah dihukum mati
Reaksi Perdana Menteri Australia Scott Morrison Saat Warganya Dihukum Mati di China
POS-KUPANG.COM, CANBERRA - Perdana Menteri Australia, Scott Morrison menyatakan keprihatinannya pada Senin (15/6/2020) setelah warga negaranya divonis hukuman mati. Tindakan yang mengobar ketegangan antara Beijing dan Canberra.
Pengadilan China pada Sabtu (13/6/2020) mengungkapkan bahwa Karm Gilespie seorang aktor yang berbasis di Sydney telah dihukum mati atas tuduhan penyelundupan narkoba setelah ditahan diam-diam di penjara selama tujuh tahun.
Vonis itu meningkatkan kekhawatiran akan menambah masalah dalam hubungan diplomatik dan perdagangan antara Australia dan China, mitra dagang terbesarnya.
Perdana Menteri Scott Morrison mengatakan pihak berwenang Australia mengetahui penangkapan itu dan telah menghubungi rekan-rekan mereka dari China dalam beberapa kesempatan terkait kasus tersebut.
"Saya dan pemerintah sangat sedih dan khawatir bahwa seorang warga negara Australia, Karm Gilespie telah dijatuhi hukuman mati di China," katanya.
Media pemerintah China mengatakan Gilespie, yang berusia sekitar lima puluhan, ditangkap pada malam Tahun Baru 2013 di Bandara Baiyun Guangzhou, barat laut Hong Kong, dengan lebih dari 7,5 kilogram metamfetamin dalam kopernya yang diperiksa.
Penangkapannya tidak diumumkan kepada publik dan teman-temannya mengatakan kepada media Australia bahwa mereka bingung oleh kepergiannya yang tiba-tiba.
Keluarga Gilespie mengeluarkan pernyataan pada Senin yang meminta teman-teman Gilespie untuk menahan diri dari berspekulasi tentang keadaan Gilespie saat ini, yang tidak mereka percaya (dapat) membantu kasusnya.
• Pariwisata Labuan Bajo, Bank Mandiri Sumbang 100 Wastafel Portabel & Ratusan Masker Kepada BOPLBF
Keluarga Gilespie dalam pernyataan yang dikeluarkan melalui Kementerian Luar Negeri mengatakan, "Keluarga kami sangat sedih dengan situasi ini. Kami tidak akan membuat komentar publik dan meminta media menghormati privasi kami pada saat yang sulit ini."
Vonis mati itu dapat merusak hubungan yang semakin tegang antara Australia dan China. Terutama setelah Australia menyerukan penyelidikan terhadap asal-usul virus corona.
Menteri Perdagangan, Simon Birmingham mengatakan pada Minggu bahwa orang Australia "tidak seharusnya" melihat hukuman Gilespie sebagai pembalasan lebih lanjut dari China.
Tetapi komentator konservatif dengan cepat merespons.
Greg Sheridan, editor asing surat kabar Australia, mengatakan hukuman itu "harus dilihat sebagai tindakan Beijing dalam melanjutkan hukumannya yang sengit dan semakin ganas terhadap Australia."
Pasalnya, jika dilihat pada tahun lalu, China menjatuhkan hukuman mati terhadap dua warga negara Kanada atas tuduhan perdagangan obat-obatan terlarang selama pertikaian diplomatik yang meningkat dengan Kanada atas penangkapan eksekutif papan atas Huawei, Meng Wanzhou.
Sementara itu, upaya Kanada untuk memohon grasi bagi Robert Schellenberg dan Fan Wei sejauh ini tidak berhasil.
Diancam Pakai Ekonomi
Australia pada Kamis (11/6/2020) memperingatkan bahwa pihaknya tidak bisa diintimidasi oleh China.
China melakukan upaya 'paksaan' secara ekonomi serta ancaman akan menghambat laju wisatawan serta pelajar dari negeri Panda ke negeri Kanguru yang bernilai miliaran dollar.
Beijing telah mengeluarkan peringatan dalam beberapa hari terakhir bahwa orang China harus menghindari Australia karena kekhawatiran tentang insiden rasis yang menargetkan etnis Asia selama wabah virus corona.
Perdana Menteri Australia, Scott Morrison menepis tuduhan adanya perlakuan rasis terhadap etnis China sebagai 'sampah' pada Kamis (11/6/2020).
"Ini konyol dan tidak diperbolehkan," ujar Scott Morrison selama wawancara radio.
Dia menambahkan, "Kami memiliki hubungan dagang penting dengan China dan saya ingin itu terus berlanjut," ujar Morrison.
Namun dia memperingatkan pemerintahnya untuk "tidak pernah diintimidasi oleh ancaman" atau "memperdagangkan nilai-nilai mereka sebagai tanggapan terhadap paksaan dari mana pun datangnya."
Selama krisis wabah, rasialisme terhadap warga Asia dilaporkan meningkat berdasarkan laporan komisi anti-diskriminasi New South Wales.
Ketegangan telah meningkat dengan kuat beberapa tahun terakhir antara dua pemerintahan itu karena Australia telah melawan gerakan China untuk membangun pengaruh baik dalam negeri maupun di seluruh wilayah Pasifik.
Baru-baru ini Canberra membuat marah Beijing dengan menyerukan penyelidikan internasional tentang asal dan penanganan pandemi virus corona di China Tengah.
Sejak itu China mengambil beberapa langkah penekanan ekonomi yang menargetkan perdagangan dengan Australia, termasuk upaya untuk mencegah para wisatawan China yang mewakili kelompok wisatawan asing terbesar di Australia, juga pelajar mereka.
Dampak dari larangan bepergian Beijing hanya akan diketahui setelah perbatasan Australia - yang kini ditutup untuk semua wisatawan yang keluar-masuk dan lakukan perjalanan tidak penting karena pandemi - dibuka kembali.
Selain wisata, pendidikan adalah ekspor terbesar keempat Australia dengan lebih dari 500.000 pelajar internasional terdaftar pada tahun lalu, membawa keuntungan sekitar 37 miliar dollar Australia.
Setelah dukungan Canberra untuk penyelidikan virus, duta besar China di Canberra mengancam boikot konsumen yang meluas terhadap produk-produk Australia.
Peringatan itu ditindaklanjuti oleh empat eksportir besar daging Australia. Dan pada Mei lalu, China yang menuduh Australia telah melakukan dumping, menaikkan tarif 80 persen gandum Barley Australia yang merugikan para petaninya sampai 350 juta dollar AS dalam setahun (setara Rp 4,9 triliun).
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Warganya Divonis Mati di China, Ini Respons PM Australia", https://www.kompas.com/global/read/2020/06/15/180156770/warganya-divonis-mati-di-china-ini-respons-pm-australia?page=all#page2.
Penulis : Miranti Kencana Wirawan
Editor : Miranti Kencana Wirawan