Pencemaran Laut Timor Tanggung Jawab Mutlak Australia
Kasus pencemaran Laut Timor tahun 2009 dan telah mengorbankan kerugian sangat besar bukan saja membunuh lebih dari 100.000 mata pencahar
Penulis: Paul Burin | Editor: Ferry Ndoen
POS-KUPANG.COM, KUPANG - Kasus pencemaran Laut Timor tahun 2009 dan telah mengorbankan kerugian sangat besar bukan saja membunuh lebih dari 100.000 mata pencaharian penduduk khususnya petani rumput laut dan nelayan, tapi lebih dari itu banyak orang yang meninggal ditambah lagi lebih dari 60.000 hektar terumbu karang. Australia wajib atau mutlak bertanggung jawab atas tragedi tumpahan minyak pada Kilang Montara ini.
Kasus ini telah berjalan selama 11 tahun dan selama itu pula rakyat kecil terus berjuang untuk mendapatkan keadilan. Saat ini putusan perkara class aation petani rumput laut untuk dua kabupaten, yaitu Kupang dan Rote Ndao dari Pengadilan Federal Australia sedang berlangsung. Diperkirakan putusan akan berlangsung dalam tahun 2020 ini.
"Di sisi lain, kami juga sedang menunggu dimulainya sidang gugatan Yayasan Peduli Timor Barat terhadap Pemerintah Federal Australia yang telah diajukan pada bulan Desember 2019 lalu ke Perserikatan Bangsa Bangsa," kata Ketua Tim Advokasi Rakyat Korban Montara, Ferdi Tanoni kepada pers di Kupang, Kamis (4/6/2020).
Sebagai anggota The Montara Task Force pihaknya terus meminta sebuah surat dari Presiden RI yang ditujukan kepada Perdana Menteri Australia untuk segera duduk bersama menyelesaikan kasus tumpahan Minyak Montara ini.
Ferdi mengatakan, masalah Laut Timor sangat berbahaya dan mengancam kehidupan baik jangka pendekat hingga jangka panjang. Meskipun Kilang Minyak Montara tersebut merupakan milik dari suatu Perusahaan Thailand, kata dia, akan tetapi bila melihat pada prinsip tanggung jawab negara maka Australia tetap bertanggung jawab sebagai negara tempat pengeboran itu dilakukan. Dengan kata lain, tanggung jawab tersebut merupakan tanggung jawab yang bersifat absolut atau mutlak. Sebab pencemaran tersebut telah masuk dan mencemari wilayah perairan Indonesia serta telah menyebabkan kerugian bagi Indonesia khususnya penduduk sekitar Laut Timor.
Di satu sisi, kata Ferdi, dapat diketahui bahwa Australia sebagai negara pantai yang memberikan izin kepada PTTEP Australasia untuk melakukan kegiatan ekplorasi dan ekploitasi di wilayah ZEE- nya, juga memiliki tanggung jawab berupa kewajiban-kewajiban untuk membersihkan dan memulihkan semua dampak pencemaran dan membayar kompensasi atas segala bentuk kerugian yang dialami oleh korban pencemaran.
Kewajiban-kewajiban tersebut kata dia, berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam UNCLOS 1982, khususnya pasal 56, pasal 60, pPasal 194 ayat 2. Klaim ganti rugi diselesaikan melalui perundingan antara kedua negara. Sehubungan dengan kasus pencemaran Laut Timor ini harus diselesaikan seperti tertera dalam UNCLOS pasal 139 yaitu, pertana, negara yang menyebabkan kerugian negara lain akibat kegiatanya, harus dikenakan ganti kerugian atas dampak yang merugikan negara tersebut.
Kedua, Pemerintah Federal Australia tidak usah berpura-pura tidak mengetahui tentang Hukum Internasional ini, tetapi berkata secara jujur untuk bersama menyelesaikan kasus ini.
Ketiga, hal yang terpenting adalah bahwa baik Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia telah secara bersama melakukan ratifikasi terhadap UNCLOS 1982. Kedua negara telah bersama pula membuat undang-undang ini di Australia maupun di Indonesia.
Ferdi sadar bahwa Indonesia dan Australia merupakan sahabat dekat. Untuk itulah ia mengharapkan agar tidak usah lagi putar ke depan atau ke belakang soal kasus tumpahan minyak Montara tahun 2009 di Laut Timor ini. Tetapi sebagai bangsa Indonesia jelas menuntut hak dan kedaulatan yang harus dipertahankan. Australia diharapkan menghormati dan menerimanya.
(Laporan Reporter Pos-Kupang.com, Paul Burin)
