Amerika Tak Kuat sendirian , Kini Ajak dan Kumpulkan Negara-negara Kuat Hadapi China
Meski demikian sepertinya Amerika tak tidak ingin menghadapi negeri tirai bambu itu sendirian , negeri paman Sam itu pun mengajak sejumlah negara terk
Amerika Tak Kuat sendirian , Kini Ajak dan Kumpulkan Negara-negara Kuat Hadapi China
POS KUPANG.COM --Amerika Serikat memiliki kekuatan militer terbesar di dunia, sementara China memiliki kekuatn militer ketiga terbesar ke tiga di dunia
Meski demikian sepertinya Amerika tak tidak ingin menghadapi negeri tirai bambu itu sendirian , negeri paman Sam itu pun mengajak sejumlah negara terkuat di dunia untuk menghadapi China
Salah satu negara yang diajak adalah sekutu lama China yaitu Rusia
KTT G7 yang rencananya akan diselenggarakan pada bulan Juni ditunda, hal itu diumumkan oleh Presiden Donald Trump.
Trump ingin mengundang empat negara kuat lain termasuk Rusia, lainnya India, Australia, dan Korea Selatan.
G7 sendiri merupakan sekelompok negara dengan ekonomi terkemuka di dunia, termasuk Inggris, Amerika Serikat, Jerman, Italia, Kanada, Prancis, dan Jepang.
Terkait Rusia, melalui juru bicaranya, Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova mengatakan setuju dengan keluhan Trump.
Rusia juga berpendapat tentang pentingnya partisipasi China.
"Moskow setuju dengan keluhan Presiden AS Donald Trump tentang G7 karena kelompok ini benar-benar ketinggalan zaman, tidak sepenuhnya mewakili apa yang terjadi di dunia.
"Namun, kami belum melihat G7 memiliki kemampuan untuk meningkatkan tanpa partisipasi China,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova, dilansir dari 24.com.
Namun, ia mengatakan Moskow tidak setuju dengan 'niat jelas' AS untuk membangun aliansi untuk menghentikan China.
"Jelas bahwa China tidak diundang ke konferensi. Tanpa China, inisiatif global apa pun tidak akan mungkin terjadi," lanjut Maria Zakharova.
Sementara itu direktur komunikasi strategis Gedung Putih Alyssa Farah mengatakan Trump ingin KTT yang akan datang untuk fokus terutama pada China .
Menurut para ahli, Trump sedang mencoba membangun koalisi kekuatan besar untuk mengisolasi dan menghentikan China setelah pertemuan puncak G7.
Rusia sendiri awalnya bergabung dengan G7 pada 1997, kemudian kelompok ini mengubah namanya menjadi G8.
Pada 2018, G8 mengeluarkan Rusia dari kelompok itu setelah krisis politik di Ukraina dan aneksasi Krimea oleh Rusia.
Setelah meninggalkan grup, Rusia tidak menunjukkan niat untuk kembali ke G7 dan mengatakan bahwa grup G20 beroperasi lebih efektif.
Baru kemudian kini Rusia baru akan kembali bergabung dengan G7, setelah Trump mengundang.
Reuters melaporkan bahwa Trump telah melakukan percakapan telepon dengan Putin.
Trump telah secara langsung mengundang Presiden Rusia untuk bergabung dalam KTT G7 yang dijadwalkan ulang akan diadakan di AS pada bulan September.
Namun, proposal untuk mengundang Rusia menghadiri KTT oleh Presiden Trump pun telah menghadapi tentangan dari dua anggota G7 lainnya, Inggris dan Kanada.
"Tidak ada bukti bahwa Rusia telah mengubah perilakunya untuk siap kembali ke G7," katanya.
Menurut para ahli, AS yang mengundang Rusia untuk menghadiri KTT G7 menunjukkan bahwa Presiden Trump ingin meningkatkan hubungan dengan Moskow untuk fokus pada Cina.
Dari empat negara yang diundang oleh Amerika Serikat, Perdana Menteri Australia Scott Morrison menerima paling awal.
Mantan Komandan NATO Bocorkan Pemicu Perang Dingin Amerika dan China di Laut China Selatan
POS-KUPANG.COM, JAKARTA - Eskalasi perang dingin antara Amerika Serikat dan China di Laut China Selatan (LCS) meningkat akhir-akhir ini.
Selain keduanya saling memamerkan kekuatan dan saling sindir mengenai pandemi virus corona, sebenarnya kedua kekuatan ekonomi terbesar dunia tersebut tengah memperebutkan cadangan minyak dan gas alam di dasar LCS.
Hal itu sebagaimana diungkapkan Mantan Komandan Sekutu Tertinggi NATO dan pensiunan Angkatan Laut AS, Laksamana James Stavrdis dalam opininya di Bloomberg, Jumat (22/5/2020).
Stavrdis mengatakan, ia telah menghabiskan sebagian besar karir militernya berlayar di Pasifik dan berlayar berkali-kali melewati perairan lembab Laut China Selatan.
Stavrdis mengatakan Laut China Selatan merupakan perairan yang besar dan luas. Ukurannya setara dengan laut Karibia dan Teluk Meksiko bila digabungkan.
Nah ia menuturkan, dasar LCS penuh dengan cadangan minyak dan gas.
Kemudian hampir 40% perdagangan internasional melewati jalur ini. Sehingga wilayah LCS sangat strategis.
Menurut Stavrdis, China telah mengklaim sebagian besar Laut China Selatan merupakan laut teritorialnya. Dan saat hubungan China dan AS memburuk dipicu virus corona dan faktor politik, dimana tahun ini pemilihan presiden AS, peluang konflik dengan China meningkat.
Dalam beberapa pekan terakhir, beberapa kapal perang AS, termasuk kapal perusak yang pernah di bawah komando Stavrdis pada awal 1990-an, Barry, telah berkonfrontasi dengan kapal patroli militer Tiongkok.
Baca Juga: Respons NATO, Rusia tambah enam kapal perang baru perkuat Armada Baltik
Stavrdis menjelaskan, LCS menjadi titik nyala yang dapat memicu perang AS-China didasarkan banyak penyebab selain yang sudah dituliskan sebelumnya.
Dasar-dasar historis klaim China terhadap wilayah ini kembali ke pelayaran laksamana Zheng He abad ke-15. Stavrdis menulis tentang laksamana Zheng dalam buku terbarunya "Sailing True Nort,".
Ia mengatakan, setiap kali ia bertemu dengan rekan-rekan militernya dari China, mereka kerap bersulang untuk Laksamana Zheng ini. Ia merupakan penjelajah di laut China Selatan, Samudra Hindia dan perairan Afrika dan Arab yang melegenda.
Kendati begitu, Stavrdis mengatakan, China tidak memiliki dasar hukum untuk mengklaim seluruh Laut China Selatan sebagai danau pribadi mereka. Klaim China ini telah ditolak dengan tegas oleh semua negara yang berada di sekitar badan air ini dan pengadilan internasional.
Untuk melawan klaim China, Angkatan Laut AS melakukan apa yang disebut kebebasan patroli, yang menunjukkan bahwa Laut China Selatan adalah perairan internasional, atau laut lepas.
Baca Juga: Kapal Induk AS Theodore Roosevelt akan berlayar pekan depan tantang provokasi China
Namun Patroli AS ini kerap menimbulkan ketegangan dengan China. Ia mengisahkan peristiwa beberapa dekade lalu ketika ia masih memimpin armada AS di wilayah ini.
Ia mengatakan sekelompok kapal perusak AS berlayar di Laut China Selatan yang diklaim Tiongkok dan saat ini sudah berisi pulau-pulau buatan yang telah dibangun dan dimiliterisasi oleh China dengan rudal, landasan pacu dan senjata jarak jauh serta pasukan.
Saat AS melakukan patroli, militer China sering menerbangkan kapal perusak, jet tempur hanya berjarak beberapa puluh kaki dari depan haluan atau kapal perang mereka untuk menantang kapal perang AS.
Aksi-aksi militer China itu sangat beragam, mulai dari mengusir, mengancam lewat saluran radio dan menyorot dengan lampu ke arah kapal-kapal perang AS bahkan sampai mengarahkan rudal dan senjata perang bahkan berlayar terlalu dekat yang berpotensi membahayakan keselamatan awak kapal.
Menghadapi konfrontasi itu, Stavrdis mengatakan, ia kerap menasihati setiap kapten kapal perang AS yang berada di bawah kendalinya untuk tetap stabil,
menghindari konfrontasi yang tidak perlu dan melaporkan kembali kepadanya terus menerus perkembangan di sana dan Stavrdis sendiri kemudian membuat laporan kepada otoritas yang lebih tinggi.
Ia mengatakan, pengalaman berlayar ke Laut China Selatan merupakan pengalaman yang membingungkan, Stavrdis dan para stafnya kerap menarik nafas lega setiap kali mereka berhasil menyelesaikan misi mereka di wilayah panas tersebut.
Menurut Stavrdis, yang juga kolumnis Bloomberg, kapal perusak Barry dan kapal perusak lainnya, Bunker Hill, berhadapan dengan kapal-kapal China baru-baru ini di wilayah tersebut, namun mereka mencoba menghindari eskalasi.
Melihat kondisi ini, Stavrdis mengatakan kunci utama bagi AS menghadapi kondisi ini dan membelokkan perilaku China tanpa harus memutus hubungan internasional yang mengarah pada perang dingin atau konflik bersenjata, adalah dengan membawa lebih banyak sekutu internasionalnya ke dalam kebebasan patroli navigasi, termasuk anggota NATO bersama dengan Australia dan Jepang.
AS juga bisa meningkatkan dukungan kepada Taiwan, khususnya dalam kerjasama militer dan mendesak penyelidikan internasional yang menyeluruh terhadap wabah virus corona di Wuhan dan membangun hubungan yang lebih kuat dengan negara-negara lain di sekitar pesisir Laut China Selatan.
Langkah-langkah konfrontatif ini juga harus disertai dengan sejumlah penawaran kerjasama dengan China.
Hal itu bisa mencakup memajukan perjanjian perdagangan dan tarif yang menyediakan akses ke pasar AS, bekerjasama dalam rute perdagangan Kutub Utara dan norma-norma lingkungan di sana, sesuatu yang sangat diinginkan Beijing.
Bisa juga AS mengajak Beijing melakukan operasi kemanusiaan bersama, bekerjasama menciptakan norma perilaku antara pasukan angkatan laut kedua negara dan menjajaki perjanjian strategis dan taktis untuk pengendalian senjata.
Artikel ini telah tayang di Kontan.co.id https://internasional.kontan.co.id/news/perang-dingin-as-china-meningkat-di-laut-china-selatan-ini-yang-diperebutkan?page=all
Sebagian artikel ini sudah tayang di Intisari.Grid.ID dengan judul: Sudah Hubungi Rusia, Amerika Berencana Hubungi Semua Negara Kuat di Dunia untuk Membahas China dengan Serius https://intisari.grid.id/read/032179089/sudah-hubungi-rusia-amerika-berencana-hubungi-semua-negara-kuat-di-dunia-untuk-membahas-china-dengan-serius?page=all