Kekerasan Seksual
Perjuangan Korban Kekerasan Seksual Keluar dari Trauma
Perjuangan Korban Kekerasan Seksual Keluar dari Trauma, Takut Keluar Rumah Hingga Tak Ingin Lanjutkan Sekolah
Penulis: Maria Enotoda | Editor: maria anitoda
Ia mengatakan pelaku atau korban kekerasan seksual bisa siapa saja, usia, dan jabatan apa saja. Kekerasan seksual berdasarkan Komisi Nasional AntiKekerasan terhadap Perempuan (Komnas) Perempuan mengidentifikasi kekerasan seksual mencakup 15 bentuk kekerasan bernuansa seksual (fisik dan verbal), seperti tindakan perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual hingga ancaman perkosaan.
Berdasarkan hasil survei terbaru yang dilakukan Plan Indonesia di Kota Kupang menyebutkan bahwa 29,50 persen dari 61 persen remaja berpacaran di Kota Kupang pernah mengalami kekerasan seksual.
Temuan itu merupakan hasil survei yang dilakukan pada Januari 2019. Temuan lainnya, 14,75 persen remaja mengalami kekerasan fisik, 36,06 persen mengalami kekerasan psikologis, 6,55 persen mengalami kekerasan ekonomi, dan 67,21 persen mengalami tindakan stalking (pencarian informasi melalui sosial media tanpa sepengetahuan korban).
Sedangkan data Aliansi Penghapusan Kekerasan terhadap Anak (PKTA), Nusa Tenggara Timur (NTT) mencatat, sepanjang 2002-2018 telah terjadi 3.826 kasus. Dari 3.826 kasus tersebut sebanyak 1.421 (37 persen) kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan 627 (16,4 persen) kasus kekerasan terhadap anak-anak dan remaja.
Menurut Ansi, kekerasan seksual pada remaja, korban terbesar adalah remaja perempuan, bahkan ada yang mengalami sebagai korban eksploitasi seksual. Tapi jumlah yang melapor di kalangan remaja tidak banyak, kecuali ada intervensi orangtua. “Karena kurang pengetahuan akan hal yang mereka alami,” ujarnya.
Ansi mengatakan, banyak orang berpikir teknologi merupakan sumbangan terbesar dalam kasus kekerasan seksual, tetapi ia melanjutkan, penyebab utamanya adalah budaya patriarki. Budaya ini melihat perempuan sebagai orang kedua atau orang dengan posisi tidak setara, dan sebagai objek. “Sehingga dalam kehidupan mereka melihat hal itu biasa maka akan terimitasi dalam perilaku,’’ ujar Ansi.
‘’Hal mudah dalam WhatsApp group, misalnya banyak kekerasan seksual yang terjadi lewat gambar, kalimat atau kata-kata. Lelucon akan menjadi garing jika itu terkait dengan tubuh perempuan. Orang merasa itu hal yang lucu tapi ternyata itu adalah salah satu bentuk kekerasan seksual,’’ lanjutnya.
Menurut Ansi tantangan dalam meminimalisir kasus kekerasan seksual pada remaja adalah belum ada kesamaan pandangan masalah ini sebagai persoalan bersama. Perspektif masyarakat belum jernih soal kekerasan seksual remaja. Kecenderungan masyarakat tidak memberikan proteksi pada korban, tetapi malah menyalahkan korban dengan berbagai alasan dan pandangan.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Kupang Diana Bire mengatakan masih enggannya korban kekerasan seksual apalagi seorang remaja atau anak melaporkan kejadian tersebut baik pada orang tua ataupun pihak yang berwajib adalah adanya berbagai sanksi sosial yang akan korban terima. Ia mengatakan cibiran untuk korban kekerasan seksual dapat membuat korban tertekan. “Tidak seharusnya disematkan pada korban, sehingga korban bisa dengan leluasa melapor tanpa embel-embel nama baiknya rusak,” ujarnya, saat ditemui di kediamanya Selasa (7/4).
Sedangkan untuk terus mencegah kekerasan seksual ini terjadi pada anak remaja dan perempuan Ansi Damaris Rihi Dara menambahkan lembaganya antara lain memberikan edukasi mengenai pendidikan seksual remaja. LBH Apik juga mengedukasi tentang aspek hukum, kampanye aturan mengenai kekerasan seksual di sekolah, serta melakukan pendekatan dan intervensi lewat agama.
Mengenai kerjasama dengan aparat penegak hukum, Ansi mengatakan pihaknya terus memberikan peningkatan kapasitas aparat. Lembaga ini memberikan pemahaman agar aparat penegak hukum mengubah cara pandang pada korban kasus kekerasan seksual. “Kita tidak bisa menerapkan hukum secara netral. Harus lebih membela perempuan dan anak,” ujarnya.
Ia melihat selama belum ada cara pandang setara dan itu berdampak pada sikap aparat saat menangani kasus. “Jangan sampai korban jadi korban baru lagi karena pertanyaan atau pernyataan aparat,’’ tutur Ansi.
Salah seorang pengacara yang bisa menangani kasus kekerasan seksual yaitu Puput Riwukaho yang berhasil diwawancara mengatakan selama ia menangani kasus kekerasan seksual keluarga korban selalu kooperatif. Menurut Puput, banyak korban yang tidak ingin menjelaskan apa yang terjadi secara detail saat ada keluarga di sekitar mereka.
‘’Biasanya saya dan teman-teman itu pergi ke ruang sendiri atau tempat yang agak jauh dari keluarga karena banyak korban kekerasan seksual itu apalagi yang masih anak-anak dan remaja malu untuk mengungkapkan kejadian di hadapan keluarga mereka. Kenapa malu karena mereka tidak ingin semua detail yang mereka ceritakan diketahui keluarganya termasuk ayah atau ibu kandung,’’ ujar Puput yang dihubungi via telepon Senin (6/4).
Terkadang menurut Puput juga para korban yang tergolong anak dan remaja masih membutuhkan waktu untuk bicara. ‘’Biasanya mereka itu menangis kalau ditanya lagi soal kejadian yang mereka alami. Jadi butuh kesabaran untuk itu,’’ lanjut Puput.
