LAKU KERAS di Pasaran Luar Negeri, Porang yang Dulu Dianggap Makanan Ular, Kini Jadi "Emas" Petani

Jika dulu banyak dibuang, tanaman porang kini banyak dibudidayakan petani di sejumlah daerah.

Editor: Agustinus Sape
Muhlis Al Alawi
Ribuan irisan porang dijemur di halaman rumahn Hartoyo, Rabu ( 3 / 5 / 2017) sore. 

Laku Keras di Pasaran Luar Negeri, Porang yang Dulu Dianggap Makanan Ular, Kini Jadi "Emas" Petani

POS-KUPANG.COM, JAKARTA - Jika dulu banyak dibuang, tanaman porang kini banyak dibudidayakan petani di sejumlah daerah. Di pasar ekspor, umbi porang yang diolah jadi tepung ini laku keras.

Padahal, tanaman ini tumbuh liar di pekarangan rumah dan dianggap masyarakat sebagai makanan ular.

Umbi dari porang banyak dicari di pasaran luar negeri seperti Jepang, China, Taiwan, dan Korea. Tepung umbinya dipakai sebagai bahan baku kosmetik, obat, hingga bahan baku ramen.

Diberitakan Harian Kompas, 17 Juni 2011, porang awalnya tidak lebih dari tumbuhan liar yang lazim ditemukan di sela-sela pepohonan hutan di Madiun, Jawa Timur.

Terinspirasi sifat tumbuh dan nilai ekonominya, warga setempat membudidayakan tanaman ini di balik rimbunnya tegakan pohon di hutan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, warga tak perlu lagi menebang pohon di area hutan.

Di Madiun, porang banyak ditanam petani di lahan-lahan Perhutani yang dikerjasamakan. Rupanya, peningkatan kesejahteraan petani di kawasan hutan sampai membuat angka pencurian kayu hutan milik Perhutani menurun drastis.

Ide untuk menanam porang tak lepas dari pertimbangan ekologis. Tumbuhan ini cocok untuk tumbuh kembang di bawah tanaman tegakan hutan.

Di samping itu, porang juga memiliki nilai ekonomi dan sosial dalam rangka pengembangan dan pelestarian hutan.

Umbi porang laku dijual. Saat ini harganya menembus Rp 2.500 per kg basah atau baru petik. Umbi porang kering atau chips porang dihargai lebih mahal lagi, Rp 20.000 per kg.

Masih ada yang lebih mahal yakni tepung porang. Namun, kemampuan masyarakat belum sampai ke sana sehingga teknologi pembuatan tepung masih dikuasai pabrik besar.

 Bagi warga Desa Sumberbendo, salah satu desa di Kabupaten Madiun, porang adalah primadona yang diibaratkan sebagai emas hitam karena hasil panen porang bisa langsung dikirim ke Jepang.

Produktivitasnya juga terbilang tinggi. Setiap hektar lahan mampu menghasilkan 5 ton umbi basah sehingga petani bisa membukukan pendapatan minimal Rp 12,5 juta per hektar.

Panen porang berlangsung sekali dalam setahun. Akan tetapi, porang tidak memerlukan biaya pemeliharaan. Bahkan, penanaman cukup dilakukan sekali dan hasilnya bisa dinikmati setiap tahun.

Kisah Paidi

Beberapa petani bahkan kaya raya berkat tanaman ini. Paidi contohnya, petani porang asal Madiun yang sebelumnya berprofesi sebagai pemulung ini jadi miliader berkat porang.

Suksesnya tak dibawa sendiri, dia juga mengajak petani-petani di kampung halamannya menanam porang. Awal mula perkenalannya dengan porang saat dirinya bertemu temannya di Desa Klangon, Kecamatan Seradan, Kabupaten Madiun.

UMBI PORANG?Paidi, warga Desa Kepel, Kecamatan Kare, Kabupaten Madiun menunjukkan umbi porang yang akan diekpsor ke luar negeri. Paidi sukses mengembangkan porang hingga mengubah nasibnya pemulung menjadi miliarder.
Paidi, warga Desa Kepel, Kecamatan Kare, Kabupaten Madiun memperlihatkan umbi porang yang akan diekpsor ke luar negeri. Paidi sukses mengembangkan porang hingga mengubah nasibnya pemulung menjadi miliarder. (KOMPAS.com/Muhlis Al Alawi)

Di daerah itu, banyak petani membudidayakan porang. Dari informasi di internet, porang banyak dicari perusahaan-perusahaan besar dunia.

"Setelah saya cek, ternyata porang menjadi bahan makanan dan kosmetik yang dibutuhkan perusahaan besar di dunia," ungkap Paidi dikutip dari Kompas.com (12/6/2019).

Melihat peluang yang besar, dirinya pun berinisiatif menanam porang di kampung halamannya. Porang rupanya tumbuh subur di lahan perbukitan di desanya meski ditanam di bawah pohon jati.

Dalam satu hektar, Paidi bisa memanen umbi porang hingga 70 ton. Selain itu, di Jawa Timur, mulai banyak bermunculan pabrik pengolahan porang untuk diekspor.

Ditanya omzet yang ia dapatkan dari pengembangan porang di Desa Kepel, Paidi mengatakan sudah mencapai miliaran rupiah. "Sudah di atas satu miliar," kata Paidi.

Kembangkan Bibit Melalui Kultur Jaringan 

Bidik peningkatan nilai ekspor porang, Kementerian Pertanian Republik Indonesia akan meningkatkan kualitas bibit porang dengan kultur jaringan.

Dirjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Suwandi mengatakan, tahun 2018 Dinas Pertanian mencatat ekspor porang mencapai 11.000 ton dengan nilai kurang lebih Rp 1 triliun.

“Sentranya di Jawa Timur,” ujarnya saat meresmikan panen bersama di Kabupaten Ngawi, Rabu (5/12/2019).

Suwandi menambahkan, pemerintah juga telah meningkatkan kualitas bibit porang melalui pengembangan ketersediaan bibit porang dengan kultur jaringan.  

Selama ini petani mendapatkan bibit porang dengan mengembangkan dari umbi, dari katak atau bulbil atau dari biji yang ada pada bunga  porang. 

“Kita mencoba teknik dengan kultur jaringan sudah mulai bergerak ke situ, tinggal nanti mencari efisiensi supaya dengan teknik kultur jaringan akan lebih efisien dari pada pola benih yang konvensional,” ujarnya.

Pemerintah juga mendorong peningkatan produk turunan untuk diekspor karena selama ini porang yang diekspor dalam bentuk chip maupun serbuk yang nilai ekspornya masih di bawah produk turunan.

Suwandi mengatakan, ada 43 produk turunan yang memiliki nilai jual tinggi.

“Padahal manfaatnya  bisa untuk kalogen, anti aging, dan produk-produk lain turunannya itu sudah kami hitung ada sekitar 43 jenis produk turunan dari porang. Nilainya jauh lebih  tinggi walaupun volumenya kecil harganya lebih mahal,” ucapnya.

(Sumber: KOMPAS.com/Muhlis Al Alawi | Editor: Robertus Belarminus)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Dulu Dianggap Makanan Ular, Porang Kini Jadi "Emas" Petani", https://money.kompas.com/read/2020/02/05/141540326/dulu-dianggap-makanan-ular-porang-kini-jadi-emas-petani?page=all.
Penulis : Muhammad Idris
Editor : Sakina Rakhma Diah Setiawan

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved