Sidang Perkara Gua Bitauni Diwarnai Isak Tangis
Berbeda dengan mencuri yang mengandung makna mengambil sesuatu barang milik orang lain yang dilakukan secara diam-diam
Penulis: Thomas Mbenu Nulangi | Editor: Rosalina Woso
Sidang Perkara Gua Bitauni Diwarnai Isak Tangis
POS-KUPANG.COM | KEFAMENANU--Nuansa emosional dalam sidang sengketa kepemilikan tanah Gua Santa Maria Siti Bitauni (Gua Bitauni) dan sekitarnya benar-benar terasa. Saking emosionalnya, sidang kedua yang beragendakan pembacaan eksepsi, jawaban serta gugatan rekonvensi dari pihak tergugat diwarnai isak tangis Kuasa Hukum Keuskupan Atambua dan para pengunjung sidang.
Isak tangis Kuasa Hukum Keuskupan Atambua, Yoseph Maisir, S.H, pecah saat membacakan jawaban. Pengacara muda itu tak bisa membendung air mata manakala membacakan jawaban atas gugatan para penggugat yang menuduh Uskup Emeretus, Mgr. Anton Pain Ratu, SVD (Tergugat I), Romo Donatus Tefa, Pr (Tergugat II) dan Romo Gerardus Sau, Pr (Tergugat III) serta Theodorus Lorenzo Taolin (Tergugat IV) telah merampas secara sewenang-wenang tanah milik para penggugat.
“Bagi para tergugat, tuduhan tersebut sungguh sangatlah keji, lebih dari pada tuduhan melakukan pencurian, Sebab kata merampas mengandung makna makna mengambil secara paksa sesuatu barang milik orang lain langsung dari tangan orang tersebut atau didepan orang yang bersangkutan atau sepengetahuan pemilik barang tersebut. Berbeda dengan mencuri yang mengandung makna mengambil sesuatu barang milik orang lain yang dilakukan secara diam-diam, tanpa sepengetahuan pemilik barang,” urainya dengan suara terbatah-batah.
Lebih lanjut pengacara yang biasa disapa dengan Maisir Lawa itu menjelaskan, perbuatan merampas adalah suatu perbuatan yang dilandasi atas kebiadaban, kesewenang-wenangan, dengan paksaan bahkan dengan kekerasan dan tanpa mempedulikan prinsip-prinsip kemanusiaan, keadilan dan kebenaran.
“Dan sangat disayangkan, tuduhan tersebut justru ditujukan kepada Yang Mulia Mgr. Anton Pain Ratu, SVD sebagai seorang Uskup yang pada masanya merupakan pemimpin tertinggi Gereja Katolik Keuskupan Atambua yang sudah
sepatutnya dihormati bukan hanya karena jabatannya semata, melainkan yang lebih penting adalah karena urapan suci yang diterimakan atas dirinya baik pada saat ditabiskan menjadi Pastor maupun menjadi Uskup,” tekannya sembari menyatakan rasa terhina dan terluka juga dialami oleh tergugat II dan tergugat III yang juga merupakan pribadi-pribadi yang terurapi menjadi pemimpin umat katolik di tingkat Paroki Kiupukan dan di tingkat Dekenat Kefamenanu serta tergugat IV sebagai orang tua dan yang dituakan oleh karena keberadaanya sebagai Raja Insana.
Maisir melanjutkan, bahwa selain telah melukai dan mencabik-cabik nama baik serta harkat dan martabat tergugat I, tergugat II dan tergugat III, tuduhan tersebut juga sungguh-sungguh telah melukai dan mencabik-cabik hati dan perasaan seluruh umat katolik Keuskupan Atambua.
Demikian pula halnya, tuduhan yang ditujukan kepada tergugat IV telah melukai hati dan perasaan seluruh masyarakat adat yang beradab di wilayah Kerajaan Insana.
Maisir Lawa yang dikonfirmasi oleh wartawan seusai sidang mengaku dirinya sungguh-sungguh tidak bisa menahan emosi dan air mata hingga akhirnya menangis begitu saja di tengah-tengah persidangan.
“Saya benar-benar tidak bisa menahan emosi, sehingga menangis begitu saja di tengah-tengah persidangan. Saya kira itu sangatlah manusiawi sebagai warga gereja katolik dan umat Allah manakala mengetahui para pemimpin umat seperti uskup dan pastor dan pemimpin masyarakat seperti Raja Insana dituduh sedemikian keji seperti itu, tanpa dasar yang jelas," ungkapnya.
Ternyata bukan hanya Maisir Lawa yang menangis di ruang sidang. Banyak juga pengunjung sidang yang ikut menangis.
“Kami sebagai umat juga merasa terpukul oleh tuduhan itu. Masa
seorang uskup dan pastor dituduh merampas tanah. Itu tidak mungkin dilakukan oleh Bapa Uskup Emeretus dan para Pastor,” ucap salah seorang pengunjung sidang Philipus Langga sembari mengungkapkan banyak pengunjung yang ikut menangis di ruang sidang.
Terhadap susana emosianal tersebut, Pastor Paroki Kiupukan Romo Donatus Tefa, Pr yang juga sebagai tergugat II mengatakan, situasi tersebut tidak mungkin bisa dikendalikan. Itu terjadi
begitu saja.
“Kami sebagai pihak Tergugat tentu tidak bisa mengendalikan perasaan umat. Bagi saya, tangisan para pengunjung sidang tersebut adalah ungkapan isi hati mereka karena pemimpin mereka dituduh yang bukan-bukan, terutama karena tempat rohani mereka yakni Gua
Santa Maria Siti Bitauni digugat,” ungkap Romo Don.
Lebih lanjut Romo Don menjelaskan, dari sisi iman, keberadaan Gua Maria Siti Bitauni atau yang lebih dikenal dengan Gua Bitauni tidak sekedar dimaknai secara fisik belaka. Melainkan sebagai tempat dimana umat katolik dari berbagai penjuru dunia melakukan devosi-devosi kepada Bunda Maria dan berdoa bersama Bunda Maria dalam menimbah rahmat Allah.