Renungan Harian Kristen Protestan
Renungan Harian Kristen Protestan Selasa 3 Desember 2019 ''Segala Sesuatu Ada Masanya''
Renungan Harian Kristen Protestan Selasa 3 Desember 2019 ''Segala Sesuatu Ada Masanya''
Renungan Harian Kristen Protestan
Selasa 3 Desember 2019
Oleh Pdt. Dr Mesakh A.P. Dethan, MTh, MA
''Segala Sesuatu Ada Masanya''
Mungkin kita kecewa dengan hidup ini karena rasanya tidak adil.
Ada orang yang bisa semaunya memaksakan pendapatnya walaupun itu bertentangan dengan keinginan banyak orang.
Orang lain yang tidak bersusah-susah “memanen” apa yang tidak ditanamnya.
Ambillah contoh untuk suatu hal mayoritas memutuskan untuk Anda yang dipromosikan, tetapi oleh kepentingan tertentu Bos Anda membelokkannya dan menujukkkan sikap otoriter dengan mempromosikan orang lain.
Bukan hanya itu dalam banyak hal mungkin Anda dianaktirikan dan disepelekan bahkan dikorbankan. Kita mungkin berpikir bahwa kita tidak memiliki masa depan.
Jika kita berpikir demikian maka kita keliru. Karena masa depan tidak bergantung kepada nasib kita hari ini tetapi sepunuhnya berada di tangan Allah.
Dalam Pengkhotbag 3:1-8 dikatakan bahwa untuk segala sesuatu di dunia ini ada masanya.
Segala sesuatu dalam dunia ini dan dalam kehidupan manusia berada di bawah satu rangkaian rencana sang Pencipta langit dan bumi.
Ada masa, berupa sebuah periode yang ditetapkan dan waktu berupa kejadian yang ditentukan sebelumnya, untuk semua yang terjadi di bawah matahari.
Sesungguhnya tidak ada kejadian-kejadian yang bersifat kebetulan, karena kejadian-kejadian yang kelihatannya kebetulan, semuanya merupakan bagian dari sebuah rencana sangat besar di tangan Tuhan Allah sendiri.
Ketika seseorang dengan sewenang-wenang menggunakan jabatan dan kuasanya, maka orang itu mungkin sedang berpikir bahwa dia adalah pemenangnya dan orang bisa apa dengan kuasa yang dimilikinya.
Mungkin kita terjebak dalam “game” yang dimainkan oleh orang lalim dan jahat itu dan berpikir bahwa kita “kalah” dan tidak berdaya. Kita mungkin terperangkap dalam kesombongan dan gangguan jiwa orang itu, dan malah lama-lama kita pun berada dalam sikap fatalistik dan terganggu jiwa pula.
Menurut penafsir G.S. Hendry, lihat G.S Hendry, dalam New Bible Commentary, Third Edition, Guthrie, dkk, Inter Varsity Press, Leicester-England, 1970, hlm., 578. kita mesti memiliki perspektif seperti yang dimiliki oleh penulis kitab pengkhotbah, dimana ia memiliki weltanschauung (world-view) bahwa di pusat kehidupan dan sejarah dunia adalah sang Pencipta (Creator) dan bukan makhluk Ciptaan (Creatures). Dan inilah hikmat yang mesti dimiliki orang beriman yang membuatnya kuat. Dan permulaan dari hikmat itu adalah takut akan Tuhan (bandingkan Mazmur 111:10).
Kehidupan orang beriman harus diletakan di tangan Allah dan bukan ditangan manusia. Mengapa? Karena Allah mempunyai rencana bagi setiap orang di muka bumi.
Dari pada terjebak dengan perilaku jahat orang-orang di sekita kita lebih baik kita mempersembahkan diri kepada Allah sebagai persembahan kudus, membiarkan Roh Kudus melaksanakan rencana Allah bagi kita, dan berhati-hati agar kita tidak ke luar dari kehendak Allah sehingga kehilangan waktu dan maksud yang ditetapkan-Nya bagi hidup kita. Jangan membiarkan waktu kita tersita dengan hal-hal sepele yang ditimbulkan oleh perilaku buruk orang lain.
Si penulis pengkhotbah seakan menyakini bahwa seluruh kehidupan, termasuk aktivitas manusia, adalah bagian dari sebuah siklus yang sudah ditentukan.
Walaupun manusia merindukan sesuatu yang lebih dari itu, dia tidak dapat berbuat apa-apa.
Dia harus puas mendapat sedikit kebahagiaan yang bisa diperolehnya sementara dia terlibat dalam siklus kejadian-kejadian yang tak ada henti-hentinya. Kematian membuat semuanya menjadi realtif.
Orang bisa mengumpulkan harta berlimpah tetapi kemudian ia mati dan hartanya tidak dapat dibawa serta dalam dunia orang mati. Inilah kesia-siaan hidup (Pengkhotbah (3: 2, 8; 19-21).
Pada akhirnya kematian membuat semua pengalaman relatif, termasuk yang diakui oleh orang bijak sebagai pusat keberadaan individu dan sosial.
Apa yang kita sangka adil pun sifatnya relatif (3: 16-22), relasi2 (4: 7-12), begitu juga komitmen-komitmen religius (5: 1-6), dan apalagi kekayaan dan manfaatnya (5: 9-10; 6: 1-9) semuanya terasa sia-sia.
Yang membuat tidak sia-sia hanyalah iman dan ketergantungan orang beriman kepada Tuhan.
Manusia selalu berada dalam dua dimensi yang saling bertentangan: kelahiran atau kematian, menanam atau mencabut, hidup atau mati, dan itu semua dialami dalam dimensi waktu yang berada dalam jangkauan dan campur tangan Allah.
Dengan menggunakan bentuk khiastik sipenulis pengkhotbah menuliskan kata-kata indah dalam bentuk puisi untuk menegaskan nilai yang diinginkan dan nilai yang tidak diinginkan.
Sipenulis membuat beberapa paralelisme untuk melukiskan apa yang dianggap baik dan tidak baik atau apa yang diinginkan dan tidak diinginkan. Katakanlah: kelahiran = diinginkan (D) , kematian = tidak diinginkan (U); menanam = diinginkan (D), untuk mencabut apa yang ditanam = tidak diinginkan (U).
D U
2 Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal,
ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam;
3, ada waktu untuk menyembuhkan; ada waktu untuk membunuh
ada waktu untuk membangun; ada waktu untuk merombak,
4 ada waktu untuk tertawa ada waktu untuk menangis, ;
ada waktu untuk menari ada waktu untuk meratap;;
5 ada waktu untuk mengumpulkan batu ada waktu untuk membuang batu,;
ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk;
6 ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi;
ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang;
7 ada waktu untuk menjahit ada waktu untuk merobek,;
ada waktu untuk berbicara ada waktu untuk berdiam diri,;
8 ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci;
ada waktu untuk damai ada waktu untuk perang,.
Orang beriman diminta untuk berhikmat memilih mana yang dilakukannya.
Dengan bentuk khiastik ini sipenulis kitab pengkotbah mengingatkan para pembaca bahwa kehidupan manusia berada dalam rentang waktu kelahiran dan kematiannya, antara cinta dan benci, antara perang dan kedamaian.
Hanya dengan mendekatkan diri dengan Tuhan manusia beriman dengan bijak menentukan langkah hidupnya.
Dan karena Tuhanlah yang mengatur segala sesuatu, maka nikmatilah hidup ini seberapapun nasib kita pada saat ini. Amin