POLEMIK - Ingin Pilkada Oleh DPRD Atau Pilkada Langsung? Simak Sikap Sejumlah Partai Politik di Sini
Ada partai politik yang ingin kembali ke pilkada oleh DPRD, tetapi kebanyakan masih ingin mempertahankan pilkada langsung
Polemik - ingin Pilkada Oleh DPRD atau pilkada langsung? Simak sikap sejumlah partai politik di sini
POS-KUPANG.COM - Sejak Menteri Dalam Negeri ( Mendagri ) Tito Karnavian mempertanyakan relevansi pelaksanaan pilkada langsung dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR, polemik antara mempertahankan pilkada langsung atau kembali ke pilkada oleh DPRD terus bergulir.
Partai politik yang berurusan langsung dengan pilkada inilah yang paling getol. Ada partai politik yang ingin kembali ke pilkada oleh DPRD, tetapi kebanyakan masih ingin mempertahankan pilkada langsung yang sudah berjalan selama ini.
Presiden Partai Keadilan Sejahtera ( PKS) Sohibul Iman, antara lain, tak sepakat dengan wacana penerapan sistem pemilihan kepada daerah (Pilkada) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( DPRD ).
Melansir Kompas.com, Rabu (20//11/2019), Sohibul Iman menilai mekanisme pilkada yang dilaksanakan secara langsung atau dipilih oleh rakyat masih lebih baik ketimbang pemilihan oleh DPRD.
"Kami masih melihat bahwa pemilihan langsung itu masih lebih baik," ujar Sohibul saat ditemui di kantor DPP PKS, Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan, Selasa (19/11/2019).
Menurut Sohibul, pilkada yang dilakukan oleh DPRD dikhawatirkan justru akan melanggengkan praktik oligarki di pemerintahan.
Artinya, kekuasaan pemerintahan hanya akan dipegang oleh segelintir orang atau kelompok tertentu saja.
Ia mencontohkan, jika anggota DPRD di suatu daerah terdiri dari 50 orang, maka kemungkinan jalannya pemerintahan akan dikendalikan oleh 50 orang itu saja.
"Kita menyaksikan bahwa hari ini oligarki dalam politik kita sangat luar biasa. Kalau pilkada dilakukan oleh DPRD maka kemungkinan oligarki semakin berkuasa itu sangat luar biasa. Karena ruang eksploitasinya itu semakin memudahkan mereka untuk kemudian mengelola oligarki ini," ucap Sohibul.
"Karena itu kami masih berpendapt bahwa pemilihan langsung itu masih lebih baik karena para oligarki tidak memiliki keleluasaan yang besar dibanding ketika itu dilaksanakan oleh DPRD," tambahnya.
Di sisi lain, lanjut Sohibul, pemilihan kepala daerah melalui DPRD akan memperkecil peluang orang-orang berintegritas dan memiliki kapabilitas untuk masuk ke dalam kekuasaan.
Sementara, peluang itu terbuka lebar jika kepala daerah dipilih langsung oleh masyarakat.
"Kami berharap orang-orang berintegritas itu semakin banyak masuk dalam sirkulasi kekuasaan," kata Sohibul.
Pro Kontra Pilkada Langsung
Polemik pilkada langsung kembali mencuat dalam beberapa waktu terakhir.
Hal itu tak lepas dari Mendagri Tito Karnavian yang mempertanyakan relevansi pilkada langsung saat ini usai rapat kerja dengan Komisi II DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (6/11/2019).

Ia menilai bahwa pilkada langsung memiliki mudarat yang tak bisa dihindari, seperti halnya banyak kepala daerah yang terjerat korupsi.
Meski demikian, ia juga tidak menafikan manfaat pilkada langsung bagi demokrasi.
Oleh karena itu, Tito menganjurkan adanya kajian dampak dan manfaat dari pilkada langsung.
Wacana pilkada langsung kembali ke DPRD pun mulai ramai diperbincangkan.
Pilkada Langsung
Menanggapi pernyataan Mendagri, Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily mengatakan bahwa partainya tetap konsisten menginginkan pilkada dilakukan secara langsung.
"Ya kita sejauh ini masih konsisten bahwa pilkada lebih baik dilaksanakan secara langsung," kata Ace, dikutip dari pemberitaan Kompas.com, Minggu (7/11/2019).
Hasan tak mempersalahkan apabila pilkada langsung dievaluasi, tetapi ia juga menegaskan bahwa pilkada langsung memiliki dampak positif.
Justru penghapusan pilkada langsung menjadi pertanda kemunduran demokrasi.
Menurutnya, pilkada langsung diubah menjadi pilkada tak langsung, hal itu bukan bentuk evaluasi.
Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera juga menekankan bahwa pilkada langsung baik bagi kesejahteraan rakyat.
Karena itu, ia menilai bahwa pilkada langsung dipertahankan.
"Pilkada langsung memberi hak yang prinsip bagi rakyat untuk menentukan pilihannya," ujar Mardani, seperti dikutip dari pemberitaan Kompas.com, Senin (8/11/2019).
"Dan karena dipilih rakyat lewat pilkada langsung, kepala daerah punya posisi yang kuat karena sulit untuk dijatuhkan oleh DPRD. Dan ini memberi hak eksekutif yang kuat pada APBD," lanjutnya.
Sementara itu, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai wacana pengembalian pilkada langsung ke DPRD merupakan bentuk pemberangusan hak konstitusi warga negara.
Mereka juga menilai wacana itu akan melemahkan partisipasi warga yang mulai menguat.
Seharusnya keseriusan pemerintah tertuju pada pengaturan batasan belanja kampanye yang realistis dan memadai pada UU Pilkada.
Ketegangan Politik
Meski tak menyatakan secara langsung, beberapa kalangan menyoroti pelaksanaan pilkada langsung.

Menurutnya, pilkada langsung selain berbiaya mahal juga memunculkan oligarki baru, yaitu kaum pemegang modal dan pemilik akses media yang luas.
Ia menilai jika pilkada langsung mengubah demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat menjadi demokrasi yang berbasis kekuatan kapital.
PDIP sendiri, menurut Hasto, sejak dulu memilih pimpinan semua level kepengurusan tanpa mekanisme pemilihan langsung, melainkan melalui proses musyawarah.
PPP Dukung Evaluasi Pilkada
Sebelumnya, Sekretaris Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi mengatakan partainya mendukung usulan pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap pilkada langsung dilihat dari manfaat dan mudaratnya.
Menurutnya, evaluasi penting karena tujuan dari demokrasi adalah untuk kesejahteraan rakyat. Bukan membuat rakyat sengsara karena maraknya perilaku koruptif.
"Banyaknya operasi tangkap tangan (OTT) kepala daerah ternyata bermotif sama, yakni untuk menutupi biaya politik yang tinggi. Yang dalam hal ini Kemendagri dan KPK memiliki datanya," kata Baidowi melalui keterangannya, Kamis (7/11/2019).
Ia mengatakan, satu di antara kelemahan pilkada langsung yakni tingginya biaya politik sehingga menyebabkan terjadinya orientasi balik modal ketika menjabat.
Pria yang akrab disapa Awiek ini menilai pilkada langsung tetap bisa dilakukan namun instrumen pembiayaan yang tinggi bisa dikurangi.
"Misalnya waktu pelaksanaan kampanye yang diperpendek, lalu subsidi ataupun penyediaan saksi oleh negara untuk menciptakan fairness, penguatan Bwaslu dengan menambah satgas money politic. Kalaupun ada penambahan biaya, itu disiapkan negara bukan pembengkakan biaya di calon yang menyebabkan munculnya orientasi balik modal," ujarnya.
Cara lain, lanjutnya, memberikan sanksi bagi partai politik yang terbukti menerapkan mahar dalam proses pencalonan.
"Sanksi berat berupa diskualifikasi hingga pembubaran parpol," pungkasnya.
Sumber: Kompas.com/Tribunnews.com