Gubernur NTT Minta Pemkab Kupang Siapkan Narasi yang Baik Soal Sejarah Budaya, Simak YUK
Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) sangat peduli dengan aneka ragam budaya di NTT. Untuk memperkenalkan sejarah budaya yang di
Penulis: Edy Hayong | Editor: Ferry Ndoen
Laporan Reporter POS KUPANG.COM, Edi Hayong
POS KUPANG.COM I OELAMASI--Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) sangat peduli dengan aneka ragam budaya di NTT.
Untuk memperkenalkan sejarah budaya yang diwariskan leluhur, maka Pemkab Kupang dan masyarakat perlu juga menyiapkan narasi yang baik, agar dapat diketahui oleh siapapun yang datang berkunjung ke daerah ini.
Sebagaimana yang dilaporkan Kasubag Pers dan Pengelolaan Pendapat Umum Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi NTT, Valeri Guru, dalam siaran Pers Biro Humas, bahwa Gubernur Viktor pada Sabtu (16/11/2019) bertatap muka dengan jemaat di Gereja Ebenhaeser Enoraen Kecamatan Amarasi Timur, Kabupaten Kupang.
Gubernur VBL meminta kepada masyarakat untuk menyiapkan narasi yang baik agar dapat diketahui oleh masyarakat yang datang berkunjung ke daerah ini.
Narasi disiapkan dengan baik yang dimaksudkan Gubernur Viktor seperti tariannya harus diceritakan arti dan makna nya sehingga semua orang dapat mengetahui dan menikmati apa yang disuguhkan, termasuk narasi tentang Pulau Menipo.
Informasi yang diperoleh tentang legenda Pulau Menipo yakni Meni (nenek) dan Fon (bai) berasal dari suatu tempat yang bernama Naib Nunmanu di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
Di suatu senja, Meni dan Fon duduk di depan rumah mereka sambil melihat ke arah matahari terbenam sembari berencana untuk pindah rumah dan membawa serta segala ternak milik mereka antara lain sapi dan kuda.
Tiba saatnya mereka bergegas untuk pindah ke Pulau Menipo; karena perjalanan yang jauh, mereka berdua istirahat di suatu tempat yang bernama Toikola; mereka memotong pohon gewang untuk membuat laru agar dapat diminum dan isi dari pohon tersebut dimanfaatkan untuk ternak mereka.
Selanjutnya mereka berjalan dan tiba di suatu tempat yang bernama Boni, kebetulan tempat itu banyak air sehingga mereka beristirahat di situ untuk memberi minum kuda dan sapi.
Selanjutnya mereka berjalan menuju Pulau Menipo dengan membawa Fatum Tera atau batu duduk dan tiba di suatu tempat yang bernama Fefa Pur'ana atau muara pulau kecil dan mereka memilih untuk beristirahat selama seminggu.
Setelah tiba di Pulau Menipo mereka membuat rumah dan tinggal bersama ternak mereka. Kebetulan di Pulau Menipo terdapat banyak rusa.
Seiring berjalannya waktu, Meni dan Fon mempunyai tiga anak yakni dua anak laki-laki dan seorang perempuan. Suatu hari terjadi tsunami di pulau itu, sehingga mereka memutuskan untuk pindah dari Pulau Menipo.
Mereka bergegas ke tempat yang bernama Nuat atau gua dan mereka tinggal bersama di situ. Karena faktor usia, Meni dan Fon akhirnya meninggal dunia dan dimakamkan di Nuat.
Setelah itu anak-anak mereka memutuskan untuk berpisah dan mencari tempat tinggal masing-masing dan hidup saling menyapa atau Mkoenomneu (selamat jalan atau jalan sudah).
Anak laki-laki yang pertama memilih untuk masuk ke air laut dan berubah menjadi buaya. Anak kedua memutuskan untuk pergi ke Kupang; ke tempat yang bernama Taimetan.
Anak ketiga memutuskan untuk pergi ke arah matahari terbit yang bernama Sonbai; anak perempuan itulah yang menjaga kumbang air atau Kusi.
Masyarakat percaya kalau tidak hujan mereka berdoa dan meminta kepada Kusi dan akhirnya hujan pun turun.
Legenda ini masih pro dan kontra di tengah masyarakat. Namun berkas-berkasnya sudah mulai ditorehkan dan seiring berjalannya waktu dan bergantinya generasi pasti akan didapat cerita tentang Pulau MeniFon yang sebenarnya.
Karena mantan Kepala BKSDA Provinsi NTT itu pernah dijabat oleh suku Jawa sehingga mereka tidak bisa melafalkan suku kata Menifon dengan benar maka sekarang pulau itu tertulis menjadi Pulau Menipo; sesungguhnya yang benar adalah Menifon yang berasal dari Meni (nenek) dan Fon (bai).