Cerita Eks Caleg Gerindra Dipecat Sehari Jelang Lantik, Pengamat: Partai Masih Proporsional Tertutup
Contohnya Misriyani Ilyas. Mantan Caleg terpilih Gerindra ini batal dilantik sehari jelang Pelantikan karena dipecat partai.
Cerita Eks Caleg terpilih Gerindra Dipecat Sehari Jelang Pelantikan, Pengamat: Partai Masih Pakai Sistem Proporsional Tertutup?
POS-KUPANG.COM, JAKARTA - Caleg terpilih hasil Pemilu 2019 sudah dilantik pada bulan September 2019. Namun, masih ada cerita seputar caleg yang batal dilantik.
Contohnya Misriyani Ilyas. Mantan Caleg terpilih Gerindra ini batal dilantik sehari jelang Pelantikan karena dipecat partai.
Hal ini tentu saja membuat Misriyani Ilyas kecewa berat karena dia terbukti meraih suara terbanyak pada saat pemilu.
Sistem mana yang dipakai partai untuk memecat Misriyani Ilyas? Proporsianal terbuka atau Proporsional tertutup?
Mantan calon anggota legislatif terpilih Gerindra Misriyani Ilyas menangis sambil menceritakan kisahnya dipecat partai satu hari sebelum pelantikan anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan.
"Saya sudah melaksanakan gladi, tanggal 23 (September) itulah yang saya mendapat kabar bahwa ada surat dari DPP yang ditujukan kepada DPD Gerindra Sulawesi Selatan," kata Misriyani di acara diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Senin (28/10/2019).
Misriyani berkata-kata sambil terisak dan meneteskan air mata.
Misriyani merupakan caleg Gerindra yang maju dalam pemilihan anggota DPRD daerah pemilihan Sulawesi Selatan II.
Oleh KPU Provinsi Sulsel, Misriyani Ilyas telah ditetapkan sebagai Caleg terpilih karena meraih suara terbanyak sebesar 10.057.
Namun, satu hari jelang pelantikan, yaitu 23 September 2019, Misriyani mendapatkan kiriman surat dari Gerindra yang menyatakan dirinya diberhentikan dari partai.
Atas pemberhentian itu, Misriyani Ilyas pun batal dilantik sebagai anggota DPRD.
"Saya mendapatkan empat surat yang isinya tentang pemberhentian saya, penundaan pelantikan yang ditujukan ke KPU, dan langkah administrasi yang dilakukan atas nama DPP terhadap pemberhentian saya dan penggantian nama caleg terpilih," lanjut dia.
Misriyani terkejut dengan keputusan Gerindra. Sebab, sejak 13 Agustus 2019 dirinya sudah mengantongi surat keputusan (SK) KPU yang memuat namanya sebagai caleg terpilih.
Nama Misriyani sebagai caleg terpilih pun sudah diserahkan KPU kepada Menteri Dalam Negeri.
Tetapi, adanya surat pemecatan dari Gerindra membuat Misriyani Ilyas tak bisa melakukan apa-apa. Terlebih lagi, surat itu dikirim satu hari jelang pelantikan.
"Jam 23.00 WIB malam, 23 September, saya mendapatkan kabar bahwa Mendagri tidak memasukkan nama saya sebagai calon yang akan dilantik pada 24 September," ujar Misriyani.
"Di situlah saya sangat shock sekali dan tidak tahu harus bagaimana kecuali menerima kenyataan besoknya saya tidak hadir dalam pelantikan," lanjut dia.
Meskipun tidak ikut pelantikan, Misriyani tetap berusaha untuk meminta klarifikasi dari Gerindra atas pemecatan dirinya.
Saat bertanya ke Ketua DPD Gerindra, Misriyani tidak mendapat jawaban. Sebab, Ketua DPD Gerindra pun mengaku tidak dimintai klarifikasi atas pemberhentian Misriyani.
Misriyani lantas berusaha melakukan klarifikasi ke DPP Gerindra. Ia juga meminta DPP mencabut pemberhentian dirinya.
Namun, hingga saat ini upayanya belum membuahkan apa pun.
Misriyani percaya bahwa peristiwa ini bukan ulah Gerindra. Ia meyakini bahwa ada oknum yang mengatasnamakan partai yang ingin menjegal dirinya.
"Jadi tolong digarisbawahi, ini bukan Partai Gerindra yang melakukan. Tapi saya yakin yang melakukan ini adalah oknum yang menginginkan kelompoknya yang berada di sini," kata Misriyani sambil menangis lagi.
Tanggapan KPU
Komisioner Komisi Pemilihan Umum ( KPU), Evi Novida Ginting Manik, mengatakan, pihaknya telah patuh pada Peraturan KPU (PKPU) dalam mengeluarkan surat keputusan (SK) perubahan penetapan calon legislatif terpilih.
Menurut Evi, dalam PKPU Nomor 5 Tahun 2019 memang diatur tentang syarat penggantian calon terpilih. KPU, kata dia, hanya menjalankan aturan tersebut.
"Tentu kami sangat prihatin terhadap ibu dan yang lain," kata Evi terhadap Misriyani dalam sebuah diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Senin (28/10/2019).
"Tetapi KPU terikat dengan PKPU. Kami berpegang pada PKPU bahwa bila ada fakta tentang persyaratan penggantian caleg terpilih itu terpenuhi, kami tidak bisa menghindar," kata dia.
Dalam Pasal 32 PKPU Nomor 5 Tahun 2019, diatur lima hal yang memungkinkan seorang caleg terpilih diganti oleh caleg lain.
Pertama, jika caleg meninggal dunia. Kedua, jika caleg terpilih mengundurkan diri. Kemudian, jika caleg tidak memenuhi syarat menjadi anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/Kota.
Keempat, jika caleg terbukti melakukan tindak pidana berupa politik uang atau pemalsuan dokumen. Terakhir, jika caleg terbukti melakukan pelanggaran larangan kampanye.
Aturan yang sama tertuang dalam Pasal 426 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Dalam kasus Misriyani, ia dipecat oleh partai sehingga Misriyani tak lagi memenuhi syarat sebagai anggota DPRD.
Jika partai mengusulkan penggantian caleg terpilih, KPU akan melakukan klarifikasi.
KPU punya kewenangan untuk mengecek kelengkapan persyaratan penggantian caleg, seperti surat yang menyatakan seseorang tak lagi memenuhi syarat sebagai caleg karena tak lagi menjadi bagian dari partai.
Sementara itu, usulan penggantian caleg terpilih hingga pemecatan anggota partai, kata Evi, sepenuhnya adalah kewenangan partai politik.
"Bahwa ada surat keputusan partai terkait dengan pemberhentian keanggotaan, itu kan tentu sudah harus masuk ke dalam mekanisme penggantian calon terpilih karena ini merupakan bagian yang ada, diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dan di Peraturan KPU, kita ini kan kami merespons," kata Evi.
Pengamat: Cara Berpikir Partai Masih Proporsional Tertutup
Wakil Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, Hurriyah, mengatakan, partai politik di Indonesia mayoritas masih menjalankan mekanisme proporsional tertutup.
Artinya, partai mengambil peran dalam menentukan calon legislatif terpilih yang berhak melenggang ke DPR atau DPRD.
Padahal, mekanisme yang berlaku saat ini berupa proporsional terbuka. Seharusnya, caleg yang dinyatakan terpilih adalah yang mendapat suara terbanyak karena dipilih rakyat.
"Perubahan ini sayangnya tidak diikuti dengan perubahan cara berpikir partai. Jadi partai itu seolah-olah masih menganggap sistem pemilu kita sebagai sistem proporsional tertutup," kata Hurriyah usai sebuah diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Senin (29/10/2019).
"Jadi betul pemilih bisa pemilih calonnya sendiri, tetapi parpol masih memainkan peran yang signifikan," ucap dia.
Menurut Hurriyah, akibat penerapan sistem tertutup itu, ketika terjadi sengketa antar-caleg satu partai, penyelesaiannya ditempuh melalui mekanisme internal yang ruangnya gelap.
Caleg pun mau tak mau harus patuh pada keputusan partai.
"Nah ini yang kita anggap sistem pemilu kita masih memakai sistem proporsional tertutup di mana mereka punya peran besar, padahal kan tidak seperti itu semestinya," ujar Hurriyah.
Untuk menyelesaikan persoalan ini, kata Hurriyah, Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus lebih progresif.
Sebagai lembaga penyelenggara pemilu, KPU dinilai punya wewenang untuk menyelesaikan sengketa internal parpol secara adil sesuai undang-undang.
"Saya ingin lihat di mana sikap KPU dalam hal ini. Jadi sejarah akan mencatat dalam kasus seperti ini ketika partai semena-mena KPU itu posisinya di mana," kata dia.
Sumber: Kompas.com