Komentar Fahri Hamzah Soal Pimpinan KPK Serahkan Mandat Tapi Tetapkan Menpora Imam Nahrawi Tersangka
Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah mengaku heran dengan para pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Komentar Fahri Hamzah Soal Pimpinan KPK Serahkan Mandat, Tetapkan Menpora Imam Nahrawi Tersangka
POS-KUPANG.COM, JAKARTA - Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah mengaku heran dengan para pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ia menyebut, tiga pimpinan lembaga antirasuah tersebut sudah menyerahkan mandat pengelolaan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK kepada Presiden Joko Widodo. Langkah itu, menurut Fahri, adalah pernyataan mundur dari jabatan.
Namun, hingga saat ini mereka masih aktif bekerja, bahkan bisa menetapkan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi sebagai tersangka.
"Bagi saya, ini ada semacam konflik moral luar biasa yang harusnya tak boleh terjadi di lembaga seperti KPK," ujar Fahri saat dihubungi, Kamis (19/9/2019).
"Sebab, lama-lama yang rusak lembaganya karena orang melihat, oh di KPK masih bisa main-main dan jadi tempat main-main," lanjut dia.
Menurut Fahri Hamzah, KPK saat ini yang masa jabatannya bakal habis Desember 2019, tak lagi memiliki legitimasi moral akibat penyerahan mandat kepada Presiden Jokowi itu.
"Tiga Pimpinan KPK ini sebenarnya mempunyai legitimasi moral yang sudah jatuh akibat tindakan sembrono mengundurkan diri dan menyerahkan mandat ke Presiden," kata Fahri.
Penyerahan mandat itu dilakukan karena pimpinan KPK merasa tidak pernah diajak berdiskusi dalam pembahasan revisi Undang-Undang KPK yang sudah disahkan DPR.
Saut Situmorang sebelumnya bahkan sempat menulis surat pengunduran diri sebagai komisioner KPK.
Oleh karena itu, poltikus yang masuk ke dalam organisasi Garbi ini menilai, Presiden mesti segera melantik pimpinan KPK terpilih. Ia memastikan, pelantikan yang dipercepat itu tak akan melanggar UU.
Lima pimpinan KPK 2019-2023 terpilih dalam voting Komisi III DPR, Jumat (13/9/2019) dini hari, yakni Firli Bahuri (Ketua KPK), Alexander Marwata, Nawawi Pomolango, Lili Pintauli Siregar dan Nurul Ghufron.
" Pimpinan KPK baru yang telah terpilih bisa sekaligus dilantik lima-limanya. Tidak ada masalah. Secara UU itu tidak masalah. Sebab Keppres hanya mengatur kapan dia mulai," ujar dia.
Langkah Agus Cs dan Tanggapan Presiden
Diketahui, Saut Situmorang menyampaikan pesan pengunduran dirinya sebagai Pimpinan KPK periode 2015-2019 pada Jumat (13/9/2019) lalu. Pernyataan itu disampaikan Saut Situmorang lewat surat elektronik ke jajaran pegawai KPK.
Ia menyebut, surat pengunduran diri akan disampaikan, Senin (16/9/2019).
Namun, Agus Rahardjo, Senin siang, memastikan, Saut Situmorang tidak mengundurkan diri. Saut Situmorang hanya meminta cuti selama sepekan.
"Pak Saut cuti. Belum belum (mundur). (Cuti) seminggu kalau enggak salah," kata Agus usai pelantikan Sekretaris Jenderal dan Direktur Penuntutan KPK di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin.
Sementara, Agus Rahardjo dan Laode pada hari yang sama menyatakan, menyerahkan mandat pengelolaan KPK kepada Presiden Jokowi.
Alasannya, sebagai pimpinan KPK, mereka mencemaskan revisi UU KPK yang sedang berlangsung di lembaga wakil rakyat, Senayan. Bahkan, mereka merasa tidak dilibatkan di dalamnya.
Agus cs pun khawatir pembahasan revisi UU KPK itu akan melemahkan KPK secara kelembagaan.
"Terus terang penilaian yang masih sementara, tapi kami mengkhawatirkan itu (melemahkan KPK)," ujar Agus.
Setelah menyerahkan mandat pengelolaan KPK secara kelembagaan kepada Presiden, mereka akan menunggu respons Presiden Jokowi. Apakah Presiden masih mempercayakan kelembagaan KPK kepadanya hingga akhir Desember 2019 atau tidak.
"Kami menunggu perintah apakah kemudian kami masih akan dipercaya sampai Desember (2019), atau kami menunggu perintah itu dan kemudian akan tetap beroperasional seperti biasa? Terus terang kami menunggu perintah itu," kata Agus.
"Mudah-mudahan kami diajak bicara oleh Bapak Presiden untuk menjelaskan kegelisahan seluruh pegawai kami dan juga isu-isu yang sampai hari ini kami enggak bisa jawab," lanjut dia.
Menanggapi langkah Agus cs, Presiden Jokowi menegaskan bahwa KPK tidak mengenal mekanisme pengembalian mandat kepada Presiden.
"Dalam Undang-Undang KPK tidak ada, tidak mengenal yang namanya mengembalikan mandat. Enggak ada, enggak ada," kata Jokowi di Jakarta, Senin siang.
"Yang ada itu, mengundurkan diri, ada. Meninggal dunia ada, terkena tindak pidana korupsi, iya. Tapi yang namanya mengembalikan mandat tidak ada," lanjut dia.
Presiden menegaskan terbuka untuk bertemu para pimpinan KPK, menampung aspirasi mereka soal revisi UU KPK.
Ia pun mempersilakan pimpinan KPK mengajukan pertemuan kepada Menteri Sekretaris Negara.
"Tanyakan ke Mensesneg, ada enggak pengajuan itu. Kalau ada, tentu akan diatur waktunya dengan acara yang ada di Presiden," kata dia.
Meski demikian, hingga revisi UU KPK disahkan, hingga hari ini pimpinan KPK belum bertemu dengan Presiden Jokowi.
Nawawi Pomolango
Nawawi Pomolango yang terpilih menjadi salah satu pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diketahui belum mengundurkan diri dari jabatannya sebagai hakim tinggi di Mahkamah Agung ( MA ).
Hal tersebut disampaikan Ketua MA Hatta Ali di kantornya, Kamis (19/9/2019).
Kendati demikian, pihaknya akan menanyakan status Nawawi Pomolango tersebut apakah mundur sebagai hakim atau cuti di luar tanggungan negara.
"Sampai sekarang belum (mengundurkan diri). Tapi nanti dipertanyakan bahwa apakah harus mundur atau bisa tetap menyandang dengan status cuti di luar tanggungan negara," kata Hatta.
Dia mengatakan, MA belum bisa membahas lebih jauh dikarenakan sampai saat ini yang bersangkutan belum dilantik sebagai komisioner KPK.
Selain itu, pihaknya juga akan mempelajari aturan apa yang tepat dan dapat diterapkan untuk status Nawawi Pomolango ke depannya.
"Nanti kami tanyakan, nanti kami mempelajari aturannya. Sampai sekarang belum (mundur) karena beliau belum dilantik, nanti Desember," kata dia.
Adapun Nawawi Pomolanggo berhasil menjadi salah satu pimpinan KPK terpilih dari fit and proper test yang dilakukan DPR sebagai seleksi akhir seleksi calon pimpinan KPK.
Nawawi Pomolango terpilih bersama 4 orang lainnya, yakni Alexander Marwata, Firli Bahuri, Lili Pintauli Siregar, dan Nurul Gufron.
Hatta Ali pun berharap agar Nawawi Pomolango dapat tetap menegakkan hukum dan memberantas korupsi tanpa pandang bulu setelah menjadi pimpinan KPK.
"Harapan kami, semoga penegakan hukum dalam hal tindak pidana korupsi mudah-mudahan tetap dijalankan secara baik, tanpa pandang bulu," tutup Hatta.
Nawawi Pomolango (57) saat ini menjabat sebagai Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi Denpasar, Bali.
Karier Nawawi sebagai hakim dimulai pada 1992 di Pengadilan Negeri Soasio, Tidore.
Sebelum menjabat sebagai hakim tinggi di Denpasar, Nawawi Pobolango pernah menjabat sebagai Ketua PN Jakarta Timur pada tahun 2016-2017.
Tercatat, ia pernah menangani beberapa kasus tindak pidana korupsi besar.
Dikutip dari Harian Kompas, pada 2013, Nawawi Pobolango menangani kasus suap pengaturan kuota impor sapi dan pencucian uang yang menjerat mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Luthfi Hasan Ishaaq.
Pada tahun yang sama, ia juga menangani kasus korupsi pengadaan alat kesehatan dan perbekalan pada tahun anggaran 2006-2007 di Kemenkes.
Kasus tersebut menjerat mantan Direktur Bina Pelayanan Medik Dasar Kementerian Kesehatan Ratna Dewi Umar.
Pada 2017, Nawawi menangani kasus suap yang melibatkan mantan hakim konstitusi, Patrialis Akbar.
Gagasan Nawawi untuk KPK
Saat menjalani fit and proper test, Nawawi Pobolango menyatakan setuju dengan beberapa poin yang ada dalam revisi UU KPK.
Dalam hal penerbitan SP3, Nawawi Pobolango menganggap bahwa KPK perlu memiliki kewenangan menerbitkan SP3.
Menurut dia, kewenangan SP3 sejalan dengan asas kepastian hukum.
"Itu hanya sekadar pembeda dari penegak hukum yang lain. Jadi tidak ada dasar filosofis yang lain, hanya sebagai pembeda saja. Padahal SP3 ini seirama dengan asas kepastian hukum," kata Nawawi seperti dikutip dari Kompas.com (11/9/2019).
Ia juga sepakat jika kewenangan penyadapan KPK diperketat dan diawasi.
Menurut Nawawi Pobolango, KPK membutuhkan sebuah lembaga pengawas internal yang berfungsi untuk mengawasi dan memberikan izin penyadapan.
"Seharusnya ada izin dari dewan atau apa pun namanya. Harus ada pengawasan. Agar hati-hati dalam penyadapan," kata Nawawi seperti diberitakan Kompas.com, Rabu (11/9/2019).
Selama menjalani profesi sebagai hakim, Nawawi Pobolango mengaku pernah menemukan praktik penyadapan yang tak relevan dengan kasus korupsi yang sedang ditangani.
Selain itu, Nawawi Pobolango juga tidak sepakat jika izin penyadapan dilakukan dalam tahap penyidikan.
Pada poin yang lain, Nawawi Pobolango menyatakan kritiknya terhadap keberadaan Wadah Pegawai (WP) KPK.
Menurut dia, revisi UU KPK diperlukan untuk mengubah status WP KPK agar dikategorikan sebagai aparatur sipil negara (ASN).
Nawawi menilai, selama ini WP KPK justru sering berbeda sikap dengan keputusan politik pemerintah, bahkan seperti oposisi.
"Sehingga (setelah revisi) tidak ada cerita wadah pegawai jadi oposisi kebijakan politik pemerintah," kata Nawawi.
Sumber: Kompas.com