Cerita Warga Timor Leste di Australia Setelah 20 Tahun Referendum, Refleksi Perjuangan Tiga Generasi
Pada hari Jumat (30/8/2019) negara Timor Leste memperingati 20 tahun Referendum untuk melepaskan diri dari Indonesia.
20 Tahun Referendum: Refleksi Perjuangan Bagi Tiga Generasi Timor Leste di Australia
POS-KUPANG.COM - Pada tahun 1975, Kuon Nhen Lay bergabung dengan kelompok pejuang separatis menentang pendudukan Indonesia di Timor Leste, sehari sebelum istrinya melahirkan.
Kuon yang saat itu berusia 34 tahun dikenal sebagai 'pejuang gerilya', tapi harus menyembunyikan identitasnya demi melindungi keluarganya.
Ia pun terpaksa mengirimkan istri dan anaknya yang baru lahir ke Australia, sementara dirinya melakukan perjuangan di tanah kelahirannya.
"Militer Indonesia membunuh orang di mana saja, mereka tak peduli jika warga bersenjata atau tidak," ujar Khuon yang baru berkumpul lagi dengan keluarganya di Melbourne pada tahun 1981.
"Saya tidak mau meninggalkan Timor Leste, tapi saya harus," ujarnya kepada ABC News.

Kuon Nhen Lay adalah satu dari sejumlah warga Timor Leste yang pergi ke Australia menyusul aksi militer yang dilakukan Indonesia yang menewaskan setidaknya 100.000 orang.
Tanggal 30 Agustus 1999, dilakukan referendum atau pemungutan suara, untuk menentukan masa depan mereka dengan didukung oleh PBB.
Hasilnya mereka memilih berpisah dari Indonesia, tapi hasil ini justru memicu sejumlah konflik dan kekerasan.
Australia pun pernah memimpin pasukan penjaga perdamaian untuk menghentikan kekerasan di negara baru tersebut.
Berjuang untuk kebebasan: Kuon Nhen, 78 tahun

Setelah tiba di Australia pada tahun 1981, Kuon Nhen Lay terus menggencarkan kampanye kemerdekaan Timor Leste, bekerja sama dengan tokoh pemimpin pejuang Timor, seperti Jose Ramos Horta dan Mari Alkatiri.
Menjelang jajak pendapat kemerdekaan di tahun 1999, ia mengajak agar semua warga komunitas Timor di negara Victoria ikut memberikan suaranya, bahkan dengan rela mendatangi mereka dari rumah ke rumah.
"Mereka tidak mau muncul di TV atau koran, karena mereka takut kalau keluarga mereka di Timor Timur bisa dipenjara," katanya kepada ABC.
"Saya tahu kita akan mendapat kebebasan, luar biasa rasanya."