Renungan Harian Kristen Protestan
Renungan Harian Kristen Protestan, 31 Juli 2019:"Apakah yang Kita Cari Sebetulnya, Uangkah?"
Budak uang itu menjadikan seseorang tidak pernah puas dengan uang dan penghasilannya. Sudah berlimpah namun masih terus mencari
Renungan Harian Kristen Protestan
Rabu, 31 Juli 2019
Pdt. Jehezkiel Pinat, STh
Pendeta GMIT Baitel Bokong Takari dan Mahasiswa Pasca Sarjana UKAW
"Apakah yang Kita Cari Sebetulnya, Uangkah?"
Jemaat Tuhan sekalian yang Tuhan Yesus Kristus kasihi.
Akhir-akhir ini ada sebuah kecenderungan yang mulai timbul di antara kita. Dulu-dulu ada yang namanya gotong royong.
Bila ada sebuah pengumuman untuk bekerja menyelesaikan sesuatu, semua orang akan berusaha untuk turut terlibat. Tetapi kini bila hanya untuk gotong royong, sedikit orang yang mau hadir.
Namun kalau bilang pekerjaan itu ada rangsangan berupa uang dalam jumlah yang cukup menggiurkan, pasti banyak orang ingin ikut kerja. Sama halnya dengan bila ada undangan untuk mengikuti sebuah kegiatan.
Bila ada uang duduk, orang mau saja ikut tetapi kalau hanya sekedar hadir, siapa yang mau buang waktu.
Beberapa orangtua bercerita bahwa sekitar tahun 80-an sampai 90-an orang masih bisa membagi tanah kepada mereka yang benar-benar membutuhkannya.
Kini seiring dengan tanah sudah mempunyai harga, sekalipun memiliki hubungan darah termasuk lahir dari satu rahim, bisa menjadi persoalan.
Akhir-akhir ini di media massa kita membaca, mendengar dan juga menonton bahwa begitu banyak orang ditangkap untuk kasus yang berhubungan dengan uang atau harta.
Padahal orang pintar, berjabatan, usaha di mana-mana dan diyakini miliki harta berlimpah.
Banyak anak-anak muda terutama usia sekolah sampai kuliah rela menjual tubuhnya secara langsung maupun melalui media sosial.
Ada juga menjual sesamanya sehingga sekarang ini pemerintah dan lembaga-lembaga kemanusiaan lagi berupaya membangkitkan kesadaran berhenti memperdagangan manusia.
Mengapa pembicaraannya sudah akan berbeda kalau bicara tentang uang dan harta? Mengapa uang memiliki kekuatan yang begitu luar biasa sehingga mengubah cara pandang, menghilangkan nilai-nilai moral dan etika dari manusia?
Uang itu manusia ciptakan dengan tujuan melayani manusia. Mempermudah dalam kehidupan ini. Sebelum manusia mengenal dan memakai uang, kita kenal istilah barter.
Misalkan saja orang Ndao memberi ikan kering dan orang Rote membalasnya dengan beras. Tidak mungkin dari Rote ke Kupang harus bawa beras dan sayur untuk persediaan selama satu minggu.
Tetapi sekarang apakah uang masih melayani kita ataukah malah sebaliknya kita melayani uang dan menjadi budak uang?
Dalam pembacaan Alkitab Pengkhotbah 7:9-19, si penulis Pengkhotbah menyampaikan kepada kita ciri-ciri orang yang menjadikan uang sebagai budaknya dan begitu pula sebaliknya.
Budak uang itu menjadikan seseorang tidak pernah puas dengan uang dan penghasilannya. Sudah berlimpah namun masih terus mencari hingga melupakan kesehatannya sampai lupa untuk makan atau dengan sengaja menahan lapar.
Tidak istirahat karena waktu adalah uang. Nanti ketika sudah punya banyak uang, tubuh telah menderita banyak penyakit. Semua yang dikumpulkan, pakai untuk mengobati tubuh yang sakit.
Uang jadi ukuran cinta dan kebahagiaan. Ketidakpuasan itu membuat orang berusaha dapatkan dengan berbagai macam cara sekalipun bertentangan dengan kehendak Tuhan, sakiti diri dan ribut dengan sesama.
Beberapa di antara kita karena sibuk mengumpulkan harta, mengabaikan waktu untuk keluarganya. Tidak pernah bercerita dengan anak-anak atau pasangan hidup tentang apa yang mereka pelajari atau buat sepanjang hari.
Uang membuat kita tidak berkumpul dengan keluarga atau tetangga terdekat.
Pengkhotbah mengingatkan kita bahwa sebagaimana kita datang nantinya kita pulang dengan keadaan demikian. Semua yang kita usahakan, ketika waktu lilin padam, orang lain juga yang akan menikmatinya.
Selalu berpikir tentang uang dan harta menghabiskan hari-hari hidup kita dengan sebuah beban. Ia selalu takut akan kehilangan. Rasa susah bila nanti hilang. Menjadi marah bila ada yang mengambil.
Cinta uang jadikan kita hanya memikirkan diri sendiri. Kita menjadi egois dan bertambah rakus, bila berbagi pun karena memakai prinsip ekonomi.
Dengan modal sekecil-kecilnya akan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Bila hartanya hilang lenyap maka hari-harinya penuh dengan kemalangan, kesusahan, penderitaan dan kekesalan atau mungkin mulai menyalahkan diri dan orang lain.
Kita pernah mendengar atau melihat bahwa ketika orang kehilangan semua hartanya bisa jadi gila dan mengakhiri hidupnya.
Karena itu seperti kata Pengkhotbah menjadi budak uang dan harta membuat hidup menjadi sia-sia.
Lalu bagaimana dengan yang menjadikan uang dan harta sebagai budaknya? Tidak sekalipun tunduk pada uang dan harta?
Semua itu digambarkan ayat 17 sampai 19. Makan minum dan bersenang-senang dengan segala usaha yang dilakukan dengan jerih payah di bawah matahari selama hidup yang pendek, yang Allah karuniakan kepadanya.
Kebahagiaan seperti itu karena memandang semua kekayaan, harta benda dan kuasa adalah milik Tuhan yang dikaruniakan padanya.
Termasuk rasa sukacita yang ia miliki pun adalah karunia Tuhan. Ayat 19 perlu untuk kita ingat baik-baik bahwa bagi mereka yang tidak menjadi budak uang dan harta, tidak memikirkan tentang umurnya karena Allah membiarkan dia sibuk dengan kesenangan hatinya.
Itu berarti mereka berjerih lelah dalam hidupnya ini dengan sebuah pemahaman bahwa Tuhan pasti memberi berkat padanya setelah melihat usahanya.
Ketika menyadari bahwa semua adalah karunia Tuhan, dengan sendirinya ketika bekerja dan dapatkan semua harta, tidak pakai hanya untuk dirinya saja. Namun berbagi dengan sesamanya terutama mereka yang membutuhkan.
Tetap punya waktu untuk keluarga dan tetangga. Tidak sakiti hati sesamanya dan merusak alam.
Tidak ditentukan berapa banyak harta yang kita miliki melainkan tentang apa yang kita lakukan dan bagaimana menikmati hidup ini.
Bagaimana dengan keadaan diri kita saat ini? Kita termasuk yang mana sia-siakan hidup ataukah sibuk dengan kesenangan hati?
Ada sebuah video berjudul buku harian ayah. Seorang ayah menelepon anak perempuan satu-satunya.
"Anakku, bisakah kita menonton film yang telah kita bicarakan ketika engkau masih kecil? Ayah selalu tidak punya waktu untuk hal itu. Kali ini saja." Si anak menjawab: "Baik ayah.
"Dua jam kemudian. "Ayah, saya mendapat tugas mendadak. Nanti saya menelepon." Dua hari kemudian, si ayah telepon dan mendapat jawaban yang sama.
Satu minggu kemudian si anak perempuan itu mendapat kabar dan pergi ke rumah sakit karena ayahnya sakit sangat parah. Ketika tiba di ruang perawatan, ayahnya menitikan air mata. Dengan sisa-sisa kekuatan membisikan sesuatu.
"Ambilah buku harian di meja itu." Selesai berkata ayahnya menghembuskan nafas terakhir.
Selesai menguburkan ayahnya, ia mulai duduk membaca buku harian ayahnya. Tanggal 28 Juli 1981. Saat kamu lahir, saya sedang bertugas di luar kota. 1 Juli 1987.
Saya tidak bisa mengantarkan kamu di hari pertamamu bersekolah. 6 Juni 1993 ketika kamu lulus SD saya tidak ada. Hanya ibumu. 28 Juli 1994.
Kita berjanji untuk menonton sebuah film tetapi batal. 18 Juli 2010. Untuk pertama kalinya saya ada di acaramu.
Ia mulai menangis dan membaca sampai lembar terakhir diary itu. 28 Juli 2016. Hari ini kita janjian nonton film. Saya begitu bersemangat.
Tetapi sedih sekali. Batal. Anakku, jangan seperti ayah. Habiskan waktu mengejar sesuatu yang ayah anggap penting dan melewatkan begitu banyak waktu yang tidak bisa ditarik kembali.
Bila itu bisa, ayah ingin habiskan waktu denganmu atau pun ibumu. Ayah telah menghabiskan untuk sesuatu yang sia-sia."
Si anak melihat dirinya seperti itu. Ayahnya telah memberi pelajaran berharga. Ia mau lebih baik dari ayahnya.
Mari berjerih lelah untuk buat hidup berarti supaya Tuhan karuniakan semua hal untuk kita nikmati sepanjang umur dan Tuhan menyibukan kita dengan kesenangan hati. Tuhan berkati kita, amin.