Opini Pos Kupang

Opini Pos Kupang 17 Juli 2019: UU Jakon vs UU Tipikor

Hal mendasar dari UU No 2/2017 yang terdiri dari 14 bab dan 106 pasal itu, tidak satupun pasal yang memuat sanksi pidana secara eksplisit.

Editor: Ferry Jahang
zoom-inlihat foto Opini Pos Kupang 17 Juli 2019: UU Jakon vs UU Tipikor
ferry ndoen
Dr. Ir. Andre W Koreh,MT

UU Jakon vs UU Tipikor
Dr. Ir. Andre W. Koreh, MT
Pengamat dan Pelaku Jasa Konstruksi
Bekerja di Kantor Gubernur NTT

KEHADIRAN UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi ( Jakon) menggantikan UU No. 18 Tahun 1999, sangat dinantikan masyarakat jasa konstruksi, karena membawa harapan baru.

Hal mendasar dari UU No 2/2017 yang terdiri dari 14 bab dan 106 pasal itu, tidak satupun pasal yang memuat sanksi pidana secara eksplisit.

Ini berbeda dengan UU 18/1999 khususnya pasal 43 yang menyatakan ada sanksi pidana bagi pengguna dan atau penyedia jasa yang karena kesalahannya, menyebabkan terjadinya kegagalan bangunan dan kegagalan konstruksi .

Jika dicermati secara keseluruhan maka perikatan perjanjian para pihak dalam UU No. 2/2017 adalah perjanjian perdata.

Dan lebih khusus lagi bila terjadi kegagalan bangunan maka sanksi yang diberikan berbeda dengan UU 18/1999.

Perjanjian secara perdata dalam konteks jasa konstruksi secara sederhana dapat dijelaskan dalam empat perspektif yaitu,

pertama, apabila terjadi wanprestasi atau cidera janji misalnya terdapat pekerjaan yang volumenya kurang atau tidak sesuai volume dalam kontrak,

maka penyedia jasa wajib menambahkan volume pekerjaannya sampai terpenuhi volume yang ditetapkan dalam kontrak.

Kedua, apabila kwalitas pekerjaan yang dihasilkan tidak sesuai syarat keteknikan maka penyedia jasa wajib memperbaikinya sesuai spesifikasi yang disyaratkan.

Ketiga, apabila penyedia jasa tidak menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu maka penyedia jasa wajib dikenakan denda keterlambatan

sesuai bunyi pasal kontrak tentang denda keterlambatan yang secara umum dikenakan denda 1/1000 (satu per mil) per hari keterlambatan dari nilai kontrak atau dari sisa pekerjaan yang belum fungsional.

Keempat, apabila terjadi kegagalan bangunan baik pada saat masa pelaksanaan maupun pada pasca konstruksi,

terhadap sebagian atau seluruh bangunan yang dikerjakan, maka penyedia jasa wajib menggantinya sesuai dan senilai jenis pekerjaan yang mengalami kegagalan bangunannya.

Kegagalan Bangunan dan Kegagalan Konstruksi

Dalam UU Jakon sebelumnya ( UU No 18/1999) pasal 1 ayat 6, pengertian kegagalan bangunan adalah "sebagai keadaan bangunan yang setelah diserahterimakan oleh penyedia jasa kepada pengguna jasa,

menjadi tidak berfungsi dengan baik secara keseluruhan maupun sebagian, dan/atau tidak sesuai ketentuan yang tercantum dalam kontrak kerja konstruksi atau pemanfaatannya yang menyimpang sebagai akibat kesalahan penyedia dan /atau pengguna jasa."

Pengertian kegagalan bangunan seperti tersebut di atas ini menimbulkan banyak ekses di dunia jasa konstruksi.

Bahkan cenderung multi tafsir dan bias dalam penerapannya sehingga kadang menimbulkan kesan kriminalisasi.

Pasal 43 ayat 1, 2 dan 3 berbunyi, "barang siapa yang melakukan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan konstruksi yang tidak memenuhi ketentuan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan

dikenakan pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10 persen dari nilai kontrak."

Sementara pengertian "kegagalan konstruksi" sesuai Peraturan Pemerintah No, 29 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, sebagai turunan dari UU Jasa Konstruksi 18/1999 pada pasal 31

menyatakan bahwa "yang dimaksud dengan kegagalan konstruksi adalah keadaan hasil pekerjaan konstruksi yang tidak sesuai spesifikasi pekerjaan sebagaimana disepakati dalam kontrak konstruksi baik sebagian maupun seluruhnya sebagai akibat dari kesalahan pengguna jasa atau penyedia jasa."

Definisi kegagalan konstruksi seperti PP 29 tahun 2000 ini, banyak memakan korban akibat kekeliruan tafsir pasal ini dan sangat meresahkan masyarakat jasa konstruksi,

karena dengan terjadinya kegagalan konstruksi, seolah telah terjadi perbuatan melawan hukum. Padahal pekerjaan belum selesai dan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan dan kekurangan pekerjaan masih dimungkinkan.

Akibatnya seringkali penyidik bisa melakukan pemeriksaan pada masa pelaksanaan. Inilah salah satu penyebab lahirnya UU Jakon yang baru sebagai revisi terhadap UU jakon sebelumnya.

Dalam UU Jakon yang baru No 2/2017, kegagalan konstruksi tidak lagi dikenal, atau sudah dihapuskan. Sedangkan kegagalan bangunan sesuai pasal 1 ayat 10 UU tersebut diberikan arti sebagai berikut,

"suatu keadaan keruntuhan bangunan dan atau tidak berfungsinya bangunan setelah penyerahan akhir hasil jasa konstruksi."

Dengan demikian, kondisi kegagalan bangunan yang termasuk dalam lingkup UU Jakon adalah bangunan yang TELAH DISERAHKAN kepada pengguna jasa, BUKAN PADA SAAT BANGUNAN TERSEBUT DIKERJAKAN PADA PERIODE PELAKSANAAN (constraction period)

dan keadaan keruntuhan bangunan sebelum penyerahan akhir pekerjaan tidak termasuk katagori kegagalan bangunan.

Sehingga waktu penyerahan akhir hasil pekerjaan atau FHO (final hand over) merupakan hal krusial, karena sebagai tonggak waktu awal untuk menilai kapan kegagalan bangunan telah terjadi.

Jika demikian maka pertanyaannya adalah, pada saat mana perjanjian kerja dalam dunia jasa konstruksi bisa berdampak pidana, mengingat kedudukan hukum kedua UU ini adalah sejajar.

Atau pada saat mana UU Tipikor dipakai dalam pelaksanaan jasa konstruksi padahal jasa konstruksi sendiri juga memiliki undang undang yang kedudukannya sejajar dengan UU tindak pidana korupsi?

Tipikor Dalam Jasa Konstruksi

Dalam hukum pidana dikenal apa yang disebut dengan actus reus (perbuatan jahat) dan mens rea (niat jahat). Doktrin hukum pidana mengatakan pertanggungjawaban pidana ditentukan kesalahan (schuld) yang dibuat si pelaku,

namun kesalahan itu bentuknya ada dua yaitu kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa), (baca Satria/Hariman 2018).

Kondisi Kesalahan dalam pelaksanaan jasa konstruksi, bisa dan sering terjadi dalam masa pelaksanaan.

Namun apakah kesalahan itu disengaja ataukah karena kealpaan dan atau ketidaktahuan sehingga berindikasi perbuatan melawan hukum?

Apalagi kalau kesalahan itu dibuat pada masa pelaksanaan pekerjaan dan pekerjaan belum diserahterimakan.

Hal ini yang perlu dibuktikan dengan cermat dan hati hati, apabila ingin membawa kesalahan pekerjaan konstruksi kedalam perbuatan tindak pidana korupsi,

karena jika tidak cermat bisa salah penerapannya dan terjadi kriminalisasi terhadap pelaku jasa konstruksi.

Tidak semua kesalahan dalam pekerjaan konstruksi memenuhi unsur kesengajaan yang menggambarkan mens rea yaitu merugikan keuangan negara sebagaimana dimaksud UU Tipikor, mengingat kompleksnya pelaksanaan pekerjaan konstruksi.

Seringkali kesengajaan dicampuradukkan dengan kealpaan karena dalam kesengajaan pasti ada unsur mens rea, sedangkan dalam kealpaan (culpa) belum tentu ada niatnya, atau kealpaan bisa terjadi karena ketidaktahuan.

Sayangnya kondisi ketidak tahuan itu sendiri menjadi relatif, bisa saja penyedia jasa tidak tahu karena memang benar-benar tidak tahu ataukah pura-pura tidak tahu (sengaja melanggar). Kondisi ini sangat tipis perbedaannya .

Disinilah kejelian dan kehati-hatian dalam menentukan unsur pidana dalam kesalahan pekerjaan konstruksi.

Sebagaimana diketahui proses pengadaan barang dan jasa dilakukan untuk memilih dan menyeleksi penyedia jasa yang paling layak, paling cakap dan paling mampu dibandingkan peserta lelang lainnya untuk mengerjakan pekerjaan yang dilelangkan.

Sehingga selalu ada klausul dalam surat keputusan pemenang yang menyatakan yang bersangkutan dianggap cakap dan mampu melaksanakan tugas yang diberikan.

Seringkali kondisi ini menjadi sumber masalah. Ketidakmampuan dan ketidakcakapan para penyedia jasa konstruksi (kontraktor /konsultan) dan pengguna jasa (PA/KPA/Satker/PPK) bisa atau dapat berimplikasi pada perbuatan melawan hukum.

UU Jakon secara tegas mengatur penyelenggaraan jasa konstruksi tanpa sanksi pidana, bahkan jika terjadi kegagalan bangunan-pun, maka penyedia jasa akan dikenakan sanksi ganti rugi (sesuai pasal 67) atau sanksi administrasi (sesuai pasal 65 ayat 1 sd 5).

Artinya jika ada pekerjaan jasa konstruksi yang rusak dan atau terjadi kondisi kegagalan bangunan setelah penyerahan akhir FHO, terindikasi mengalami kerusakan, baik sebagian atau seluruhnya,

maka berdasarkan UU Jasa Konstruksi yang baru, penyedia jasa wajib menggantinya dengan bangunan baru atau membayar ganti rugi senilai pekerjaan yang rusak dan atau dikenakan sanksi admintrasi sesuai pasal 63 berupa,

peringatan tertulis, denda administratif, penghentian sementara kegiatan layanan jasa konstruksi, pencantuman dalam daftar hitam, pembekuan ijin dan/atau, pencabutan izin.

Walaupun demikian penyelenggaraan jasa konstruksi bisa dikategorikan sebagai perbuatan pidana korupsi, bila terjadi beberapa hal,

a) Adanya niat (mens rea) untuk melakukan mark up harga satuan bahan bangunan maupun harga satuan pekerjaan oleh pengguna jasa,

artinya sejak awal perencanaan telah diniatkan untuk melakukan mark up harga, yang dapat dilihat pada nilai Harga Perhitungan Sendiri (HPS/Owner Estimate/ Engeneer Estimate ),

b). Adanya niat memenangkan penyedia jasa tertentu walaupun penyedia jasa tersebut tidak memenuhi syarat minimum untuk memenangkan pelelangan dalam proses pengadaan barang dan jasa yang diikuti pemberian gratifikasi dari penyedia jasa ke pengguna jasa

c). Adanya potensi kerugian negara yang tidak dihilangkan potensinya dengan menyetor kembali kerugian negara sampai batas waktu yang ditentukan sejak pemberitahuan terjadinya potensi kerugian negara yaitu 60 hari kalender,

sehingga penyedia dan pengguna jasa dapat dikategorikan berniat untuk merugikan keuangan negara,

d). pengembalian kerugian keuangan negara sebagaimana point c diatas dilakukan pada saat telah dilakukan penyelidikan apalagi penyidikan oleh penyidik, maka pasal 4 UU Tipikor menyatakan bahwa

"pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 3."

e) Terjaringnya para pelaku Jakon dalam suatu operasi tangkap tangan (OTT) yang diduga ada kaitannya dengan pekerjaan jasa konstruksi yang sedang dan atau sudah dilaksanakan, walaupun keadaan kegagalan bangunan belum atau tidak terjadi.

Dari uraian di atas walaupun UU Jakon No 2/2017 telah "melindungi" pelaku jasa konstruksi dari kesalahan tafsir dan bias pemahaman tentang kegagalan bangunan,

apalagi dengan meniadakan istilah kegagalan konstruksi, namun pekerjaan jasa konstruksi bisa masuk dalam katagori perbuatan tipikor jika terjadi kesalahan yang diniatkan.

Dan kesalahan itu mengakibatkan kerugian negara sehingga memenuhi unsur Tipikor sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU tentang Tipikor. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved