Renungan Harian Kristen Protestan
Renungan Kristen Selasa 16 Juli 'Mencari Sosok Pemimpin GMIT Belajar dari Buku Soekarno Hingga SBY'
Renungan Kristen Selasa 16 Juli 'Mencari Sosok Pemimpin GMIT Belajar dari Buku Soekarno Hingga SBY'
Renungan Harian Kristen Protestan
Selasa 16 Juli 2019
Oleh Pdt. Mansopu
''Mencari Sosok Pemimpin GMIT Belajar dari Buku Soekarno Hingga SBY''
{1 Korintus 1:27 Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat.}
Buku setebal 396 halaman karangan Prof. Dr. Tjipta Lesmana, M.A terbitan Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009 bisa menjadi masukan bagi GMIT dalam proses mencari sosok pemimpin GMIT yang ideal.
Buku ini dibagi atas tujuh bagian yang memuat pola-pola komunikasi kepemimpinan presiden Indonesia dari masa ke masa yakni Soekarno, Soeharto, B.J. Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, Susilo Bambang Yudhoyono dan bagian terakhir analisis penulis.
Pergumulan yang dihadapi oleh Gereja Masehi Injili di Timur saat ini adalah mencari pemimpin gereja, baik di lingkup sinode maupun klasis.
Dalam upaya ini, berbagai kriteria ditempelkan sesuai dengan peraturan pemilihan di kedua lingkup ini.
Akan tetapi persoalan yang harus dihadapi dalam mencari pemimpin yang tepat, yang memiliki kemampuan memimpin sekaligus memiliki spiritualitas Kristiani yang mumpuni sehingga mampu menjadi teladan sekaligus mempengaruhi para pemimpin gereja dan seluruh jemaat, bukanlah perkara mudah.
Proses pencalonan nama untuk memilih calon Majelis Klasis maupun Majelis Sinode, dimulai dari usulan jemaat.
Dan persoalan yang mengemuka ketika jemaat-jemaat harus mengadakan persidangan demi mengusulkan nama para calon pemimpin gereja, mengalami kendala karena jemaat-jemaat tidak mengenal semua pendeta. Rata-rata pengenalan jemaat terhadap para pendeta sangat terbatas dan hanya mengenal pendeta yang pernah melayani di jemaatnya.
Ruang untuk mengenal pendeta lain di luar jemaatnya sangat terbatas.
Di jemaat tempat saya melayani sebagai pendeta, malah saat terjadi proses pencalonan nama, rasanya seperti menawarkan kucing dalam karung kepada mereka untuk memilih.
Sementara harapan jemaat adalah untuk pemimpin Gereja Masehi Injili di Timur mesti orang yang memenuhi kriteria nyaris sempurna.
Dia harus orang dengan tingkat iman dan spritualitas yang mumpuni.
Dia harus pekerja keras. Dia harus punya kemampuan memimpin dan berpikir. Ia mampu membangun hubungan yang baik ke dalam dan keluar gereja.
Ia haruslah figur pemimpin yang bisa dengan rilex namun kritis serta mampu membuat terobosan-terobosan baru, sehingga gereja betul-betul menjadi gereja yang dapat menjadi solusi, dan bukan malah menjadi masalah di tengah kehidupan jemaat yang semakin sulit.
Dan berbagai nilai ‘harus’ lainnya.
Kesadaran akan diperlukannya pemimpin gereja yang tepat dan benar mesti menjadi pergumulan serius.
Sebab bagaimanapun gereja membutuhkan pemimpin yang betul-betul paham tentang apa sebenarnya persoalan yang kini sedang dihadapi gereja.
Pemimpin gereja yang dibutuhkan bukanlah pemimpin yang hanya mampu melakukan perkunjungan orang sakit atau mempersiapkan liturgi atau naskah teologi serta peraturan-peraturan gereja. Bukan berarti semua tidak penting.
Melainkan pemimpin yang dibutuhkan adalah pemimpin yang betul-betul paham persoalan global dan lokal, sehingga dia tahu apa yg harus dia lakukan secara kontekstual.
Kompleksitas pegumulan pelayanan gereja harus menempatkan gereja pada peran gereja sebagai pendamping mereka yang tergusur dalam era pembangunanisme.
Diharapkan ia seharusnya paham pada isu-isu HAM, ketidakadilan, diskriminasi, lingkungan hidup. Ia paham persoalan konstitusional kenegaraan.
Ia tahu bagaimana menjadi gereja yang bertahan dan menggarami serta menerangi ketika berhadapan dengan arus fundamentalisme yang semakin berkembang, kepungan gerakan fundamentalisme transnational yang tidak mempedulikan sejarah Indonesia.
Tugas mencari pemimpin gereja adalah tugas berat karena gereja membutuhkan pemimpin seperti Kristus atau setidaknya menyerupai Kristus, yang tidak saja pandai tapi memiliki ketaatan kepada kehendak Allah, serta memiliki kepedulian yang tinggi akan damai sejahtera penuh atas bumi sebab kabar baik telah diterima semua orang.
BELAJAR DARI BUKU : DARI SOEKARNO SAMPAI SBY
Dalam kerangka mencari pemimpin gereja ini, buku karya Prof. Dr. Tjipta Lesmana, M.A, dengan judul DARI SOEKARNO SAMPAI SBY, Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa, dapat menjadi acuan untuk bersikap tenang ketika ada dalam pergumulan ini.
Buku ini menarik untuk dihubungkan dengan kebutuhan gereja akan pemimpin karena penulis menyajikan fakta berdasarkan interview mendalam tentang bagaimana komunikasi politik seorang presiden dengan tanggung jawab yang besar atas bangsa Indonesia.
Dan mereka ternyata bukanlah orang yang sempurna.
Malahan mereka orang-orang dengan kelemahan yang cukup fatal dan malah dianggap tidak layak memimpin oleh orang-orang terdekatnya.
Namun mereka menyelesaikan kepemimpinan atas bangsa dengan cukup baik.
Buku ini penting karena menguraikan pola komunikasi politik pemimpin bangsa. Dipercayai bahwa komunikasi politik pemimpin bangsa selalu terkait dengan situasi dan kemajuan sebuah bangsa.
Jika seorang presiden sebagai pemimpin bangsa lemah komunikasi politiknya, seperti tidak adanya konsistensi dalam kata-katanya atau asal bicara maka hampir dipastikan bahwa wibawa kepemimpinannya akan merosot. Akibatnya negara akan cenderung kacau.
Sebaliknya apabila seorang pemimpin bersikap tegas, komunikasinya jelas, ia akan memperoleh rasa percaya dari bangsanya. Maka komunikasi politik adalah modal bagi kemajuan suatu bangsa.
Menurut penulis, keberhasilan seorang pemimpin sangat ditentukan oleh kepiawaiannya dalam berkomunikasi sebab dengan komunikasi ia membangun kepercayaan rakyat.
Dan kepercayaan merupakan modal utama seorang pemimpin. Kaitan antara pentingnya komunikasi dan efektivitas kepemimpinan digambarkan sebagai berikut : Komunikasi – Kepercayaan – Efektivitas kepemimpinan.
Penulis mendasarkan tulisannya pada teori kepemimpinan Kurt Lewin dan teori karakteristik bangsa Edrward T. Hall.
Dari teori itu, ia melakukan penelitian dengan pendekatan kualitatif melalui wawancara mendalam terhadap tokoh-tokoh presiden maupun orang-orang terdekat presiden.
SOEKARNO
Teori kepemimpinan Great Man Theories Van Wagner mengatakan a leader is not made, but is born.
Mengacu pada teori ini maka dapat dikatakan bahwa Soekarno dilahirkan sebagai pemimpin besar. (Hal.1)
Karakteristik pemimpin besar yang dimiliki Soekarno adalah tegas, berani, teguh pada prinsip, bertanggung jawab, empati pada rakyat jelata dan konsisten.
Soekarno juga seorang brilliant. Masa mudanya dihabiskan dengan membaca buku tentang para pemimpin besar. Ia juga aktif dalam diskusi-diskusi politik dan pawai menganalisa situasi politik. Siapapun tidak pernah bosan mendengarkan pidato Soekarno.
Menurut tulisan Boyd R. Compron, pengamat politik dari Amerika sebagaimana ditulis oleh majalah Tempo, Soekarno mampu memikat pendengarnya dari awal hingga akhir pidato karena ia berbicara dengan penuh semangat, memikat, dan menghayati apa yang dibicarakannya.
Ia punya kemampuan membakar semangat dan membangkitkan optimisme rakyat. (Hal.5).
Penyebab Soekarno memiliki kemampuan pidato yang memikat karena ia kaya akan ilmu dan pengalaman perjuangan.
Ia juga aktif berinteraksi dengan para pemimpin bangsa lain. Ia dilabeli predikat sebagai Pemimpin Besar Revolusi, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Panglima Tertinggi ABRI, Panglima KOTI, Panglima KOTOE, dan lain sebagainya.
Pola Komunikasi Soekarno
1. Pendekatan non formal
Soekarno hampir setiap pagi melaksanakan Coffee Morning di belakang Istana Merdeka. Dalam keadaan tidak formal ini, Soekarno bertemu dengan para menteri dan sahabat-sahabatnya. Di tempat ini berbagai keputusan negara diambil dengan mudah. (Hal.8).
2. Kemampuan berpidato
Soekarno mampu berpidato 3 sampai 4 jam non stop dengan fisik yang tetap segar dan suara mantap. Dengan postur tubuh yang ganteng, ia menggebrak dan menggendor kiri kanan, menghardik sasaran dengan suaranya yang keras, menantang, memperingatkan dan mengancam. Dalam pidatonya, ia gemar mengulang-ulang kata atau anak kalimat yang dianggap perlu untuk ditekankan. Isi pidatonya hanyalah pengulangan kata-kata.[1] (Hal.9).
3. Hubungan yang dekat dengan orang-orang di sekitarnya
Hubungan yang terlalu dekat menyebabkan ia selalu lebih mempercayai orang di dekatnya dan ia membela mereka mati-matian dan itulah yang menyebabkan kejatuhannya. Saat berhadap-hadapan dengan tuntutan demonstrasi untuk membubarkan PKI dan memecat para menteri yang dicurigai mendukung PKI, Soekarno menolak. Bahkan ia memuji jasa dari para pemimpin PKI di depan umum. Dalam ketegangan itu, Soeharto muncul dengan memegang Surat Perintah 11 Maret, membubarkan PKI dan menangkap serta menahan 15 menteri yang diduga pendukung PKI. Dan tindakan Soeharto mendapat simpati penuh rakyat. Sejak itu kekuasaan presiden Soekarno terus merosot hingga Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dalam Sidang Istimewa pada 1 – 12 Maret 1967 memberhentikan Soekarno sebagai presiden RI dan mengangkat Soeharto sebagai presiden. (Hal. 20)
4. Straight to the point
Dalam berkomunikasi, Soekarno tidak putar-putar dan tidak menggunakan bahasa bersayap. Apa yang ingin dikatakannya maka akan dia katakan secara terbuka dengan didukung bahasa tubuh yang jelas. (Hal.26)
5. Ia tidak mudah dipengaruhi
Apa yang ia pikir benar akan mati-matian dipertahankannya. Ia akan menolak semua masukan yang diberikan kepadanya dan dengan berani menantang semua orang yang menekannya demi mempengaruhi pikiran dan keputusannya. (Hal.33)
6. Pemarah
Temparemen Soekarno meledak-ledak. Saat ia marah semua orang ketakutan. Ia dapat melempar asbak pada lawan bicaranya saat marah. Matanya akan melotot dan meneriaki orang yang ia marahi. (Hal.37)
SOEHARTO
Pola komunikasi Soeharto
Soeharto digambarkan sebagai sosok yang bicara sedikit tapi setiap katanya berbobot dan penuh wibawa. Kalau bertemu Soeharto maka akan dirasakan sekali kepadatan dari wibawa dan kata-katanya.
Banyak tidaknya Soeharto berbicara tergantung pada apakah ia senang atau tidak dengan lawan bicaranya. Kalau ia tidak suka maka ia tidak berkomentar.
Suaranya cukup lembut tapi bobotnya terasa. Kemungkinan ini karena pengalaman menjadi presiden untuk waktu yang lama.
Ada bahasa-bahasa isyarat yang harus diketahui lawan bicaranya apakah ia berkenan atau tidak. (Hal.52)
Komunikasi politik Soeharto bisa dikatakan tertib, satu arah, singkat dan tidak bertele-tele, kecuali dalam situasi tertentu.
Hal ini sejalan dengan kebiasaannya untuk melihat segala sesuatu berjalan tertib, aman dan terkendali.
Dalam komunikasi politiknya, Soeharto memberi suasana yang penuh rasa takut. Menurut penulis, dari hasil wawancaranya terhadap Juwono Sudarsono, sejumlah informan sependapat bahwa ada suasana takut, bahkan mencekam di kalangan staf setiap kali berkomunikasi dengan Soeharto. Oleh karena itu untuk bertanyapun mereka tidak berani.
Suasana sidang kabinet memberi gambaran tentang gaya berkomunikasi Soeharto. Sidang kabinet selalu berlangsung tertib, teratur dan singkat. Saat presiden memasuki ruang sidang, semua mentri sudah hadir, termasuk wakil presiden.
Semua akan berdiri memberi hormat, lalu presiden duduk dengan dibantu ajudan. Ajudan memberi kacamata dan sebuah map serta buku harian kepada presiden. Soeharto memakai kacamata, menandatangani daftar hadir yang sudah diisi oleh wakil presiden dan seluruh menteri.
Soeharto lalu membuka sidang dengan sambutan singkat, mempersilahkan menteri menanggapinya atau memberi laporan.
Menteri mana yang berbicara sudah diatur oleh Sekretaris Negara. Hanya 3 atau maksimal 4 menteri yang diijinkan bicara. Selesai laporan menteri, presiden menanggapi tapi kadang tidak. Biasanya menteri lain yang dipersilahkan memberikan tanggapan.
Tidak ada dialog. Sidang kabinet selalu berlangsung cepat antara 1 sampai 2 jam. Dan yang dominan berbicara selama sidang adalah presiden. Tidak ada yang berani bicara kalau tidak dijatah lebih dahulu. Sorotan mata Soeharto digambarkan sangat tajam dan suasana sidang selalu mencekam dan tidak akan ada yang berani bicara kecuali kalau ditanya oleh presiden.
Menteri Penerangan akan segera memberi keterangan kepada pers tepat setelah selesai sidang. Seperti misalnya Harmoko yang hanya akan membaca apa yang dikatakan sebagai hasil sidang kabinet dan selalu penuh dengan kalimat, “Menurut bapak.” Apa yang disampaikan Harmoko sudah disiapkan sebelum sidang kabinet dan sama sekali tidak dibahas dalam sidang. Laporannya malah sudah dijilid dengan rapih.
Seiring berjalannya waktu, wibawa dan karisma Soeharto demakin merosot. Menjelang Orde Baru, sidang-sidang kabinet mulai penuh perdebatan. (Hal.55).
Soeharto juga dikenal biasa melakukan komunikasi melalui pihak ketiga dan selalu memberi bahasa yang penuh isyarat seperti “Jangan ikut campur.”
Ia penuh simbol dan hanya orang tertentu yang mengerti. Ia lebih banyak mendengar. Beberapa orang dekatnya mengatakan bahwa Soeharto lebih banyak mendengar dibanding berbicara.
Dan kalau ia sedang gembira maka ia suka memberi wejangan kepada para stafnya. Ia lebih banyak berbicara dengan orang-orang di dekatnya ketika suasana hatinya baik. (Hal.83)
Dari pola komunikasi Soeharto ini dapat dikatakan bahwa adakalanya ia kurang jelas antara konteks tinggi dan konteks rendah, antara samar-samar dan gamblang.
Bisa dikatakan ia tidak konsisten dengan komunikasinya. Berbagai faktor mempengaruhi inkonsistensi komunikasinya yakni bergantung pada masalah moodnya.
B.J. HABIBIE
Gaya komunikasi B.J. Habibie adalah spontanitas yang tinggi dan menetup-letup. Apa yang dipikirkannya cenderung mau dilaksanakan menit itu juga.
Ia selalu mau cepat-cepat dan walau perihal hal yang esensial, ia perintahkan secara lisan tanpa memperdulikan prosedur hukum yang berlaku.
Salah satu noda yang mencoreng nama baik Habibie sekaligus menjadi faktor penting pemerintahannya ditolak MPR adalah skandal Bank Bali yang melibatkan kerabat dan orang-orang dekat Habibie.
Pada kasus itu, Habibie didapati penuh spontanitas, meletup-letup, cepat bereaksi, tanpa memikirkan resiko yang ditimbulkannya.
Hal in kemungkinan dipicu oleh latar belakang pendidikannya di Jerman sehingga karakter itu melekat pada Habibie, selain pengakuan bahwa ia adalah sosok yang briliant. (Hal.147).
Dalam komunikasi politik ia tidak mau kalah atau mengakui kesalahan.
Kepintarannya juga menjadi sandungan baginya karena ia tidak mau kalah atau mengakui kesalahan dalam komunikasi politiknya, seperti ia menolak desakan partainya untuk memecat menteri-menterinya yang bermasalah dan dapat menjadi penyebab kejatuhan pemerintahannya.
Oktober 1999, laporan pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR. Menurut orang terdekatnya, penyebabnya adalah ia selalu merasa paling benar. Ia memiliki sifat superiority complex. Ia tidak pernah mau kalah dalam berdebat. Ia merasa selalu harus menang, khususnya ketika terlibat dalam perdebatan. (Hal.150)
Habibie cepat mendengar dan mudah dipengaruhi oleh para pembantunya. Ia dikenal memiliki telingan ‘tipis’. Ia mudah dipengaruhi oleh pembantunya, terutama pembantu yang sudah lama menjadi kerabatnya.
Sehingga tanpa mempertimbangkan masukan, ia langsung membuat keputusan. (Hal.153)
Dalam berkomunikasi, Habibie sangat temparement. Emosinya cepat naik dan mudah marah. Emosinya cepat naik, mudah marah.
“Kalau ia marah, non verbal communication-nya sangat mencolok antara lain ia akan membelakakkan matanya, memperlihatkan ekspresi wajah penuh emosi dan menggebrak meja. Habibie suka menggebrak meja saat berkomunikasi.
Anehnya, para menterinya tetap berani ‘menyerang’ Habibie walau ia dalam keadaan marah.” Menurut Prof. Juwono Sadarsono, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam pemerintahan Habibie, kelemahan fatal Habibie adalah dalam keadaan emosi, Habibie cenderung bertindak dan mengambil keputusan secara cepat.
“Bertindak cepat sepertinya merupakan solusi baginya untuk menurunkan kadar emosinya. Kasus Timor Timur adalah ilustrasi yang baik untuk menggambarkan sifat Habibie yang emosional dimana hanya dengan sepucuk surat dari Perdana Menteri Australia, John Howard, yang ditujukan kepada presiden dan isinya meminta supaya pemerintah Indonesia mempertimbangkan hak politik rakyat Timor Timur maka Habibie merasa tertantang dan tidak mau kalah sehingga ia mengambil keputusan dengan cepat untuk mengadakan referendum. (Hal.156)
Habibie hobi berdebat dan siapa saja dapat berbicara kepadanya. Berbeda dengan masa Soeharto, sidang-sidang kabinet seperti arena seminar.
“Semua menteri mengangkat tangan untuk berpendapat dan memberi kritik. Perdebatan antara menteri dan antar menteri dan presiden adalah hal yang biasa.
Para menteri tidak takut pada Habibie dan berlomba untuk bicara. Habibie sendiri senang berdebat dan semakin didebat, semakin ia semangat untuk bicara, menangkit dan melawan sebab ia tidak mau kalah namun setelah rapat, presiden dan menterinya adakalanya berangkulan, tanpa perasaan dendam.
Habibie tidak suka menggantung masalah. Ia bisa terlibat dalam penyelesaikan masalah apapun. Ia mudah ditemui oleh para menterinya.
Setiap laporan yang diterimanya dari para menteri selalu ia baca dan komentari. Ia pemimpin yang baik tapi gayanya menguras tenaga sebab semua masukan dibaca dengan teliti dan langsung diberi disposisi sendiri.
Dari segi pendidikan politik, pola komunikasi politik Habibie yang ceplas-ceplos, temperamen diakui memberi nilai edukasi yang tinggi.
Para pembantu presiden dipicu untuk berani berbicara, berani mengemukakan pendapat dan berdebat. Jarak antara presiden dan pembantunya seakan tidak ada.
Namun kelemahannya adalah keputusan penting kadang diambil dengan terlalu tergesa-gesa tanpa memikirkan konsekwensinya. (Hal.157)
Nilai lebih dari Habibie dalam pola komunikasinya adalah ia juga pemimpin yang biasanya bertindak sangat rasional. Ia sangat logis. Ia berpikir matematis. Tapi ia sesungguhnya bukan seorang politisi. Hanya ketika ia menjadi marah, ia kehilangan rasionya.
Dalam kasus Soeharto, Habibie terus didorong untuk membawa Soeharto ke pengadilan namun ia tidak pernah mau meningkatkan status Soeharto menjadi tersangka. Jaksa Agung muda bidang intelejen, Mayor Jenderal TNI Sjamsu Djalal, dipecat oleh Habibie karena ia menuding Habibie bertanggung jawab karena tidak berhasil membawa Soeharto ke pengadilan.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa pemrendelan Tempo atas perintah Habibie. Hal itu dipicu oleh pemberitaan Tempo mengenai pembelian kapal oleh pemerintah. Ia meminta Soeharto untuk menutup Tempo selama-lamanya.
Habibie adalah kepala negara yang terlalu banyak berbicara dengan media. Sebagai orang pintar, ia selalu bicara cepat seolah menguasai semua permasalahan yang ditanyakan.
Namun jawabannya seringkali bersifat arogan dan menyepelekan pihak lain. Karena itu ia sering mengundang kritik dan cercaan.
Secara retorika, ia mengemukakan bahwa pemimpin harus siap dikritik. Tapi ia sendiri selalu marah ketika dikritik, apalagi dikecam. Ia cenderung melawan kritik karena ia menilai dirinya super pintar.(Hal.172)
K.H. ABDURRAHMAN WAHID
Gus Dur adalah pemimpin yang bisa diajak bicara secara mendalam tentang banyak hal. Ia sangat terbuka dan omongannya jelas.
Kalau ia tidak suka, ia juga omong. Akan tetapi kalau bicara tentang politik, Gus Dur sangat berhati-hati dan kadang berkelit, tidak mau menjawab to the point.
Penulis melakukan wawancara dengan Mohamad Sobari, tokoh NU, tentang Gus Dur. Pola komunikasi Gus Dur adalah ia membiarkan orang yang mendengar untuk mengolah sendiri komunikasinya. Ia sangat suka guyon dalam berkomunikasi dengan siapa saja.
Menurut Ryaas Rasjid, kalau 1 jam bertemu dengan Gus Dur, bicara seriusnya 15-20 menit. Sisanya adalah guyonan. (Hal.183)
Dari segi komunikasi politik, Gus Dur, mudah sekali berkomunikasi, mudah diakses dan mau menjawab semua pertanyaan, walaupun pertanyaan itu tak perlu dijawab. Itu kelebihan sekaligus kelemahannya.
Ia mudah berkomunikasi dengan siapapun, tapi informasi yang diterimanya tidak diolah lebih dahulu lalu cepat-cepat dilansir ke publik termasuk membicarakan siapa yang akan ia pecat saat berbicara di luar negeri. (Hal.184)
Rizal Ramli, salah satu menteri pada masa Gus Dur, mengakui kebiasaan impulsive dan spontannya Gus Dur. Karakter intelektual Gus Dur kuat sehingga apa yang dipikirkannya, itu yang dikatakannya, tanpa memikirkan akibatnya akan menjadi bias bagi masyarakat. “Ia merasa posisinya masih sebagai kiai dan intelektual, bukan sebagai presiden.” kata Ramli. (Hal.185). Ia juga mudah dipengaruhi para pembantunya.
Kebiasaan komunikasi Gus Dur yang lain adalah menggunakan ancaman atau gertakan terhadap lawan. (Hal.188). Ia pernah menggertak akan menangkap 10 koruptor konglomerat kakap dalam waktu selambat-lambatnya 1 bulan, padahal untuk menangkap seseorang tidak semudah itu karena harus melalui prosedur hukum dan tidak bisa sewenang-wenang.
Saat menghadapi memorandum DPR dan ancaman impeachment, Gus Dur mempersonifikasikan dirinya sebagai negara. Jadi apabila ia jatuh maka negara juga akan pecah. (Hal.192). Maka terhadap permintaan agar ia mengundurkan diri sebagai presiden, ia selalu menolak.
Kelemahan dalam pola komunikasinya, menurut beberapa orang terdekatnya, disebabkan pola tidurnya. Ia kemudian kerap membuat pernyataan yang keliru, kontroversional dan sering berusah-rubah. Ia juga dinilai sebagai seorang yang tidak rasional sehingga ia dianjurkan memeriksakan diri ke psikiater.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Dari hasil wawancara mendalam dengan para menteri yang paling dekat dengan Presiden Megawati Soekarno Putri yakni Laksamana Sukardi, Kwik Kian Gie, Rini Suwandi dan A.M. Hendroppriyono, mereka mengatakan bahwa Megawati dapat rileks berkomunikasi dengan orang-orang dekat yang dipercayainya tapi kalau dengan menteri lain, ia sangat susah berkomunikasi.
Kesan dari para menteri yang diwawancarai adalah Megawati pengetahuannya terbatas dan hidupnya penuh dengan kecurigaan. Hal ini terkait dengan latar belakangnya sebagai putri Soekarno, pemimpin yang tidak disenangi dan bahkan dikucilkan oleh rezim Orde Baru. Jadi kombinasi antara kapasitas pengetahuan dan putri Soekarno mempengaruhi komunikasi politiknya.
Laksamana Sukardi ketika ditanyai tentang pola komunikasi Megawati, ia memulai dengan mengatakan bahwa pemimpin bangsa bisa dibagi dalam 3 kategori yakni pertama, pemimpin yang pintar sekali dan memahami masalah, kedua, pemimpin yang tidak memahami masalah sama sekali, ketiga, pemimpin yang setengah-setengah. Dan Megawati ada pada kategori kedua. Ia tidak memahami masalah.
Dengan siapapun Megawati berkomunikasi, diakui bahwa ia kurang cukup terus-menerus fokus pada permasalahan. Untuk bicara dengan Megawati maka harus santai dahulu dan mendahului membahas tentang makanan, jalan-jalan, belanja barulah bicara masalah. Kalau langsung bicara masalah maka akan sulit mendapatkan respon Megawati. (Hal.243)
Megawati tidak bisa berkomunikasi secara efektif. Ia lebih suka diam atau menebar senyum daripada berbicara. Senyum yang hanya ia sendiri yang mengerti artinya. Pidatonya terasa hambar. Suaranya datar. Nyaris tidak ada body language sama sekali, sangat kontras dengan ayahnya.
Ia fully scripted yakni ketika membaca teks pidato maka ia membaca kata per kata secara kaku, seolah-olah ia takut sekali kedua matanya lepas dari teks pidato. Ia juga jarang mau menjawab kalau ditanyai wartawan dan ia menetapkan aturan agar wartawan istana tidak boleh terlalu mendekatinya dan mereka tidak boleh bertanya di luar acara yang sudah dijadwalkan.
Efektivitas komunikasi politik Megawati juga dipengaruhi oleh benturan atau silang pendapat dan sikap antara Megawati dan suaminya, Taufik Kemas.
Mereka berbeda pendapat dalam banyak masalah sehingga timbul kesan ada dua nahkoda dalam tubuh PDIP. Ada kesan bahwa kalau seseorang minta bantuan lewat Taufik Kemas maka Megawati akan kurang senang dan pasti langsung diabaikannya. Taufik Kemas dianggap terlalu ikut campur dalam banyak masalah sehingga menjengkelkan Mega.
Pola komunikasi Megawati menyebabkan kekacauan dalam tubuh PDIP. Kondisi dua nahkoda dalam satu kapal menyebabkan pemilihan kepala daerah di berbagai daerah, calon yang diusung PDIP selalu berujung pada masalah dan penolakan. (Hal.250).
Megawati juga dianggap sebagai seorang introvert. Kalau ia tidak suka pada seseorang maka biasanya ia cemberut. Dalam berpidato, kadang ia tidak dapat menahan kesedihannya dan menangis. Namun kalau tentang marah, tidak pernah dilakukannya.
Megawati tidak kasar dan tidak impulsive. Jika ia tidak suka seseorang maka ia cemberut. Jika ia benci maka pintu komunikasi dengan sendirinya tertutup rapat. Ia selalu memakai perasaan. Dalam banyak hal, kewanitaan Mega lebih dominan padahal dalam politik, orang mesti luwes.
Itulah sebabnya tidak ada seorangpun yang mampu membujuk Mega untuk menghadiri pelantikan SBY. Megawati tipe pemimpin pendendam. Dengan SBY, untuk salaman saja ia tidak sudi karena SBY dianggap mengkhianatinya. (Hal.254)
Ketidakmampuan komunikasi Megawati disebabkan ia kurang mampu menyampaikan apa yang mau dikatakannya, ia kurang mampu membangun jaringan atau channel yang tepat. Ia lebih suka tidak mau repot dengan berbagai persoalan.
Kondisi ini pas dengan para pembantunya yang senang membudayakan budaya paternalistik maka mereka selalu berusaha ‘setor muka’ supaya apa yang dikerjakannya diketahui presiden. Di lain pihak kapasitas intelektual Megawati kurang. Maka setiap kali para pembantunya meminta petunjuk, Megawati selalu mempersilahkan mereka melakukan apa saja yang diusulkan.
Dalam sidang-sidang kabinet, ketika ada yang meminta pendapat dari presiden, Megawati tidak mau mengomentari. Ia akan memberi kesempatan pada menteri lain untuk berkomentar. Ia memilih agar para pembantunya mengambil keputusan sendiri tanpa melibatkan dirinya.
Sikap ini membuat para menteri bingung dan sering ragu untuk mengambil keputusan. Apalagi mereka tidak mau disalahkan nantinya.
Ia juga bisa sangat lama merespon surat-surat penting yang disodorkan oleh Sekretariat Negara. Akibatnya adalah terjadi penumpukan surat dan penyelesaian masalah jadi sangat lambat.
Ia bahkan diperkirakan tidak pernah mau membaca surat-surat yang didisposisikan kepadanya. (Hal.261)
Megawati adalah orang yang tidak alergi terhadap kritik namun itu terjadi ketika kritik datang dari orang-orang yang dekat dengannya. Kesalahan terbesar Megawati, menurut Nurcholis Madjid, dalam berkomunikasi adalah karena ia ‘jual mahal’ kepada insan pers. (Hal.267). Padahal ia presiden pada saat kritis.
Ia juga banyak didemo mahasiswa dan dituduh berangkulan dengan konglomerat hitam. Sesulit apapun keadaan negara, Megawati dianggap tidak mau pusing dengan urusan negara. Ia tidak jeli menangkap aspirasi berbagai elemen masyarakat untuk memperbaiki kinerja para pembantunya atau mengganti para menteri yang dianggap merusak.
Ketidakmampuan komunikasi Megawati diperparah dengan tidak adanya juru bicara presiden yang andal. Maka muncullah kesan negatif terhadap Mega bahwa ia lamban, ia bodoh dan sebagainya. (Hal.273) Dalam sidang-sidang kabinet, ketika para menteri saling menyerang, Megawati memilih untuk menonton dan tidak mau memberi komentar sama sekali. Hal ini menyebabkan para menteri tidak tahu apa yang harus dilakukannya. (Hal.279)
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Susilo Bambang Yudhoyono adalah sosok yang perfeksionist. Ketika ia tampil di publik, apalagi di depan camera wartawan, ia akan memastikan busananya sangat rapih, rambut disisir rapih, wajah ceria penuh senyum, tutur kata tertata rapih, semua dikemas prima, nyaris tanpa cacat. Baginya penampilannya merupakan daya tarik untuk dijual ke publik. (Hal.315)
Dalam berkomunikasi, SBY selalu berhati-hati. Setiap kata yang keluar dari mulutnya diartikulasi secara cermat. Bahasanya jelas dan konseptual. Berhadapan dengan para pembantunya, ia memahami tugasnya sebagai pemberi arahan.
Sementara teknis pelaksanaan diserahkan kepada para menteri. Akan tetapi tidak selalu petunjuknya dipahami oleh para menteri. Itu disebabkan ia gemar menggunakan analogi untuk menggambarkan suatu permasalahan dan ia tidak terbiasa berbicara to the point.
Hal ini sepertinya disebabkan ia kuatir dijadikan ‘sasaran tembak’ publik. Dan ini mencerminkan salah satu sifat SBY yakni selalu mencari jalan aman.
Dalam melaksanakan tema kampanye yang diusungnya yakni memerangi korupsi, ia berjanji akan memimpin langsung gerakan antikorupsi dan setiap bulan digelar rapat khusus untuk membahas perkembangan penanganan kasus korupsi.
Dan ia menginstruksikan agar aparat lebih sungguh-sungguh menyelesaikan kasus-kasus korupsi. Namun kemudian ia membubarkan Tim Koordinasi Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor). Oleh karena itu komunikasi politiknya dinilai mencerminkan karakter undecided and uncertain.
Ia dinilai penakut dan peragu. Akan tetapi ada menurut Juwono Sudarso, SBY bukan penakut atau peragu. SBY ingin berperan sebagai rekonsiliator di panggung Indonesia. Ia melihat luka-luka dan hiruk pikuk reformasi sejak Mei 1998 yang baginya telah menimbulkan kegaduhan sehingga perlu diturunkan suhunya. Oleh karena itu ia ingin merangkul semua pihak.
Bahkan ada kesan kuat bahwa ia ingin membahagiakan semua pihak. Akan tetapi sebenarnya yang sedang dijaganya adalah kekuatan daya tawarnya di DPR tetap tinggi. (Hal.326)
Komunikasi politik SBY sangat santun. Namun kesantunan yang berlebihan darinya menguatkan presepsi yang kuat di luar bahwa ia pemimpin yang penakut dan peragu. Bagi Gus Dur, SBY takut kepada Jusuf Kalla dan Aburizal.[2] (Hal.327).
Menghadapi kritik, SBY dinilai sebagai pemimpin yang sangat peka terhadap kritik. Jika dikritik, SBY akan reaktif dan tidak bisa diam. Tangkisannya bahkan seringkali dinilai berlebihan dengan menggelar jumpa pers di istana. Dan ia adalah presiden yang paling sering menggelar konferensi pers.
Padahal ia selalu berbicara tentang demokrasi dan berusaha menampilkan dirinya sebagai seorang demokrat dan menghargai kebebasan pers. Namun sikapnya terhadap kritik tidak menentu. Karena seringkali ia menunjukkan secara jelas rasa kesal dan tantangannya terhadap para pengkritik. (Hal.324).
Soal kemarahan, SBY dinilai tidak suka marah. Ia bahkan tergolong cool dan mampu mengendalikan emosi. Ia sering memperlihatkan wajah serius, jarang senyum, apalagi tertawa. Wajah tegang itu dinilai untuk menunjukkan wibawanya. Namun ia memiliki sense of humor.
ANALISIS, DISKUSI DAN KESIMPULAN
Di akhir bukunya, penulis memberikan kesimpulan mengenai 6 presiden Indonesia. Soekarno: terbuka, konsisten, artikulasi penyampaian visi dan misinya sangat gamblang, konteks komunikasinya rendah, tegas, ia cepat mengambil keputusan, temparement namun memiliki sense of humor. Ia seorang pendendam.
Soeharto: tertutup, konsistensi cukup tinggi, konteks komunikasinya bersifat situasional, jika marah maka ekspresinya tidak bisa disembunyikan, bahasa nonverbalnya kuat, penyampaian visi misinya jelas, emosinya terkendali baik, ia selalu tampil cool tanpa rasa humor, ia cepat mengambil keputusan, dan sekali ia membenci seseorang, seumur hidup kebenciannya tidak bisa luntur.
B.J. Habibie: sangat terbuka namun terkesan mau menang sendiri, alergi terhadap kritik, tapi sangat demokratis, bicara selalu cepat sehingga sulit dipahami, tidak punya visi misi karena semata-mata menjadi presiden karena keadaan darurat, ia tidak bisa berpura-pura, selalu tampak serius, jalannya cepat, tidak ada sense of humor.
K.H. Abdurrahman Wahid: sangat terbuka, demokratis, sangat impulsif, rasa humornya tinggi, namun ia bisa mendadak marah, ia suka menggertak lawan, asal bicara, ia tidak pusing terhadap kritik, mudah memaafkan lawannya, konsistensi terhadap kata-katanya rendah, ia mudah berubah.
Megawati Soekarnoputri: cukup demokratis tapi tertutup, cepat emosional (marah, tertawa terpingkal-pingkal, dan menangis di depan publik), kadar konsistensinya kurang, ia alergi terhadap kritik, komunikasi politiknya penuh keluhan, nyaris tidak pernah menyampaikan visi misinya dan dipastikan ia sangat pendendam.
Susilo Bambang Yudhoyono: demokratis, menghargai perbedaan pendapat, selalu defensif menghadapi kritik, hati-hati dalam segala hal sehingga memberi kesan peragu dan penakut, gaya bicara dan tampilannya perfectionist, konsistensi terhadap kata-katanya buruk dan sering membingungkan publik, suka berputar-putar, rasa humornya rendah, emosinya tinggi bahkan bisa lepas kendali, dimanapun ia selalu memperlihatkan wajah serius, nyaris tidak pernah tertawa, maksimal hanya senyum.
Menjawab pertanyaan siapakah presiden yang komunikasi politiknya paling efektif, penulis mengatakan bahwa Soharto sesungguh yang paling efektif komunikasi politiknya. Di masanya negara stabil, pembangunan ekonomi berhasil, kesejahteraan rakyat meningkat. Dan komunikasi politiknya paling tidak efektif adalah Gus Dur dan Megawati dimana ucapan dan pernyataan mereka kehilangan wibawa sehingga tidak didengar rakyat. (Hal,365)
Menurut penulis, di masa pemerintahan SBY, komunikasi politik bangsa semakin brutal dan beringas. Anarkisme merambah ke seluruh pelosok tanah air. Bangsa Indonesia menjadi tidak paham apa itu dialog. Keraguan SBY memberi kontribusi paling signifikan pada kekacauan komunikasi hingga saat ini. (Hal.366)
TANGGAPAN TERHADAP PENULIS
Pola komunikasi para pemimpin terjalin berdasarkan kepribadian dan kemampuan politik yang dialami dalam hidup. Hal yang pasti bahwa keenam pemimpin bangsa yang dibahas dalam buku telah menyelesaikan masa kepemimpinannya, lengkap dengan kelebihan dan kelemahan pola komunikasinya, yang berefek pada stabilitas dan kesejahteraan bangsa.
Buku ini penting untuk dibaca karena selain memaparkan pola komunikasi presiden dan dampaknya bagi kehidupan bangsa, buku ini dengan jujur menyajikan realitas peristiwa politik yang pernah terjadi di Indonesia. Berbagai rahasia dipaparkan oleh narasumber mengenai realitas di balik setiap persoalan yang dihadapi oleh presiden dan dampak dari keputusannya.
Buku ini menolong setiap untuk memperhatikan pola komunikasi dengan baik karena hal itu menentukan keberhasilan memimpin.
REFLEKSI : MENCARI PEMIMPIN GMIT MENURUT PRINSIP DAN CARA PEMILIHAN ALLAH
Alkitab secara jelas mencatat bahwa semua pemimpin berangkat dari kelebihan dan kekurangan. Bahkan kebanyakan sama sekali tidak diperhitungkan oleh orang-orang terdekatnya namun Allah memilih mereka untuk menjadi pemimpin atas umat Allah.
Daud misalnya, sama sekali tidak diperhitungkan dapat menjadi raja atas Israel sehingga saat Samuel akan menobatkan anak-anak Isai, Daud tidak diikutsertakan dalam pertemuan itu. Namun kemudian Daud bertumbuh menjadi pemimpin hebat atas Israel, seorang pemimpin yang dijadikan tolak ukur keberhasilan maupun kegagalan raja-raja Israel.
Selama menjadi raja atas Israelpun, Alkitab mencatat kelemahan-kelemahan dirinya dalam berkomunikasi, seperti ia seorang ayah yang buruk sehingga anak berusaha merebut tahtanya dan mereka saling membunuh dan memperkosa. Namun seburuk apapun, ia tercatat sebagai raja terbaik atas Israel.
Alkitab juga memcatat tentang raja multi talent yang penuh dengan hikmat yakni Salomo namun perjalanan kepemimpinannya diwarnai oleh komunikasi politik yang justru menodai perjalanan kehidupannya yakni menyelenggarakan pernikahan 1000 kali.
Belajar dari pola kepemimpinan dan komunikasi para pemimpin Israel, kita akan menemukan bahwa Allah dapat memakai siapa saja yang dianggap lemah dan tak mampu memimpin sebagai raja. Mereka penuh dengan kelemahan namun Allah berkenan atas mereka. Hal yang sama dapat dilihat dalam diri para presiden yang pernah memimpin Indonesia.
Mereka penuh kelemahan namun mereka memimpin bangsa ini dengan tingkat keberhasilan masing-masing. Allahpun memilih dan menetapkan mereka menjadi pemimpin bangsa Indonesia. Hal ini dipahami dalam kerangka iman bahwa tidak ada pemimpin yang tidak berasal dari Allah (Bdk. Roma 13:1).
Mencari pemimpin gereja pun mesti dilihat dalam kerangka berpikir dan beriman seperti ini. Setiap orang, siapapun dia dapat menjadi pemimpin gereja, lengkap dengan kelebihan dan kekurangannya. Yang diperlukan dalam hal ini adalah penyerahan kepada keputusan Tuhan untuk memilih dan menetapkan orang terbaik menurut kehendak Tuhan guna memimpin gereja ini.
Maka memakai kerangka iman dan cara Allah memilih para pemimpin, acuan Alkitab yang dapat dijadikan pedoman adalah 1 Korintus 1:27 Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat. (*)
